Proses jual beli tanah merupakan salah satu transaksi hukum yang paling penting dan seringkali kompleks dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, kepemilikan tanah yang sah diakui melalui sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikat ini menjadi bukti kepemilikan yang kuat dan sah di mata hukum. Namun, tidak jarang kita menemui situasi di mana seseorang ingin melakukan jual beli tanah, tetapi tanah tersebut belum memiliki sertifikat alias masih berupa dokumen lain seperti girik, Letter C, atau surat keterangan tanah lainnya. Dalam kondisi seperti ini, muncullah pertanyaan krusial: bisakah membuat Akta Jual Beli (AJB) tanpa sertifikat tanah?
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai kemungkinan, prosedur, risiko, dan langkah-langkah yang harus Anda pahami jika dihadapkan pada situasi jual beli tanah yang belum bersertifikat. Penting untuk diingat bahwa informasi dalam artikel ini bersifat edukasi umum dan bukan merupakan nasihat hukum. Untuk setiap transaksi properti yang melibatkan nilai besar dan konsekuensi hukum, sangat dianjurkan untuk selalu berkonsultasi dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, atau ahli hukum properti yang berpengalaman.
Akta Jual Beli (AJB) adalah salah satu jenis akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). AJB merupakan bukti sah terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain, AJB adalah dokumen yang secara resmi menyatakan bahwa hak kepemilikan tanah telah berpindah tangan. AJB ini nantinya akan menjadi dasar untuk proses balik nama sertifikat tanah di BPN, sehingga nama pemilik yang baru akan tercantum dalam sertifikat.
Fungsi utama AJB sangat vital dalam transaksi properti. Tanpa AJB, proses balik nama sertifikat tanah tidak dapat dilakukan, dan kepemilikan hukum atas tanah tersebut tidak dapat dialihkan secara sempurna kepada pembeli. PPAT yang berwenang untuk membuat AJB adalah PPAT yang wilayah kerjanya mencakup lokasi tanah yang diperjualbelikan. PPAT memiliki peran sentral dalam memastikan legalitas dan keabsahan transaksi jual beli tanah, termasuk memeriksa dokumen-dokumen yang diperlukan dan memastikan tidak ada sengketa atau masalah hukum lainnya terkait tanah tersebut.
Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan yang terkuat dan sah di mata hukum. Ada beberapa jenis sertifikat tanah, yang paling umum adalah:
Sertifikat tanah berfungsi sebagai jaminan kepastian hukum, melindungi pemegang hak dari sengketa, dan mempermudah berbagai transaksi hukum seperti jual beli, hibah, waris, atau dijadikan agunan pinjaman di bank. Keberadaan sertifikat ini sangat krusial karena merupakan satu-satunya bukti otentik yang diakui negara mengenai status kepemilikan tanah.
Secara ideal dan sesuai prosedur hukum yang berlaku, proses jual beli tanah yang berujung pada pembuatan AJB selalu mensyaratkan adanya sertifikat tanah yang sah. AJB dibuat sebagai tindak lanjut dari transaksi jual beli atas tanah yang sudah bersertifikat. Setelah AJB ditandatangani di hadapan PPAT, PPAT akan memproses balik nama sertifikat tanah tersebut di kantor BPN setempat. Artinya, sertifikat tanah adalah prasyarat utama sebelum AJB dapat dibuat secara resmi oleh PPAT.
Pemahaman ini sangat penting karena seringkali masyarakat awam beranggapan bahwa AJB adalah dokumen yang bisa berdiri sendiri, bahkan untuk tanah yang belum bersertifikat. Padahal, AJB PPAT adalah instrumen hukum yang digunakan untuk mentransfer kepemilikan atas hak yang sudah terdaftar dalam bentuk sertifikat. Jika tanah belum bersertifikat, maka hak atas tanah tersebut belum terdaftar secara resmi di BPN, sehingga tidak ada "nama pemilik" yang dapat dibalik nama melalui AJB.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam sistem pertanahan. Sebelum adanya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan sertifikasi tanah secara masif oleh BPN, banyak tanah yang kepemilikannya didasarkan pada dokumen-dokumen lama yang bersifat adat atau administrasi desa. Dokumen-dokumen ini, meskipun mungkin kuat di tingkat lokal atau dalam tradisi masyarakat tertentu, tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN.
