Pengantar: Memahami Fondasi Realitas Ilmu Pengetahuan
Dalam lanskap intelektual yang luas dari filsafat, ontologi berdiri sebagai salah satu cabang tertua dan paling fundamental. Ia adalah studi tentang keberadaan, tentang apa itu "ada," dan tentang kategori-kategori dasar realitas. Ketika kita mengaitkannya dengan filsafat ilmu, ontologi mengambil peran krusial sebagai fondasi yang menopang seluruh struktur pengetahuan ilmiah. Tanpa pemahaman yang jelas tentang asumsi-asumsi ontologis yang mendasari suatu disiplin ilmu, kita berisiko membangun istana pengetahuan di atas pasir, tanpa pondasi yang kokoh.
Filsafat ilmu, di sisi lain, adalah disiplin yang merefleksikan, mengkritisi, dan menganalisis metode, konsep, dan asumsi ilmu pengetahuan. Ia bertanya tentang apa itu ilmu, bagaimana ilmu bekerja, apa batasan-batasannya, dan apa validitas klaim pengetahuannya. Dalam triad klasik filsafat ilmu—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—ontologi berperan dalam menjawab pertanyaan "apa yang ada yang dapat kita ketahui?" atau "apa hakikat realitas yang menjadi objek kajian ilmu?" Ini adalah pertanyaan mendasar yang mendahului bagaimana kita mengetahui (epistemologi) dan mengapa kita mengetahui (aksiologi).
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam signifikansi ontologi dalam filsafat ilmu, membahas berbagai pandangan ontologis yang telah membentuk pemikiran ilmiah, serta implikasinya terhadap disiplin ilmu yang berbeda. Kita akan menyelam ke dalam perdebatan-perdebatan fundamental mengenai hakikat entitas ilmiah, realitas kausalitas, sifat ruang dan waktu, serta keberadaan konsep-konsep abstrak hingga struktur sosial. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman komprehensif tentang bagaimana pandangan kita terhadap "ada" secara fundamental mempengaruhi cara kita memahami, meneliti, dan menginterpretasikan dunia melalui lensa ilmu pengetahuan.
Apa Itu Ontologi? Penelusuran Makna Esensial
Untuk memahami peran ontologi dalam filsafat ilmu, pertama-tama kita harus menguraikan apa itu ontologi. Secara etimologis, kata "ontologi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos (ada, keberadaan) dan logos (ilmu, teori, studi). Jadi, ontologi secara harfiah berarti "ilmu tentang keberadaan" atau "studi tentang ada." Ia adalah cabang metafisika yang paling fundamental, yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan dasar tentang apa yang benar-benar ada, apa sifat dari keberadaan itu sendiri, dan bagaimana entitas-entitas yang berbeda dapat diklasifikasikan.
Etimologi dan Sejarah Singkat
Istilah "ontologi" relatif baru, diciptakan pada abad ke-17 oleh Rudolf Göckel dan kemudian dipopulerkan oleh Christian Wolff. Namun, gagasan di balik ontologi jauh lebih tua, berakar kuat dalam filsafat Yunani kuno. Plato, dengan teorinya tentang Bentuk (Forms) yang kekal dan tak berubah sebagai realitas sejati di balik dunia indrawi, secara efektif melakukan proyek ontologis. Demikian pula Aristoteles, dalam karyanya Metaphysics, menanyakan tentang "being qua being" (keberadaan sebagai keberadaan), menyelidiki prinsip-prinsip dan penyebab utama yang mendasari semua hal yang ada.
Sepanjang sejarah filsafat, para pemikir terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan ontologis: Apakah realitas itu satu (monisme) atau banyak (pluralisme)? Apakah realitas fundamental itu material (materialisme) atau mental (idealisme)? Apakah ada entitas universal (universalia) selain entitas partikular (nominalisme)? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar permainan kata, melainkan upaya untuk memahami kerangka dasar di mana pengalaman dan pengetahuan kita tersusun.
