Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam konteks historis Islam, perintah untuk membangun kekuatan militer dan kesiapan pertahanan selalu diletakkan bersamaan dengan visi perdamaian. Salah satu ayat kunci yang menyoroti prinsip fundamental ini adalah Surah Al-Anfal ayat 60. Ayat ini bukan sekadar seruan untuk peperangan, melainkan sebuah instruksi strategis tentang bagaimana umat Islam seharusnya mempersiapkan diri demi menjaga kedaulatan dan mengamankan jalan menuju ketenangan abadi.
Inti dari Al-Anfal ayat 60 adalah perintah untuk berupaya maksimal dalam mempersiapkan segala bentuk kekuatan yang memungkinkan. Kata kunci di sini adalah "ma'tata'tum"—sejauh kemampuanmu. Ini menekankan pada tanggung jawab proaktif; umat tidak boleh bersikap pasif atau bergantung semata-mata pada harapan tanpa usaha nyata. Persiapan ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari kekuatan fisik, persenjataan (yang pada masa itu termasuk 'ribat al-khail' atau pasukan berkuda), hingga kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan persatuan internal.
Namun, tujuan akhir dari persiapan ini sangat penting untuk dipahami. Allah SWT tidak memerintahkan persiapan kekuatan untuk memulai agresi atau penindasan. Tujuan utamanya adalah "turhibuna bihi 'aduwallahi wa 'aduwwakum"—untuk menakut-nakuti (menggentarkan) musuh Allah dan musuh kalian. Penggentaran ini berfungsi sebagai mekanisme pencegahan (deterrent effect). Sebuah komunitas yang tampak lemah dan tidak terorganisir akan mudah menjadi sasaran invasi atau upaya pemusnahan keyakinan. Dengan kesiapan yang terlihat, potensi konflik dapat ditekan sebelum benar-benar terjadi.
Meskipun konteks historis ayat ini melibatkan persiapan militer konvensional, semangat dan prinsip dasarnya tetap relevan hingga hari ini. Dalam dunia modern, "kekuatan" yang diperintahkan harus diinterpretasikan secara lebih komprehensif:
Ayat 60 ini tidak berdiri sendiri. Ia diikuti oleh ayat 61 yang menjelaskan bahwa jika musuh cenderung kepada perdamaian, maka umat Islam pun harus condong padanya dan bertawakal kepada Allah. Ini menegaskan bahwa Al-Anfal 60 adalah respons defensif yang terukur, bukan mandat ofensif tanpa batas. Keseimbangan antara kesiapan (berusaha) dan penerimaan damai (berserah diri setelah usaha maksimal) adalah formula kesejahteraan yang diajarkan Al-Qur'an.
Dengan kata lain, persiapan kekuatan yang diperintahkan dalam Al-Anfal 60 adalah syarat mutlak agar perdamaian yang sejati dapat terwujud—perdamaian yang didasarkan pada rasa hormat, bukan hasil dari kerentanan atau kepasrahan buta. Ini adalah pelajaran tentang tanggung jawab kolektif untuk menjadi komunitas yang kuat, berwibawa, dan mampu melindungi nilai-nilai luhur yang dianutnya, sehingga ketenangan dapat dinikmati oleh semua elemen masyarakat yang beriman.