Girik adalah salah satu bentuk bukti kepemilikan tanah di masa lalu yang sangat umum, terutama di Jawa. Girik bukan merupakan sertifikat tanah melainkan surat tanda pembayaran pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) di masa pemerintahan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, Girik menjadi salah satu dasar administrasi desa yang mencatat data fisik dan data yuridis (nama pemilik) tanah. Meskipun sering disebut sebagai "bukti kepemilikan", girik sebenarnya lebih tepat disebut sebagai bukti penguasaan atau pendaftaran tanah pada administrasi desa.
Kelemahan Girik antara lain:
Serupa dengan Girik, Letter C (atau C Desa) juga merupakan dokumen catatan administrasi pertanahan yang disimpan di kantor desa/kelurahan. Letter C berisi data pemilik tanah, riwayat kepemilikan, luas tanah, dan terkadang batas-batas tanah di wilayah desa tersebut. Letter C adalah buku register yang mencatat setiap peristiwa hukum terkait tanah di desa, termasuk jual beli, waris, atau hibah yang dilakukan secara adat atau di bawah tangan.
Seperti Girik, Letter C juga memiliki keterbatasan:
Selain Girik dan Letter C, ada juga dokumen lain yang sering dijadikan dasar penguasaan tanah, seperti:
Semua dokumen ini memiliki satu kesamaan fundamental: tidak satupun dari dokumen ini setara dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN. Oleh karena itu, jika Anda memiliki atau ingin membeli tanah dengan dokumen-dokumen semacam ini, langkah pertama dan terpenting adalah mengurus sertifikasinya di BPN.
Mari kita langsung ke inti pertanyaan: Bisakah AJB dibuat tanpa sertifikat?
Secara harfiah, tidak bisa. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya memiliki kewenangan untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) atas tanah yang sudah terdaftar dan memiliki sertifikat hak atas tanah yang sah dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Mengapa demikian?
AJB berfungsi sebagai dasar hukum untuk membalik nama sertifikat tanah dari penjual ke pembeli. Jika tanah belum bersertifikat, berarti tanah tersebut belum terdaftar secara resmi di BPN, dan oleh karena itu, tidak ada sertifikat yang dapat dibalik nama. PPAT bertugas untuk memverifikasi keabsahan sertifikat, memastikan data penjual dan pembeli sesuai, serta memeriksa status tanah apakah tidak dalam sengketa, tidak diagunkan, dan tidak ada blokir. Semua verifikasi ini hanya dapat dilakukan jika tanah tersebut sudah memiliki sertifikat yang jelas tercatat di BPN.
Meskipun AJB tidak bisa dibuat secara langsung tanpa sertifikat, bukan berarti tanah yang belum bersertifikat tidak bisa diperjualbelikan atau dialihkan kepemilikannya. Ada proses dan tahapan yang harus dilalui, yang secara garis besar melibatkan sertifikasi tanah terlebih dahulu atau penggunaan instrumen hukum lain yang bersifat sementara.
Berikut adalah beberapa skenario dan langkah yang umumnya dilakukan untuk tanah yang belum bersertifikat:
Ini adalah jalan yang paling benar dan direkomendasikan secara hukum. Jika tanah masih berupa Girik, Letter C, atau dokumen adat lainnya, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengajukan permohonan pendaftaran tanah pertama kali ke Kantor Pertanahan (BPN) setempat. Proses ini bertujuan untuk mengubah status tanah dari belum terdaftar menjadi terdaftar dan diterbitkan sertifikatnya.
Pendaftaran tanah pertama kali ini sering disebut juga sebagai konversi hak, yaitu proses mengubah bukti penguasaan tanah lama (seperti girik) menjadi sertifikat hak atas tanah yang sah di bawah sistem pendaftaran tanah nasional.
Proses Umum Pendaftaran Tanah Pertama Kali:
Setelah sertifikat terbit atas nama penjual, barulah proses jual beli dengan pembuatan AJB di hadapan PPAT dapat dilakukan. Setelah AJB, PPAT akan memproses balik nama sertifikat ke nama pembeli.