Cabang-cabang dan Konsep Dasar Ontologi
Meskipun sering dianggap sebagai satu kesatuan, ontologi dapat dibedakan menjadi beberapa cabang atau area fokus:
- Ontologi Umum (General Ontology): Berurusan dengan kategori keberadaan yang paling umum dan fundamental, seperti substansi, atribut, relasi, peristiwa, dan waktu. Ini mencoba mengidentifikasi struktur dasar dari semua realitas.
- Ontologi Khusus (Special Ontology): Memfokuskan pada jenis-jenis keberadaan tertentu, seperti ontologi fisik (mengenai benda-benda material, ruang, waktu), ontologi mental (mengenai pikiran, kesadaran, ide), ontologi sosial (mengenai institusi, budaya, masyarakat), atau ontologi matematika (mengenai angka, himpunan, struktur abstrak).
Beberapa konsep dasar yang sering muncul dalam diskursus ontologis meliputi:
- Ada (Being) dan Keberadaan (Existence): Meskipun sering digunakan secara bergantian, beberapa filsuf membedakannya. "Ada" bisa merujuk pada segala sesuatu yang dapat dipikirkan, termasuk objek abstrak dan fiksi, sementara "keberadaan" sering dikaitkan dengan realitas konkret di dunia nyata.
- Realitas (Reality): Konsep tentang apa yang sebenarnya terjadi atau ada, terlepas dari persepsi atau kesadaran kita.
- Substansi (Substance): Sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hal lain untuk keberadaannya. Ini adalah salah satu konsep ontologis tertua, dengan perdebatan apakah substansi itu materi, pikiran, atau bentuk lainnya.
- Atribut (Attribute) dan Mode (Mode): Sifat atau karakteristik yang melekat pada suatu substansi.
- Relasi (Relation): Cara suatu entitas berhubungan dengan entitas lain.
- Peristiwa (Event): Perubahan dalam keadaan substansi atau atribut.
Memahami konsep-konsep ini sangat penting karena ilmu pengetahuan pada dasarnya berupaya mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menjelaskan entitas-entitas ini di dalam domain studinya.
Filsafat Ilmu: Memahami Proses Pengetahuan Ilmiah
Setelah memahami ontologi, mari kita tempatkan dalam konteks filsafat ilmu. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang menyelidiki hakikat ilmu pengetahuan, praktik ilmiah, dan implikasi epistemologis, ontologis, dan etis dari ilmu. Ini bukan tentang melakukan ilmu itu sendiri, melainkan tentang merefleksikan ilmu dari sudut pandang filosofis yang lebih tinggi.
Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Tujuan utama filsafat ilmu adalah untuk:
- Menganalisis Konsep Ilmiah: Memeriksa definisi, penggunaan, dan validitas konsep-konsep kunci dalam ilmu pengetahuan (misalnya, kausalitas, hukum alam, teori, bukti, penjelasan, model).
- Menguji Metode Ilmiah: Menyelidiki bagaimana ilmuwan memperoleh pengetahuan, apakah ada metode universal yang disebut "metode ilmiah," dan apa dasar rasionalitasnya.
- Mengevaluasi Klaim Pengetahuan Ilmiah: Menentukan sejauh mana ilmu dapat mengklaim kebenaran atau mendekati kebenaran tentang dunia.
- Memahami Batasan Ilmu: Mengidentifikasi apa yang tidak dapat atau tidak seharusnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan.
- Melihat Implikasi Sosial dan Etis: Membahas dampak ilmu pengetahuan terhadap masyarakat dan nilai-nilai etis.
Tradisi filsafat ilmu biasanya membagi pertanyaannya menjadi tiga area utama:
- Ontologi (Metafisika Ilmu): Apa yang ada yang dipelajari oleh ilmu? Apakah entitas-entitas ilmiah itu nyata? Apa sifat dari realitas yang diungkapkan oleh teori-teori ilmiah?
- Epistemologi (Teori Pengetahuan Ilmiah): Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu dalam ilmu? Apa itu bukti ilmiah? Bagaimana teori ilmiah diverifikasi atau difalsifikasi? Apa hubungan antara observasi dan teori?
- Aksiologi (Nilai dalam Ilmu): Apa nilai-nilai yang mendasari praktik ilmiah? Bagaimana etika memandu penelitian ilmiah? Apa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan?
