Surah Al-Anfal adalah surah Madaniyah yang turun setelah Perang Badar, yang secara spesifik membahas hukum, etika, dan semangat jihad dalam konteks peperangan yang sah menurut syariat. Ayat-ayat dalam surah ini berfungsi sebagai panduan bagi umat Islam untuk menjaga integritas spiritual bahkan di tengah konflik fisik. Salah satu ayat yang sarat makna dan sering menjadi fokus penafsiran adalah ayat ke-27.
Ayat ini merupakan teguran keras sekaligus pengingat mendalam mengenai prioritas loyalitas. Ketika dihadapkan pada pilihan antara kepentingan duniawi (harta rampasan) dan kewajiban ilahiah (melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya), seorang mukmin sejati harus tahu di mana letak kesetiaannya yang sesungguhnya.
Ilustrasi: Prioritas ketaatan di atas kepentingan materi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang telah dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal: 27)
Ayat Al-Anfal 27 membuka dengan seruan agung, "Yā ayyuhallazīna āmanū" (Hai orang-orang yang beriman). Ini menunjukkan bahwa peringatan ini ditujukan secara khusus kepada mereka yang telah menyatakan keimanan dan ikrar kesetiaan kepada Allah. Konteks Madaniyah dan pasca-Badar menekankan pentingnya menjaga kesucian janji dan amanah setelah mendapatkan kemenangan awal.
Pengkhianatan tertinggi adalah pelanggaran janji kepada Allah (Tauhid) dan Rasul-Nya (mengikuti sunnah). Mengkhianati keduanya berarti menempatkan kepentingan pribadi, kelompok, atau bahkan rampasan perang di atas ketaatan mutlak. Dalam perang, hal ini bisa berarti menyembunyikan bagian harta rampasan (ghanimah) yang seharusnya diserahkan kepada otoritas kaum Muslimin untuk dibagikan sesuai aturan syariat.
Larangan ini diperluas secara umum mencakup semua bentuk amanah. Amanah bisa bersifat personal (misalnya, menjaga rahasia), sosial (misalnya, menjalankan jabatan publik), atau bahkan finansial (seperti harta titipan). Ayat ini menegaskan bahwa integritas moral harus dijaga secara menyeluruh, bukan hanya dalam urusan ibadah vertikal.
Bagian penutup ayat ini sangat krusial: "sedang kamu mengetahui". Ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan adalah pengkhianatan yang disadari, bukan karena ketidaktahuan (jahil). Seseorang yang telah mendapat pencerahan iman dan memahami konsekuensi tindakannya, namun tetap memilih jalan pengkhianatan, dosanya menjadi lebih besar karena disertai dengan kemunafikan terselubung.
Meskipun konteks awal ayat ini terkait dengan etika perang dan pembagian rampasan, prinsip dasarnya berlaku universal. Dalam kehidupan modern, amanah meluas menjadi integritas profesional, kejujuran dalam berbisnis, dan tanggung jawab sipil. Seorang karyawan yang mencuri waktu kerja, pejabat yang korupsi, atau bahkan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam jejaring sosial, semuanya berada di bawah bayang-bayang peringatan Al-Anfal 27.
Prinsip 'jangan mengkhianati Allah dan Rasul' berarti menjaga agar tindakan kita senantiasa selaras dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang diajarkan Islam. Keimanan sejati diukur dari konsistensi antara apa yang diyakini dan bagaimana seseorang bertindak ketika dihadapkan pada godaan materi atau kekuasaan.
Para ulama tafsir sering menekankan bahwa pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang menjadikan imannya sebagai topeng untuk menipu orang lain demi keuntungan sesaat. Ketulusan (Ikhlas) adalah lawan dari pengkhianatan ini. Ketika hati telah dibersihkan dari ketamakan dunia, maka secara otomatis integritas terhadap janji dan amanah akan tegak lurus. Ayat ini berfungsi sebagai barometer moral yang menuntut pertanggungjawaban diri sebelum pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Menghayati Al-Anfal 27 berarti bertekad untuk hidup dalam kejujuran total, baik saat sendirian maupun di hadapan publik.