Ilustrasi: Jam saku modern yang muncul secara tidak tepat waktu.
Dalam studi sejarah, seni, dan bahkan narasi fiksi, kita sering menemui sebuah fenomena menarik yang disebut **anakronisme**. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Yunani, di mana 'ana' berarti 'melawan' atau 'kembali', dan 'chronos' berarti 'waktu'. Jadi, anakronisme secara harfiah berarti sesuatu yang 'melawan waktu' atau 'salah tempat dalam urutan waktu'.
Anakronisme terjadi ketika sebuah objek, ide, bahasa, kebiasaan, atau teknologi yang berasal dari satu periode waktu ditempatkan atau diasumsikan ada pada periode waktu lain yang secara historis tidak sesuai. Ini adalah sebuah 'kesalahan penempatan' kronologis yang dapat terjadi secara tidak disengaja maupun sebagai pilihan artistik yang disengaja.
Penting untuk membedakan bagaimana anakronisme muncul. Ada dua kategori utama:
Ini adalah bentuk yang paling mudah dikenali. Bayangkan melihat seorang ksatria abad pertengahan yang menggunakan ponsel pintar, atau adegan Perang Dunia II yang menampilkan tentara memakai sepatu kets modern. Dalam konteks sastra atau film sejarah, penggunaan objek yang tidak ada pada era tersebut sering kali merupakan pelanggaran terhadap akurasi faktual. Misalnya, penemuan jam tangan modern dalam deskripsi sebuah ritual kuno Mesir adalah anakronisme material.
Bentuk ini lebih halus namun seringkali lebih mendalam dampaknya. Anakronisme konseptual melibatkan penyisipan ide, moralitas, atau sistem politik dari era modern ke dalam latar belakang historis yang lebih lampau. Misalnya, menghakimi tindakan seorang tokoh Romawi kuno berdasarkan standar hak asasi manusia abad ke-21 adalah sebuah anakronisme konseptual. Sementara itu, anakronisme linguistik merujuk pada penggunaan kata atau frasa yang belum diciptakan atau belum populer pada periode yang digambarkan. Bahasa yang terlalu modern dalam sebuah drama periode adalah contoh klasik.
Meskipun sering dilihat sebagai kesalahan, anakronisme memiliki peran ganda dalam seni. Ketika anakronisme terjadi secara tidak sengaja—seperti kesalahan riset dalam pembuatan film—maka ia mengurangi kredibilitas karya tersebut, membuat penonton yang berpengetahuan merasa terasing. Karya yang berusaha menggambarkan sejarah harus berusaha keras untuk menghindari ketidakakuratan ini agar pesannya tersampaikan dengan kuat.
Namun, banyak seniman dan penulis secara sadar menggunakan anakronisme sebagai alat naratif. Dalam drama atau komedi, anakronisme dapat digunakan untuk menciptakan humor yang kuat, sering kali melalui kontras antara masa lalu yang kaku dengan modernitas yang serba cepat. Efeknya adalah menyoroti tema universal dengan cara yang lebih mudah dicerna oleh audiens kontemporer. Misalnya, film yang menempatkan musik rock modern dalam latar abad ke-18 bisa jadi bertujuan untuk menunjukkan bahwa perasaan dan gairah manusia tetap konstan, terlepas dari teknologi yang mereka miliki.
Dalam konteks kritik sosial, anakronisme juga berfungsi sebagai lensa yang membantu kita melihat sejarah dari perspektif saat ini. Ketika seorang seniman masa kini menggambarkan tokoh sejarah kuno dengan pakaian atau sikap yang sangat modern, ia mungkin sedang mencoba menunjukkan bagaimana nilai-nilai kita saat ini tercermin atau bahkan mendistorsi pemahaman kita terhadap masa lalu. Ini memaksa audiens untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan asumsi mereka tentang bagaimana 'seharusnya' masa lalu terlihat.
Memahami konsep anakronisme membantu kita menjadi konsumen media dan pembaca sejarah yang lebih kritis. Ketika kita menyadari bahwa sebuah objek atau ide tidak seharusnya ada di tempat itu, kita dipicu untuk mengajukan pertanyaan: Apakah ini kesalahan, ataukah ini adalah pernyataan disengaja dari sang kreator?
Dalam studi sejarah sejati, akurasi waktu adalah fondasi. Kesalahan penempatan kronologis dapat mengubah pemahaman kita tentang evolusi teknologi, perkembangan sosial, atau bahkan urutan sebab-akibat peristiwa. Sebaliknya, dalam seni interpretatif, anakronisme yang terencana menjadi jembatan antara masa lalu yang jauh dan pengalaman hidup kita saat ini, membuat cerita lama terasa relevan dan hidup kembali. Anakronisme, oleh karena itu, adalah pedang bermata dua: sebuah kelemahan fatal bagi sejarawan yang ketat, namun bisa menjadi senjata retoris yang kuat bagi seniman yang berani bereksperimen dengan batas-batas waktu.