Meskipun ketiganya saling terkait, fokus kita di sini adalah ontologi, yang seringkali menjadi asumsi yang kurang disadari namun fundamental bagi penyelidikan epistemologis dan aksiologis.
Perkembangan Sejarah dan Peran Asumsi Ontologis
Filsafat ilmu telah mengalami evolusi signifikan. Dari empirisme klasik John Locke dan David Hume yang menekankan pengalaman indrawi, hingga rasionalisme Descartes dan Spinoza yang mengutamakan akal, asumsi ontologis selalu berada di latar belakang. Kaum empiris cenderung ke arah ontologi materialis atau fenomenalis, di mana hanya apa yang dapat diamati yang "ada." Rasionalis, sebaliknya, mungkin mengizinkan keberadaan ide-ide bawaan atau substansi non-material.
Pada abad ke-20, munculah Positivisme Logis dari Lingkaran Wina, yang mencoba membersihkan filsafat dari pertanyaan-pertanyaan metafisik yang mereka anggap tidak bermakna. Mereka berpendapat bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris yang memiliki makna. Pandangan ini secara implisit mengadopsi ontologi yang sangat restriktif, yang pada dasarnya menolak keberadaan entitas yang tidak dapat diamati secara langsung. Ironisnya, bahkan penolakan terhadap metafisika ini sendiri adalah sebuah posisi metafisik.
Munculnya Karl Popper dengan konsep falsifikasi menantang verifikasionisme positivis, namun masih mempertahankan fokus pada pengalaman sebagai arbiter utama teori ilmiah. Kemudian, Thomas Kuhn dengan idenya tentang paradigma dan revolusi ilmiah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear, tetapi melalui pergeseran paradigma yang melibatkan perubahan tidak hanya dalam teori dan metode, tetapi juga dalam asumsi ontologis dasar tentang apa yang ada di dunia.
Misalnya, pergeseran dari paradigma Ptolemeus ke Copernicus tidak hanya mengubah cara kita menghitung gerakan planet, tetapi juga mengubah pandangan ontologis kita tentang posisi Bumi di alam semesta—dari pusat ke planet biasa. Pergeseran dari fisika Newtonian ke Einsteinian tidak hanya mengubah persamaan kita, tetapi juga mengubah pemahaman ontologis kita tentang ruang dan waktu—dari entitas absolut dan terpisah menjadi entitas yang relatif dan saling terkait dalam satu kesatuan ruang-waktu.
Ini menunjukkan bahwa asumsi ontologis bukanlah sekadar aksesoris tambahan, melainkan elemen integral yang membentuk cara kita merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, menafsirkan data, dan membangun teori ilmiah.
Pertanyaan Ontologis Kunci dalam Filsafat Ilmu
Diskusi ontologis dalam filsafat ilmu seringkali berkisar pada serangkaian pertanyaan fundamental yang menantang pemahaman kita tentang realitas yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang mudah, dan perdebatan seputar mereka telah membentuk banyak jalur pemikiran dalam filsafat ilmu.
1. Realitas Entitas Teoretis: Realisme vs. Anti-Realisme
Salah satu perdebatan ontologis paling sengit adalah mengenai status keberadaan entitas yang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi sangat penting untuk teori ilmiah. Apakah elektron, kuark, medan gravitasi, gen, atau gelombang elektromagnetik itu benar-benar ada di dunia, terlepas dari apakah kita dapat mengamatinya secara langsung, atau apakah mereka hanyalah konstruksi konseptual atau alat matematis yang berguna untuk memprediksi dan menjelaskan fenomena yang dapat diamati?
-
Realisme Ilmiah: Posisi bahwa teori-teori ilmiah yang sukses memberikan gambaran yang (setidaknya secara aproksimatif) benar tentang dunia, termasuk entitas-entitas tak teramati yang dihipotesiskan oleh teori tersebut. Kaum realis berpendapat bahwa adalah suatu "keajaiban" (no-miracles argument atau the miracle argument) jika teori-teori ilmiah sangat sukses dalam memprediksi dan menjelaskan tanpa ada hubungan dengan realitas yang mendasarinya.