Jika proses pendaftaran tanah pertama kali sedang berjalan atau membutuhkan waktu yang lama, dan ada kebutuhan mendesak untuk mengikat transaksi jual beli, para pihak (penjual dan pembeli) dapat membuat Surat Pengikatan Jual Beli (PJB) di hadapan Notaris. PJB bukanlah akta peralihan hak, melainkan akta perjanjian yang mengikat kedua belah pihak untuk melakukan jual beli di kemudian hari, setelah syarat-syarat tertentu terpenuhi (misalnya, setelah sertifikat tanah terbit).
PJB berfungsi sebagai:
Meskipun dibuat oleh Notaris sebagai akta otentik, PJB tidak mengalihkan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah baru akan beralih setelah sertifikat terbit dan AJB dibuat di hadapan PPAT, yang kemudian diikuti dengan proses balik nama di BPN. PJB sering digunakan untuk memberi kepastian sementara kepada para pihak, terutama jika sertifikat tanah masih dalam proses pengurusan atau ada hal-hal lain yang perlu diselesaikan sebelum AJB dapat dibuat.
Di beberapa daerah, masyarakat seringkali masih melakukan transaksi jual beli tanah yang belum bersertifikat dengan membuat akta jual beli di bawah tangan, yang kemudian disaksikan dan ditandatangani oleh kepala desa atau perangkat desa lainnya. Dokumen ini mungkin diakui secara adat atau administrasi lokal, namun secara hukum pertanahan nasional, kekuatan hukumnya sangat lemah dan penuh risiko.
Mengapa berisiko?
Meski demikian, dokumen ini terkadang digunakan sebagai "bukti awal" penguasaan fisik yang nantinya bisa menjadi salah satu syarat dalam proses pendaftaran tanah pertama kali. Namun, sebagai satu-satunya bukti transaksi jual beli, sangat tidak disarankan karena risikonya yang sangat tinggi.
Dalam beberapa kasus, untuk tanah yang belum bersertifikat, kadang dibuat "Surat Pernyataan Pengalihan Hak" atau "Surat Pelepasan Hak" yang ditandatangani oleh penjual dan disaksikan oleh pejabat desa/kelurahan. Dokumen ini menyatakan bahwa penjual melepaskan haknya atas tanah kepada pembeli. Seperti akta jual beli di bawah tangan, dokumen ini juga memiliki kekuatan hukum yang terbatas dan tidak dapat menjadi dasar untuk balik nama sertifikat di BPN.
Tujuannya serupa dengan PJB, yaitu untuk mengikat para pihak secara informal, namun tanpa pengawasan Notaris yang lebih ketat. Dokumen ini lebih bersifat deklaratif dan fungsinya seringkali hanya sebagai dasar administrasi di tingkat desa atau sebagai salah satu kelengkapan permohonan pendaftaran tanah pertama kali ke BPN. Risiko sengketa tetap tinggi jika tidak segera diikuti dengan proses sertifikasi dan AJB PPAT.
Penting untuk dicatat: Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian hukum yang sempurna atas kepemilikan tanah adalah dengan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terdaftar atas nama Anda di BPN. Segala bentuk dokumen lain, termasuk Girik, Letter C, atau akta di bawah tangan, hanyalah bukti penguasaan atau catatan administrasi yang harus dikonversi menjadi sertifikat.
Mengingat bahwa membuat AJB tanpa sertifikat secara langsung tidak mungkin, maka solusi yang paling tepat adalah melakukan pendaftaran tanah pertama kali. Proses ini akan mengubah status tanah dari belum terdaftar menjadi bersertifikat, dan setelah itu barulah AJB dapat dibuat.
Ini adalah tahap paling krusial. Kelengkapan dan keabsahan dokumen akan sangat menentukan kelancaran proses. Dokumen yang dibutuhkan meliputi:
Penting untuk memastikan semua dokumen asli tersedia untuk diperlihatkan dan difotokopi. Jika dokumen lama (Girik/C) hilang, proses akan lebih rumit dan memerlukan bukti-bukti pendukung yang lebih kuat, seperti surat pernyataan kehilangan dari kepolisian dan kesaksian warga sekitar.
