Sebuah pandangan menuju cakrawala harapan.
Hidup seringkali terasa seperti sebuah rangkaian keputusan yang telah dibuat, sebuah jalur yang tak terhindarkan. Namun, di sudut sunyi pikiran, selalu ada ruang untuk satu kata ajaib: "Andaikan saja aku." Kata ini bukan sekadar penyesalan; ia adalah cetak biru dari potensi tak terwujud, laboratorium imajinasi tempat kita menguji skenario kehidupan lain.
Andaikan saja aku memilih jurusan yang berbeda saat kuliah. Mungkin hari ini aku akan sibuk di laboratorium, bukan di balik meja administrasi ini. Sebuah bayangan muncul: diriku yang mengenakan jas putih, menganalisis data rumit, menemukan sesuatu yang mengubah dunia. Suara riang rekan kerja, aroma zat kimia yang samar—semuanya terasa begitu nyata dalam retrospeksi singkat ini. Apakah jalur akademis akan memberiku kepuasan yang lebih dalam, ataukah hanya ilusi kemuliaan yang diselimuti idealisme masa muda?
Penyesalan terbesar, atau setidaknya yang paling sering muncul, berkutat pada hubungan yang tak terselesaikan. Andaikan saja aku lebih berani menyatakan perasaan saat itu. Ada beberapa tatapan mata yang kini hanya bisa kuingat melalui kabut waktu, senyum yang tak pernah sempat kuucapkan terima kasih, atau momen penting yang kulalui dalam diam karena takut ditolak. Keberanian—atau ketiadaannya—adalah mata uang paling mahal dalam interaksi antarmanusia. Jika saja aku tahu bahwa waktu adalah aset yang paling cepat habis, mungkin aku akan lebih royal dalam berbagi kata-kata baik.
Kita seringkali terlalu sibuk membangun benteng di sekitar ego kita sendiri. Kita takut terlihat rentan, takut salah langkah, takut dihakimi. Akibatnya, banyak kesempatan untuk terhubung secara otentik hilang begitu saja. Ketika kata "andaikan saja aku" muncul, ia seringkali menunjuk pada momen-momen di mana kita gagal menjadi diri kita yang paling jujur dan terbuka.
Namun, konsep "andaikan saja aku" tidak harus selalu tentang masa lalu yang hilang. Ia bisa menjadi jangkar untuk masa depan. Andaikan saja aku mulai belajar bahasa baru minggu lalu, bukankah minggu depan aku sudah bisa menguasai dasar-dasarnya? Andaikan saja aku mulai menabung lebih disiplin, bukankah dana daruratku sudah aman sekarang?
Inilah paradoksnya: lamunan tentang apa yang bisa dilakukan seringkali menjadi katalisator untuk apa yang harus dilakukan hari ini. Jika kita hanya membiarkan 'andaikan' itu menjadi beban penyesalan, kita akan lumpuh. Tetapi jika kita menggunakan 'andaikan' itu sebagai peta harapan, sebagai penanda seberapa jauh kita ingin bergerak maju, maka ia berubah fungsi. Ia bukan lagi tentang apa yang tidak kita miliki, melainkan tentang apa yang masih bisa kita perjuangkan.
Perjalanan hidup ini memang penuh dengan persimpangan yang kita lewati tanpa menoleh. Setiap pilihan menutup seribu pintu lainnya. Merenungkan "andaikan saja aku" adalah cara kita menghormati jalan-jalan yang tidak kita ambil, sambil pada saat yang sama, menegaskan kembali bahwa jalan yang sedang kita pijak—meskipun penuh kerikil—adalah satu-satunya yang benar-benar kita miliki saat ini. Mari kita ubah 'andaikan saja aku' yang berbisik penyesalan menjadi 'aku akan coba' yang berteriak tekad.