Contoh: Seorang realis akan percaya bahwa elektron benar-benar ada sebagai partikel subatomik dengan sifat-sifat tertentu, bukan hanya konsep yang nyaman untuk menjelaskan fenomena listrik.
-
Anti-Realisme (Instrumentalisme, Konstruktivisme, Empirisme Konstruktif): Posisi yang menolak klaim realis bahwa teori-teori ilmiah (terutama yang melibatkan entitas tak teramati) harus dianggap benar atau mendekati kebenaran. Bagi anti-realis, teori adalah "instrumen" atau alat yang berguna untuk mengatur data yang dapat diamati dan membuat prediksi, tetapi kita tidak perlu percaya pada keberadaan entitas tak teramati yang disarankan oleh teori tersebut.
Contoh: Seorang anti-realis mungkin mengatakan bahwa "elektron" adalah model yang sangat berguna untuk memprediksi bagaimana sirkuit listrik akan bekerja, tetapi kita tidak dapat secara definitif mengatakan bahwa elektron itu "ada" di luar model itu. Mereka sering menunjuk pada sejarah ilmu di mana banyak entitas teoritis di masa lalu (misalnya, eter luminiferus) akhirnya terbukti tidak ada.
Perdebatan ini memiliki implikasi besar. Jika kita adalah realis, kita akan lebih yakin bahwa ilmu sedang mengungkap kebenaran tentang dunia. Jika kita anti-realis, kita mungkin lebih berhati-hati dalam membuat klaim ontologis dan melihat ilmu lebih sebagai alat pragmatis.
2. Sifat Realitas: Monisme, Dualisme, Pluralisme
Pertanyaan tentang berapa banyak jenis substansi atau jenis fundamental realitas yang ada adalah inti dari ontologi:
-
Monisme: Klaim bahwa hanya ada satu jenis fundamental realitas.
- Materialisme/Fisikalisme: Segala sesuatu yang ada adalah fisik atau dapat direduksi menjadi fisik. Pikiran, kesadaran, dan fenomena mental lainnya dianggap sebagai produk atau properti dari materi yang kompleks (misalnya, otak). Ini adalah pandangan dominan dalam filsafat ilmu kontemporer, terutama di antara mereka yang sangat dipengaruhi oleh ilmu fisika.
- Idealisme: Realitas fundamental adalah mental atau spiritual (misalnya, gagasan, pikiran, kesadaran). Dunia fisik dianggap sebagai manifestasi atau produk dari pikiran. Pandangan ini kurang umum dalam filsafat ilmu modern tetapi memiliki sejarah panjang dalam filsafat Barat dan Timur.
-
Dualisme: Klaim bahwa ada dua jenis fundamental realitas yang berbeda dan tidak dapat direduksi satu sama lain. Contoh paling terkenal adalah dualisme substansi René Descartes, yang mengemukakan bahwa ada substansi materi (res extensa) dan substansi pikiran (res cogitans).
Ini menimbulkan masalah interaksi pikiran-tubuh: bagaimana dua substansi yang sangat berbeda ini dapat saling mempengaruhi?
- Pluralisme: Klaim bahwa ada banyak jenis fundamental realitas yang berbeda, yang tidak dapat direduksi menjadi satu atau dua kategori.
Pilihan di antara posisi-posisi ini secara mendalam mempengaruhi bagaimana ilmuwan dan filsuf ilmu memahami fenomena seperti kesadaran, kehidupan, dan struktur sosial.
3. Universalia dan Partikularia
Apakah sifat-sifat umum (misalnya, kemerahan, kebulatan, keadilan) itu ada secara independen sebagai entitas abstrak (universalia), ataukah hanya ada objek-objek individual yang memiliki sifat-sifat tersebut (partikularia)?
-
Realisme Universalia (Platonisme): Universalitas ada secara nyata, terlepas dari apakah ada partikular yang memilikinya. "Kemerahan" ada sebagai bentuk ideal, dan objek-objek merah hanyalah partisipasi dalam bentuk itu.