Setelah dokumen lengkap, permohonan diajukan ke loket pelayanan di Kantor Pertanahan setempat. Pemohon akan mendapatkan tanda terima berkas dan nomor agenda.
Pemohon akan diminta membayar biaya pendaftaran yang meliputi biaya pengukuran, panitia pemeriksaan tanah, dan biaya lain sesuai ketentuan yang berlaku. Biaya ini disebut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Petugas ukur dari BPN akan datang ke lokasi tanah untuk melakukan pengukuran. Pemohon atau kuasanya wajib hadir untuk menunjukkan batas-batas tanah yang benar kepada petugas. Hasil pengukuran ini akan dituangkan dalam Surat Ukur.
Panitia A BPN akan melakukan penelitian terhadap data yuridis (legalitas) dan data fisik tanah. Ini mencakup:
Hasil penelitian panitia akan diumumkan di kantor BPN dan/atau kantor desa/kelurahan selama jangka waktu tertentu (biasanya 60 hari). Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa keberatan atau memiliki hak atas tanah tersebut untuk mengajukan sanggahan. Jika tidak ada sanggahan yang sah, proses dapat dilanjutkan.
Setelah tahap pengumuman selesai dan tidak ada keberatan, Kepala Kantor Pertanahan akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SK Hak) atas tanah tersebut. Ini adalah persetujuan resmi dari BPN untuk menerbitkan sertifikat.
Sebelum sertifikat diterbitkan, pemohon wajib melunasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jika memang ada transaksi atau peralihan hak dalam riwayat tanah tersebut yang belum dibayarkan. BPHTB dihitung berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5%.
Setelah semua prosedur dilalui dan semua kewajiban pembayaran terpenuhi, BPN akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama pemilik. Pemohon dapat mengambil sertifikat tersebut di loket pelayanan BPN.
Proses pendaftaran tanah pertama kali ini memang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta kesabaran. Namun, ini adalah investasi penting untuk mendapatkan kepastian hukum dan melindungi hak kepemilikan Anda. Setelah sertifikat terbit atas nama pemilik awal (penjual), barulah transaksi jual beli dapat dilanjutkan dengan pembuatan AJB oleh PPAT.
Setelah tanah memiliki sertifikat yang sah atas nama penjual, barulah proses jual beli dapat dilakukan melalui AJB di hadapan PPAT. Prosedur ini relatif lebih sederhana dibandingkan pendaftaran tanah pertama kali, karena tanah sudah memiliki kepastian hukum.
Dari Penjual:
Dari Pembeli:
Dokumen Lainnya (jika diperlukan):
Biaya yang timbul dalam proses AJB ini meliputi biaya jasa PPAT, biaya cek sertifikat, biaya validasi PBB, biaya balik nama di BPN, PPh penjual, dan BPHTB pembeli. Besaran biaya PPAT biasanya ditetapkan berdasarkan nilai transaksi atau sesuai kesepakatan.
Melakukan transaksi tanah yang belum bersertifikat memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang sudah bersertifikat. Penting untuk memahami risiko-risiko ini sebelum mengambil keputusan.
Ini adalah risiko terbesar. Karena tidak adanya kepastian hukum dari BPN, tanah yang belum bersertifikat sangat rentan terhadap sengketa. Orang lain bisa saja mengklaim memiliki hak atas tanah yang sama, apalagi jika batas-batasnya tidak jelas atau riwayat kepemilikan tidak tercatat dengan baik.
Akta jual beli di bawah tangan atau surat pernyataan pengalihan hak yang tidak dibuat oleh PPAT memiliki kekuatan hukum yang sangat lemah. Dokumen-dokumen ini tidak dapat menjadi dasar pendaftaran di BPN dan tidak mengikat pihak ketiga. Jika terjadi sengketa, pembeli akan sangat kesulitan membuktikan kepemilikannya.
Tanah yang belum bersertifikat tidak dapat dijadikan jaminan atau agunan untuk pinjaman di bank atau lembaga keuangan formal lainnya. Bank hanya akan menerima jaminan berupa sertifikat hak atas tanah yang sah dan terdaftar di BPN.
