Gunther Anders, seorang filsuf, eseis, dan kritikus budaya Jerman yang memiliki keterikatan intelektual mendalam dengan karya Franz Kafka. Meskipun Anders dikenal luas sebagai pionir pemikiran mengenai era nuklir dan kritik teknologi, akarnya dalam memahami kondisi manusia modern sangat dipengaruhi oleh narasi absurditas dan alienasi yang ditinggalkan oleh Kafka. Persinggungan keduanya bukanlah sekadar minat akademis, melainkan sebuah perangkat metodologis untuk mendekonstruksi realitas abad ke-20 dan seterusnya.
Kafka, melalui novel-novel seperti "The Trial" dan "The Castle," melukiskan dunia yang dikuasai oleh birokrasi tak terlihat, hukum yang tidak dapat diakses, dan rasa bersalah yang inheren. Individu terperangkap dalam sistem yang mereka ciptakan sendiri namun tidak mampu mereka kendalikan. Gunther Anders melihat bahwa apa yang digambarkan Kafka bukanlah hanya distopia sastra, tetapi sebuah prediksi akurat mengenai sifat dasar masyarakat yang semakin teknologis dan terorganisir.
Perbedaan utama, namun ironisnya, adalah medan pertempuran. Jika Josef K. berjuang melawan tumpukan berkas dan koridor pengadilan yang membingungkan, maka subjek masa Anders—yaitu manusia di era teknologi—berjuang melawan alat yang terlalu efisien. Anders berargumen bahwa teknologi modern, terutama alat produksi massal dan media, telah mengambil alih peran yang dulunya dimainkan oleh birokrasi Kafkaesque. Teknologi menciptakan labirin yang berbeda: labirin kompleksitas, ketergantungan total, dan ketidakmampuan untuk 'mematikan' sistem.
Dalam esai-esai kritisnya mengenai produksi massal dan ketidakrelevanan manusia di hadapan produknya, Anders sering menggunakan terminologi yang resonan dengan suasana Kafka. Tindakan manusia menjadi ritualistik, seperti prosedur yang harus dipatuhi agar mesin terus berjalan. Kegagalan untuk memahami cara kerja mesin, atau bahkan untuk memprotesnya (karena ia ada di mana-mana dan sangat dibutuhkan), menciptakan rasa ketidakberdayaan yang mirip dengan perasaan terperangkap di dalam Kastil.
Kecemasan (Angst) adalah tema sentral dalam pemikiran keduanya. Bagi Kafka, kecemasan muncul dari ketidakjelasan makna hidup dan hukuman tanpa kesalahan. Bagi Anders, kecemasan tersebut bermetamorfosis menjadi "kecemasan teknologi." Ini adalah kesadaran bahwa kita telah menciptakan sesuatu yang melampaui kemampuan kita untuk memahaminya secara utuh, apalagi mengendalikannya. Kita bergantung pada alat-alat yang, pada dasarnya, tidak peduli pada kebutuhan atau nasib kita.
Anders sering menekankan bahwa kita menjadi "antik" dibandingkan dengan produk kita. Mesin selalu baru, selalu mutakhir, sementara manusia tertinggal dalam kemampuan adaptasi mentalnya. Metafora Kafka, tentang sosok yang terus mencari pintu masuk tanpa pernah menemukan gerbang yang tepat, sangat relevan di sini. Kita terus mencari pemahaman di tengah hiruk pikuk informasi dan kecepatan digital, namun gerbang menuju pemahaman yang substansial tetap tertutup.
Melalui lensa Kafka, Gunther Anders mengingatkan kita bahwa kritisasi bukan hanya tentang menolak teknologi, tetapi tentang menyadari posisi kita di dalamnya. Ini adalah seruan untuk menantang asumsi fundamental kita tentang kemajuan. Ketika Kafka mengkritik institusi sosial yang menghisap jiwa manusia, Anders mengkritik institusi material (teknologi) yang melakukan hal serupa, tetapi dengan efisiensi yang jauh lebih mengerikan.
Warisan Kafka bagi Anders adalah pengingat konstan bahwa absurditas tidak hilang; ia hanya berganti kostum. Dari ruang sidang yang remang-remang di Praha, absurditas itu kini bersinar melalui layar yang terlalu terang, menuntut perhatian kita secara terus-menerus. Membaca Anders setelah Kafka adalah memahami bagaimana kegelisahan abad kesembilan belas bertransformasi menjadi krisis eksistensial abad modern, sebuah krisis yang didorong oleh kecepatan yang kita ciptakan namun tidak kita atur. Inilah esensi dari dialog filosofis abadi antara kritik sosial dan kesadaran teknologi yang diwakili oleh dua pemikir besar ini.