Ini relevan dalam matematika (apakah bilangan itu ada secara independen?) dan dalam biologi (apakah "spesies" itu entitas nyata atau hanya kategori yang kita buat?).
-
Nominalisme: Hanya partikular yang ada. Universalia hanyalah nama, label, atau konsep yang kita gunakan untuk mengelompokkan partikular yang mirip. "Kemerahan" tidak ada sebagai entitas terpisah; hanya ada objek-objek individu yang kita sebut "merah."
Implikasinya terhadap ilmu adalah bahwa konsep-konsep umum seperti "gaya" atau "energi" mungkin hanya konstruksi linguistik yang nyaman, bukan referensi untuk entitas yang ada secara objektif.
4. Kausalitas: Hakikat Sebab-Akibat
Apakah kausalitas (hubungan sebab-akibat) itu realitas objektif di dunia, ataukah hanya konstruksi mental kita untuk mengamati suksesi peristiwa secara teratur? David Hume adalah seorang skeptis terkenal terhadap kausalitas, mengklaim bahwa kita hanya mengamati korelasi dan kebiasaan, bukan kekuatan penyebab yang inheren.
- Realisme Kausal: Percaya bahwa hubungan kausal adalah hubungan objektif dan nyata yang ada di dunia. Ilmu pengetahuan bertugas menemukan hubungan-hubungan kausal ini.
- Anti-Realisme Kausal: Memandang kausalitas lebih sebagai alat konseptual atau inferensial yang membantu kita memprediksi dan menjelaskan, tetapi bukan fitur fundamental dari realitas itu sendiri.
Pertanyaan ini sangat penting untuk semua ilmu yang mencoba menjelaskan fenomena, dari fisika yang mencari sebab-akibat partikel hingga ilmu sosial yang mencari penyebab perilaku manusia.
5. Waktu dan Ruang: Entitas atau Relasi?
Apakah waktu dan ruang adalah wadah independen yang ada terlepas dari objek dan peristiwa di dalamnya (pandangan absolutis), ataukah mereka hanyalah hubungan yang muncul dari keberadaan dan interaksi objek dan peristiwa itu sendiri (pandangan relasionalis)?
- Absolutisme (Newton): Ruang dan waktu adalah entitas absolut, independen dari materi dan peristiwa.
- Relasionalisme (Leibniz, Einstein): Ruang dan waktu adalah sistem relasi antara objek dan peristiwa. Teori relativitas Einstein mendukung pandangan relasionalis, mengikat ruang dan waktu menjadi satu kesatuan ruang-waktu yang dinamis.
Pemahaman ontologis kita tentang ruang dan waktu sangat fundamental bagi fisika, kosmologi, dan bahkan biologi (misalnya, konsep ritme sirkadian).
6. Kehidupan dan Kesadaran: Reduksionisme atau Emergentisme?
Bagaimana kita memahami fenomena kompleks seperti kehidupan dan kesadaran? Apakah mereka dapat sepenuhnya dijelaskan oleh dan direduksi menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana (fisika dan kimia), atau apakah mereka memiliki sifat-sifat baru yang muncul dari organisasi kompleks yang tidak dapat ditemukan pada bagian-bagian penyusunnya?
- Reduksionisme: Keyakinan bahwa fenomena di satu tingkat (misalnya, biologis) pada prinsipnya dapat dijelaskan sepenuhnya oleh fenomena di tingkat yang lebih rendah (misalnya, kimia atau fisika). Ontologi reduksionis cenderung monistik (fisikalis).
-
Emergentisme: Keyakinan bahwa sifat-sifat baru dan kompleks muncul dari interaksi bagian-bagian sederhana, dan sifat-sifat ini tidak dapat sepenuhnya diprediksi atau dijelaskan hanya dari sifat-sifat bagian-bagian tersebut secara terpisah. Sifat-sifat emergen ini dianggap memiliki keberadaan ontologis yang nyata.
Contoh: Kesadaran adalah sifat emergen dari otak yang kompleks.
Perdebatan ini sangat relevan dalam biologi, neurosains, dan psikologi, di mana pemahaman tentang kehidupan dan kesadaran masih menjadi misteri besar.