Untuk membangun di atas tanah, Anda memerlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Salah satu syarat utama pengajuan IMB adalah bukti kepemilikan tanah yang sah (sertifikat). Tanpa sertifikat, pengurusan IMB akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
Mengurus sertifikat tanah pertama kali bisa memakan waktu yang sangat lama, mulai dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun, tergantung kelengkapan dokumen dan kompleksitas masalah tanah. Selain itu, bisa saja muncul biaya-biaya tak terduga dalam prosesnya, seperti biaya pengurusan dokumen tambahan atau biaya penyelesaian sengketa kecil.
Transaksi tanah tanpa sertifikat lebih rentan terhadap praktik penipuan. Penjual bisa saja tidak memiliki hak yang sah atas tanah tersebut, atau bisa menjual tanah yang sama kepada beberapa orang. Tanpa verifikasi resmi dari BPN melalui sertifikat, pembeli sangat berisiko menjadi korban penipuan.
Mengingat kompleksitas dan risiko yang ada, berikut adalah langkah-langkah yang sangat direkomendasikan jika Anda berhadapan dengan situasi jual beli tanah tanpa sertifikat:
Sebelum melakukan transaksi apapun, lakukan verifikasi mendalam mengenai status tanah:
Jika tanah memang belum bersertifikat, maka langkah prioritas utama adalah mengurus sertifikasi tanah tersebut ke BPN atas nama pemilik awal (penjual). Jadikan ini sebagai syarat mutlak dalam transaksi jual beli Anda. Pembeli dapat membantu membiayai atau memfasilitasi proses ini, tetapi sertifikat harus terbit atas nama penjual terlebih dahulu.
Jika penjual tidak bersedia mengurus sertifikat terlebih dahulu, itu patut dicurigai dan Anda harus sangat berhati-hati.
Jika proses sertifikasi membutuhkan waktu dan Anda ingin mengikat transaksi agar penjual tidak menjual kepada pihak lain, buatlah Pengikatan Jual Beli (PJB) di hadapan Notaris. Dalam PJB, Anda bisa mencantumkan klausul bahwa pelunasan penuh atau pembuatan AJB akan dilakukan setelah sertifikat terbit atas nama penjual.
PJB akan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik dibandingkan perjanjian di bawah tangan, karena dibuat oleh Notaris sebagai akta otentik.
Jangan pernah mencoba mengurus sendiri transaksi tanah yang belum bersertifikat tanpa pendampingan profesional. Segera konsultasikan situasi Anda dengan PPAT atau Notaris yang berpengalaman di bidang pertanahan. Mereka dapat memberikan nasihat hukum yang tepat, membantu memeriksa dokumen, dan memandu Anda melalui prosedur yang benar dan aman.
PPAT/Notaris akan menjelaskan risiko-risiko yang mungkin timbul dan membantu meminimalisirnya. Biaya konsultasi atau jasa mereka jauh lebih murah dibandingkan risiko kerugian akibat sengketa atau penipuan.
Sangat disarankan untuk menghindari transaksi jual beli tanah dengan akta di bawah tangan (tanpa PPAT dan tanpa sertifikat) sebagai satu-satunya bukti kepemilikan. Kekuatan hukumnya sangat lemah dan Anda sangat berisiko kehilangan uang serta tanah yang dibeli.
Pertanyaan "cara membuat AJB tanpa sertifikat" sebenarnya memiliki jawaban yang lugas: secara langsung tidak bisa. Akta Jual Beli (AJB) yang sah dan dapat menjadi dasar balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya dapat dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) jika tanah tersebut sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terdaftar.
Jika Anda berhadapan dengan tanah yang masih berupa Girik, Letter C, atau dokumen kepemilikan lama lainnya, langkah fundamental dan paling aman adalah melakukan pendaftaran tanah pertama kali (konversi hak) ke BPN untuk mendapatkan sertifikat. Setelah sertifikat terbit atas nama pemilik awal (penjual), barulah proses jual beli dapat dilanjutkan dengan pembuatan AJB oleh PPAT, yang kemudian akan memproses balik nama sertifikat ke nama pembeli.
