Pertanyaan filosofis yang paling mendalam dan universal adalah, andaikan aku bertemu Tuhan. Bayangan pertemuan transenden ini seringkali menjadi jangkar bagi moralitas, harapan, dan pencarian makna hidup. Ini bukanlah sekadar fantasi religius, melainkan sebuah latihan introspeksi tentang apa yang paling kita hargai, apa yang kita sesali, dan apa yang kita harapkan dari keberadaan ini.
Apa yang Akan Kukatakan Lebih Dahulu?
Jika pintu alam semesta terbuka dan aku berdiri di hadapan Keagungan yang menciptakan bintang dan atom, kerongkonganku mungkin tercekat. Kata-kata yang selama ini terasa penting di Bumi—ambisi, persaingan, kekhawatiran materi—tiba-tiba menjadi debu. Mungkin, hal pertama yang keluar bukanlah permohonan atau penjelasan, melainkan sebuah ucapan syukur yang tulus. Syukur atas kesempatan untuk ada, atas keindahan yang sempat tersaksikan, dan atas kompleksitas kehidupan yang tak terduga.
Setelah keheningan awal mereda, pertanyaan yang akan mendesak keluar adalah pertanyaan tentang pemahaman. Aku ingin bertanya tentang misteri yang tidak terpecahkan: mengapa ada penderitaan di dunia yang diciptakan oleh Sang Maha Baik? Bagaimana menyelaraskan kehendak bebas manusia dengan rencana kosmik yang sempurna? Apakah setiap tindakan, sekecil apa pun, benar-benar diperhitungkan dalam skala keabadian?
Mempertanggungjawabkan Jejak Duniawi
Momen pertemuan itu pasti akan menjadi sesi evaluasi diri terbesar. Aku akan mengharapkan kesempatan untuk meninjau kembali setiap pilihan yang telah kubuat. Aku ingin melihat ke mana saja energi dan waktuku tercurah. Apakah aku telah menjadi agen kebaikan, ataukah aku hanya menjadi penonton pasif dalam drama kehidupan?
Aku akan meminta maaf, bukan karena formalitas, tetapi karena kesadaran akan kegagalan untuk mencintai sepenuhnya. Kegagalan melihat kemanusiaan dalam diri orang asing, kegagalan untuk bersabar saat dibutuhkan, dan kegagalan untuk benar-benar mendengarkan. Jika Tuhan adalah Sumber Kasih Tanpa Syarat, maka kegagalan terbesar manusia adalah kegagalan meniru kasih itu dalam interaksi sehari-hari. Momen andaikan aku bertemu Tuhan adalah momen penghakiman yang paling jujur, di mana tidak ada kepalsuan yang bisa disembunyikan.
Pencarian Makna dan Tujuan
Lebih dari sekadar meminta pengampunan, tujuan utama pertemuan itu adalah mencari validasi atas makna perjalanan hidup. Apakah tujuanku selama ini selaras dengan tujuan penciptaan yang lebih besar? Apakah jalan spiritual yang kujalani selama ini hanya mengikuti tradisi, atau benar-benar merupakan penemuan pribadi tentang Kebenaran?
Aku membayangkan Tuhan tidak akan memberikan jawaban dalam bentuk kalimat yang mudah dicerna, melainkan dalam bentuk pemahaman menyeluruh—sebuah kesadaran bahwa segala sesuatu saling terhubung dalam jalinan yang indah dan tak terelakkan. Bahwa keindahan dan kekacauan hanyalah dua sisi dari mata uang eksistensi yang sama.
Harapan Terakhir
Jika pertemuan itu berakhir, dan aku harus kembali—atau melanjutkan ke fase eksistensi berikutnya—aku berharap meninggalkan pertemuan itu dengan kedamaian yang absolut. Kedamaian yang datang bukan dari kepastian jawaban, tetapi dari penerimaan total terhadap misteri. Menerima bahwa keterbatasan pemahaman manusia adalah bagian integral dari proses menjadi manusia itu sendiri.
Pada akhirnya, bayangan andaikan aku bertemu Tuhan memaksa kita untuk hidup lebih baik saat ini. Karena jika kita hidup seolah-olah kita akan bertemu-Nya besok, dengan kejujuran, kasih sayang, dan keberanian untuk mengakui kesalahan, maka mungkin, pertemuan agung itu tidak perlu ditunggu. Kehadiran-Nya terasa dalam setiap napas yang kita ambil dan setiap cinta yang kita berikan.