7. Struktur Sosial: Individualisme Metodologis vs. Holisme Metodologis
Dalam ilmu sosial, pertanyaan ontologis muncul mengenai hakikat entitas sosial seperti masyarakat, institusi, budaya, dan kelompok. Apakah entitas-entitas ini memiliki keberadaan ontologis yang nyata, independen dari individu-individu yang membentuknya, ataukah mereka hanyalah agregasi dari tindakan dan keyakinan individu?
- Individualisme Metodologis: Menegaskan bahwa semua fenomena sosial, pada prinsipnya, harus dijelaskan dalam kerangka individu, sifat-sifat mereka, tujuan mereka, dan interaksi mereka. Entitas sosial tidak memiliki keberadaan independen.
- Holisme Metodologis (Kolektivisme): Menegaskan bahwa entitas sosial (misalnya, masyarakat, negara, kelas sosial) memiliki keberadaan dan sifat-sifat yang tidak dapat direduksi menjadi individu. Mereka dapat memiliki "daya" atau "struktur" yang mempengaruhi perilaku individu.
Pilihan antara kedua pandangan ini sangat mempengaruhi bagaimana sosiolog, ekonom, dan ilmuwan politik merumuskan teori, merancang penelitian, dan menafsirkan temuan mereka.
Aliran Ontologis Utama dalam Diskursus Ilmiah
Berbagai pandangan ontologis yang telah dibahas di atas seringkali dikelompokkan ke dalam aliran-aliran besar dalam filsafat ilmu. Memahami aliran-aliran ini membantu kita mengidentifikasi asumsi dasar yang membentuk cara ilmuwan dan filsuf ilmu mendekati pertanyaan tentang realitas.
1. Realisme Ilmiah
Realisme ilmiah adalah posisi ontologis yang paling umum diasumsikan oleh sebagian besar ilmuwan (meskipun tidak selalu direfleksikan secara filosofis). Realisme ilmiah menegaskan bahwa teori-teori ilmiah yang paling sukses tidak hanya berguna untuk memprediksi dan mengontrol, tetapi juga secara kurang lebih benar menggambarkan realitas yang mendasari, termasuk entitas-entitas yang tidak dapat diamati secara langsung (misalnya, elektron, gen, medan). Realisme mengimplikasikan bahwa keberhasilan ilmu adalah bukti bahwa ia "menggigit" realitas.
Argumen Pendukung Realisme:
- Argumen "No-Miracles" (Putznam, Boyd): Ini adalah argumen inti realisme ilmiah. Ini menyatakan bahwa keberhasilan empiris yang luar biasa dari teori-teori ilmiah dalam memprediksi, menjelaskan, dan memungkinkan kontrol atas dunia akan menjadi sebuah "keajaiban" yang tidak dapat dijelaskan jika teori-teori tersebut tidak setidaknya secara aproksimatif benar dan entitas-entitas yang mereka postulasikan tidak setidaknya secara aproksimatif ada. Mengapa teori tentang elektron yang tidak ada bisa memprediksi perilaku sirkuit elektronik dengan akurasi tinggi?
- Konvergensi Teori: Seiring waktu, teori-teori dalam bidang ilmu tertentu cenderung konvergen menuju deskripsi realitas yang lebih koheren dan lengkap.
- Efektivitas Intervensi: Kemampuan ilmuwan untuk memanipulasi entitas tak teramati (misalnya, memanipulasi gen, menembakkan partikel) menunjukkan bahwa entitas tersebut memiliki keberadaan nyata.
Variasi Realisme:
- Realisme Entitas: Lebih percaya pada keberadaan entitas tak teramati daripada kebenaran penuh dari teori yang menuliskannya.
- Realisme Struktural: Mengklaim bahwa yang kita ketahui dari teori adalah struktur relasional, bukan hakikat intrinsik dari entitas itu sendiri.
2. Anti-Realisme Ilmiah
Anti-realisme mencakup berbagai posisi yang menolak klaim realis. Pada intinya, anti-realis berpendapat bahwa kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk percaya pada kebenaran teori-teori ilmiah yang melibatkan entitas tak teramati, atau pada keberadaan entitas-entitas tersebut.