Mencoba melakukan transaksi jual beli tanah tanpa sertifikat dan tanpa melalui prosedur sertifikasi terlebih dahulu akan menimbulkan berbagai risiko serius, mulai dari sengketa kepemilikan, kerugian finansial, kesulitan dalam pengurusan izin pembangunan, hingga menjadi korban penipuan. Dokumen-dokumen di bawah tangan, meskipun mungkin diakui secara lokal, tidak memberikan kepastian hukum yang kuat di mata negara.
Oleh karena itu, selalu utamakan kepastian hukum. Investasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk mengurus sertifikat tanah. Jangan pernah ragu untuk berkonsultasi dengan PPAT atau Notaris yang profesional di bidang pertanahan. Mereka adalah mitra terbaik Anda untuk memastikan setiap transaksi properti berjalan aman, legal, dan memberikan kepastian hukum bagi Anda sebagai pemilik baru.
Dengan memahami prosedur dan risiko ini, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dan berhati-hati dalam melakukan transaksi jual beli tanah, terutama yang belum memiliki sertifikat. Kepastian hukum adalah kunci utama dalam kepemilikan properti.
AJB (Akta Jual Beli) adalah akta otentik yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti terjadinya transaksi peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli. AJB ini adalah "jembatan" yang menghubungkan perubahan kepemilikan. Sementara itu, Sertifikat Tanah adalah tanda bukti hak atas tanah yang dikeluarkan oleh BPN, yang merupakan dokumen final dan terkuat yang menyatakan siapa pemilik sah atas tanah tersebut. AJB merupakan dasar untuk balik nama sertifikat.
Secara teknis, Anda mungkin bisa membangun di atas tanah Girik. Namun, ini sangat tidak disarankan karena Anda akan kesulitan dalam mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Salah satu syarat utama pengajuan IMB adalah melampirkan bukti kepemilikan tanah yang sah (sertifikat). Tanpa sertifikat, pembangunan Anda akan dianggap ilegal dan dapat berisiko pembongkaran atau denda. Selain itu, tanah Girik rentan sengketa, sehingga membangun di atasnya tanpa sertifikat akan menambah risiko kerugian jika terjadi klaim pihak lain.
Biaya sertifikasi tanah pertama kali sangat bervariasi tergantung pada lokasi, luas tanah, kelengkapan dokumen, dan apakah ada sengketa. Komponen biaya umumnya meliputi:
Untuk estimasi yang lebih akurat, disarankan untuk bertanya langsung ke Kantor Pertanahan setempat atau PPAT/Notaris di daerah Anda.
BPHTB adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Ini adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik melalui jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau bentuk peralihan hak lainnya. Pembayaran BPHTB menjadi tanggung jawab pembeli atau pihak yang memperoleh hak. Besarannya adalah 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Jika penjual tidak bersedia mengurus sertifikat terlebih dahulu, Anda harus sangat berhati-hati dan sebaiknya tidak melanjutkan transaksi. Ini adalah indikator risiko tinggi. Ada kemungkinan penjual menyembunyikan masalah kepemilikan, tanah tersebut bermasalah, atau penjual tidak memiliki niat baik. Kepemilikan yang sah membutuhkan sertifikat. Tanpa sertifikat, Anda tidak memiliki jaminan hukum yang kuat atas tanah yang Anda beli, dan uang Anda sangat berisiko hilang.
Sporadik adalah singkatan dari Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah. Sporadik adalah dokumen yang dibuat oleh seseorang (pemohon) yang menyatakan bahwa ia secara fisik menguasai sebidang tanah tertentu, dengan batas-batas yang jelas, dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah serta disaksikan oleh dua orang saksi yang mengetahui status tanah tersebut. Sporadik ini seringkali menjadi salah satu dokumen pendukung yang sangat penting dalam proses pendaftaran tanah pertama kali di BPN, terutama untuk tanah yang belum memiliki dokumen kepemilikan yang kuat.
PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Contoh akta yang dibuat PPAT adalah Akta Jual Beli (AJB), Akta Hibah, Akta Tukar Menukar, Akta Pembagian Hak Bersama, dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (untuk agunan bank). PPAT bekerja di bawah pengawasan BPN dan berperan penting dalam memastikan keabsahan transaksi pertanahan dan pendaftaran hak-hak atas tanah.