Alergi makanan adalah respons sistem imun yang berlebihan terhadap protein dalam makanan yang umumnya dianggap aman. Dua alergi makanan yang paling umum dan sering menimbulkan tantangan dalam manajemen diet adalah alergi susu sapi dan alergi soya (kedelai). Meskipun keduanya melibatkan reaksi alergi, pemicunya berbeda, dan penanganannya memerlukan pemahaman yang cermat terhadap komposisi nutrisi.
Apa Itu Alergi Susu Sapi?
Alergi susu sapi (Cow's Milk Protein Allergy/CMPA) adalah reaksi imun terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi, seperti kasein dan whey. Ini berbeda dengan intoleransi laktosa, yang merupakan masalah pencernaan akibat kekurangan enzim laktase. Pada alergi, sistem imun mengidentifikasi protein susu sebagai ancaman dan melepaskan histamin serta zat kimia lain yang menyebabkan gejala.
CMPA sangat umum terjadi pada bayi dan anak kecil. Bagi sebagian besar anak, alergi ini bisa hilang seiring bertambahnya usia, namun bagi yang lain, ini bisa menjadi kondisi seumur hidup. Gejala dapat bervariasi, mulai dari ruam kulit (urtikaria), masalah pencernaan (muntah, diare, kolik), hingga reaksi parah seperti anafilaksis, meskipun yang terakhir jarang terjadi pada alergi susu murni.
Memahami Alergi Soya
Soya atau kedelai merupakan salah satu dari delapan alergen makanan utama di banyak negara. Alergi soya terjadi ketika tubuh bereaksi terhadap protein kedelai. Meskipun soya sering digunakan sebagai alternatif susu sapi karena kandungan proteinnya yang tinggi, bagi mereka yang alergi soya, konsumsi produk turunan kedelai harus dihindari sepenuhnya.
Gejala alergi soya mirip dengan CMPA, meliputi gatal-gatal, bengkak pada bibir atau wajah, dan masalah pernapasan. Soya tersembunyi di banyak produk olahan, seperti saus, makanan ringan, hingga beberapa jenis daging olahan, menjadikannya tantangan tersendiri dalam diet bebas alergen.
Tantangan Diet: Silang Reaksi (Cross-Reactivity)
Salah satu aspek paling menantang bagi individu yang didiagnosis menderita alergi susu sapi dan soya adalah potensi terjadinya reaksi silang. Reaksi silang terjadi ketika sistem imun yang sensitif terhadap satu protein bereaksi juga terhadap protein lain yang memiliki struktur kimia serupa. Dalam konteks ini, meski alergi susu sapi dan alergi soya adalah kondisi terpisah, beberapa individu yang sangat sensitif terhadap protein susu sapi terkadang juga menunjukkan reaksi terhadap protein soya.
Meskipun protein susu sapi dan protein soya berasal dari sumber yang berbeda (mamalia dan kacang-kacangan), kesamaan struktural pada beberapa epitop (bagian protein yang dikenali oleh antibodi) dapat memicu respons imun ganda. Oleh karena itu, ahli alergi seringkali merekomendasikan pendekatan yang sangat hati-hati ketika mengganti formula atau diet bagi pasien yang alergi terhadap keduanya.
Manajemen dan Pengganti Makanan
Manajemen utama untuk kedua alergi ini adalah penghindaran total terhadap alergen pemicu. Menghindari susu sapi dan soya memerlukan keahlian membaca label nutrisi. Produk yang harus dihindari meliputi:
- Untuk Alergi Susu Sapi: Susu segar, keju, mentega, yogurt, kasein, whey, dan produk yang mengandung susu dalam bahan dasarnya.
- Untuk Alergi Soya: Tahu, tempe, edamame, kecap (soy sauce), minyak kedelai (meskipun minyak murni biasanya aman, perlu konfirmasi), dan lesitin kedelai.
Ketika kedua alergi ini hadir bersamaan, pilihan pengganti menjadi lebih terbatas. Pada bayi, formula hidrolisat ekstensif (EHF) atau formula asam amino elementer (AAF) sering menjadi pilihan utama karena proteinnya sudah dipecah sedemikian rupa sehingga sistem imun tidak dapat mengenalinya.
Bagi orang dewasa atau anak yang lebih besar, fokus beralih pada sumber nutrisi non-susu dan non-soya, seperti formula berbasis beras, formula kacang polong (pea protein), atau sumber kalsium dan protein non-nabati lainnya. Konsultasi rutin dengan ahli gizi klinis sangat krusial untuk memastikan kebutuhan makronutrien dan mikronutrien terpenuhi, terutama kalsium dan Vitamin D yang sering ditemukan melimpah dalam produk susu.
Mengelola alergi susu sapi dan soya secara bersamaan membutuhkan kewaspadaan ekstra, namun dengan edukasi yang tepat dan perencanaan diet yang matang, individu yang terkena dampak tetap dapat menjalani hidup yang sehat dan bergizi.