Aliran Anti-Realisme:
-
Instrumentalisme: Teori-teori ilmiah dipandang sebagai "instrumen" atau alat yang berguna untuk membuat prediksi dan mengorganisir pengalaman yang dapat diamati, tetapi mereka tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar tentang realitas yang mendasari. Kebenaran teori hanya relevan dengan bagian-bagian yang dapat diamati secara empiris.
Contoh: Bohr mungkin adalah instrumentalis sejati ketika ia mengatakan bahwa kita tidak boleh bertanya tentang "realitas" elektron yang berputar mengelilingi inti, melainkan hanya menggunakan model itu untuk memprediksi spektrum cahaya.
- Empirisme Konstruktif (Bas van Fraassen): Sebuah bentuk anti-realisme yang lebih halus. Van Fraassen berpendapat bahwa tujuan ilmu adalah untuk menghasilkan teori-teori yang "memuaskan secara empiris" (empirically adequate)—yaitu, teori yang sesuai dengan semua fenomena yang dapat diamati. Kita harus menerima bahwa teori itu memuaskan secara empiris, tetapi kita tidak perlu percaya pada kebenaran dari klaim-klaimnya tentang entitas tak teramati. Kepercayaan pada entitas tak teramati adalah keputusan opsional yang tidak diwajibkan oleh rasionalitas ilmiah.
- Konstruktivisme Sosial: Realitas, terutama realitas sosial, adalah konstruksi sosial yang diciptakan melalui interaksi manusia, bahasa, dan budaya. Dalam bentuk yang lebih ekstrem, beberapa konstruktivis bahkan berpendapat bahwa "fakta" ilmiah itu sendiri adalah konstruksi sosial, bukan penemuan realitas objektif.
Argumen Pendukung Anti-Realisme:
- Pessimistic Meta-Induction (Laudan): Sejarah ilmu pengetahuan penuh dengan teori-teori yang pada masanya dianggap sangat sukses dan secara ontologis diyakini kebenarannya, tetapi kemudian terbukti salah atau digantikan oleh teori lain yang sama sekali berbeda. Jika teori-teori sukses di masa lalu akhirnya dibuang, mengapa kita harus percaya bahwa teori-teori sukses kita saat ini akan bernasib lebih baik?
- Underdetermination of Theory by Evidence: Ada kemungkinan bahwa untuk setiap set data empiris, selalu ada beberapa teori yang berbeda dan bahkan saling bertentangan yang dapat menjelaskannya sama baiknya. Jika demikian, bukti empiris tidak dapat secara definitif memilih satu teori sebagai yang "benar" tentang realitas tak teramati.
- Perubahan Konseptual: Ketika teori-teori berubah, konsep-konsep inti (misalnya, "massa" dalam fisika klasik vs. relativistik) seringkali berubah begitu drastis sehingga mereka tidak lagi merujuk pada hal yang sama, sehingga merusak gagasan konvergensi kebenaran.
3. Materialisme/Fisikalisme
Materialisme adalah pandangan ontologis bahwa satu-satunya yang ada adalah materi atau energi, dan semua fenomena (termasuk kesadaran dan pikiran) adalah hasil dari interaksi materi. Fisikalisme adalah versi modern dari materialisme yang lebih presisi, mengklaim bahwa semua yang ada adalah fisik atau dapat direduksi menjadi fisik, seperti yang dijelaskan oleh fisika fundamental.
- Implikasi: Dalam pandangan ini, pikiran adalah otak, dan proses mental adalah proses neurobiologis. Tidak ada "roh" atau "jiwa" yang terpisah dari tubuh. Ini adalah pandangan dominan di banyak ilmu alam, terutama neurosains dan biologi.
- Tantangan: Masalah kesadaran (hard problem of consciousness) tetap menjadi tantangan besar bagi fisikalisme. Bagaimana materi fisik dapat menghasilkan pengalaman subjektif (qualia)?
4. Emergentisme dan Reduksionisme
Kedua pandangan ini sering bertentangan dalam menjelaskan hubungan antara level-level realitas yang berbeda, misalnya, bagaimana biologi berhubungan dengan kimia, atau bagaimana psikologi berhubungan dengan neurosains.
