Ilustrasi figur urban yang merepresentasikan semangat Jakarta.
Istilah "Mpok Alpa" mungkin terdengar asing bagi sebagian kalangan awam, namun bagi masyarakat urban Jakarta, khususnya yang akrab dengan dinamika sosial budaya ibu kota, nama ini segera memunculkan citra spesifik. Mpok Alpa bukan merujuk pada satu individu tunggal yang spesifik, melainkan sebuah arketipe karakter perempuan urban Betawi—atau yang terinspirasi kuat oleh budaya Betawi—yang khas, cerdas, nyablak, namun tetap memegang teguh nilai kekeluargaan.
Dalam konteks budaya populer, representasi karakter seperti Mpok Alpa sering kali muncul pertama kali dalam ranah komedi, teater, atau kini, konten-konten digital. Sosok ini biasanya digambarkan sebagai perempuan paruh baya yang blak-blakan, menggunakan logat Betawi kental, dan memiliki kemampuan memimpin atau menyelesaikan masalah dengan cara yang lugas. Mereka adalah representasi ketahanan (resilience) masyarakat pinggiran kota yang harus beradaptasi dengan hiruk pikuk metropolis.
Transformasi budaya Jakarta yang cepat seringkali melahirkan dikotomi antara modernitas dan tradisi. Mpok Alpa menjadi jembatan kultural tersebut. Ia mungkin mengenakan pakaian modern namun tetap menyematkan aksen tradisional, atau menggunakan bahasa gaul Jakarta yang dicampur dengan frasa Betawi lama. Karakteristik utama dari sosok ini adalah kemampuan sosialnya yang tinggi; mereka adalah "info center" berjalan di lingkungan mereka.
Jika kita membedah lebih dalam apa yang membuat arketipe Mpok Alpa begitu relevan, beberapa poin menonjol:
Di era media sosial, konsep Mpok Alpa semakin diperkuat. Banyak kreator konten sengaja membangun persona yang meniru atau mengidolakan karakter ini. Konten mereka sering berputar pada review jujur tentang produk lokal, komentar sosial yang satire, atau bahkan tutorial kehidupan sehari-hari dengan sentuhan humor Betawi yang jenaka. Popularitas mereka membuktikan bahwa otentisitas dan kearifan lokal memiliki tempat yang kuat di tengah arus globalisasi konten.
Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya urban tidak selalu harus steril dan seragam. Jakarta, sebagai kota metropolitan yang sangat heterogen, membutuhkan figur yang mewakili suara akar rumput—suara yang jujur, tanpa basa-basi, dan memiliki akar budaya yang kuat. Sosok Mpok Alpa menawarkan rasa familiaritas dan koneksi yang mendalam bagi banyak warga Jakarta yang merindukan kehangatan komunitas di tengah kesibukan kota besar.
Bahkan, dalam beberapa diskusi akademis mengenai urbanisme dan budaya pop, Mpok Alpa dilihat sebagai studi kasus menarik mengenai bagaimana identitas etnis minoritas (Betawi) berhasil mengokohkan dirinya dalam narasi budaya mayoritas perkotaan melalui humor dan ketangguhan karakter. Ia adalah simbol bahwa Jakarta adalah kota yang dinamis, yang menghargai keberanian bersuara lantang, selama itu didasari oleh kepedulian yang tulus.
Pada akhirnya, Mpok Alpa lebih dari sekadar istilah komedi; ia adalah cerminan jiwa komunal Jakarta yang tak mau tergerus oleh modernisasi tanpa kehilangan jati dirinya. Kehadirannya terus memberikan warna dan keberanian dalam percakapan publik urban Indonesia.