-
Reduksionisme Ontologis: Klaim bahwa entitas di tingkat yang lebih tinggi (misalnya, sel) sebenarnya "adalah" entitas di tingkat yang lebih rendah (misalnya, molekul dan atom). Ini mengimplikasikan bahwa semua yang ada dapat, pada prinsipnya, dijelaskan oleh fisika fundamental.
Contoh: Air adalah H2O. Fenomena air sepenuhnya direduksi menjadi keberadaan dan interaksi molekul H2O.
-
Emergentisme: Sifat-sifat baru yang tidak dapat dijelaskan atau diprediksi dari bagian-bagian penyusunnya muncul ketika elemen-elemen yang lebih sederhana terorganisir menjadi sistem yang kompleks. Sifat-sifat emergen ini (misalnya, kesadaran, kehidupan, panas, fluiditas) dianggap memiliki keberadaan ontologis yang nyata pada tingkat yang lebih tinggi.
Contoh: Sifat fluiditas air muncul dari interaksi molekul H2O, tetapi fluiditas bukanlah sifat molekul H2O tunggal.
Debat ini sangat vital dalam biologi (kehidupan sebagai properti emergen), kimia (sifat molekuler), dan ilmu saraf (kesadaran).
5. Nominalisme dan Essentialisme
Seperti yang telah dibahas, nominalisme menyatakan bahwa hanya partikular yang ada, sedangkan essentialisme berpendapat bahwa entitas memiliki esensi atau sifat-sifat intrinsik yang mendefinisikan mereka dan yang kekal.
-
Nominalisme: Konsep-konsep seperti "spesies" atau "kelas sosial" hanyalah label yang kita gunakan untuk mengelompokkan individu-individu yang serupa, bukan entitas yang memiliki keberadaan independen.
Implikasi: Mempertanyakan keberadaan objektif dari kategori-kategori ilmiah yang kita gunakan.
-
Essentialisme: Objek-objek alam memiliki esensi batin yang menentukan identitas dan sifat-sifatnya.
Implikasi: Dalam biologi, ini bisa berarti ada esensi "spesies" yang mendasari setiap anggota spesies tersebut. Namun, essentialisme sering dikritik karena kurang fleksibel terhadap perubahan dan variasi.
Studi Kasus: Implikasi Ontologi dalam Disiplin Ilmu Spesifik
Untuk lebih memahami pentingnya ontologi, mari kita lihat bagaimana pertanyaan dan posisi ontologis memengaruhi berbagai disiplin ilmu secara spesifik.
1. Fisika: Realitas Partikel, Medan, Ruang-Waktu
Fisika adalah disiplin yang secara paling eksplisit berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang realitas fundamental. Sejak dahulu kala, fisika telah bergulat dengan pertanyaan tentang apa yang menjadi penyusun dasar alam semesta.
- Fisika Klasik (Newtonian): Mengasumsikan ontologi yang sangat realis dan deterministik. Ruang adalah wadah absolut yang tak terbatas, waktu adalah aliran absolut yang tak terpengaruh, dan materi terdiri dari partikel-partikel padat yang berinteraksi melalui gaya di ruang dan waktu. Kausalitas dipahami secara kuat sebagai hubungan deterministik.
- Fisika Relativitas (Einstein): Mengubah ontologi ruang dan waktu secara radikal. Ruang dan waktu tidak lagi absolut dan terpisah, melainkan terjalin menjadi satu kesatuan ruang-waktu yang dinamis, yang kelengkungannya menghasilkan gravitasi. Realitas bukanlah objek-objek diskrit di ruang-waktu absolut, melainkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam struktur ruang-waktu yang relatif. Ini adalah pergeseran ontologis dari absolutisme ke relasionalisme.
-
Mekanika Kuantum: Mungkin merupakan tantangan ontologis terbesar bagi intuisi kita. Pertanyaan tentang realitas partikel subatomik (misalnya, elektron, foton) menjadi sangat kompleks.
- Apakah partikel kuantum "ada" sebelum diukur?
- Apakah ia adalah partikel, gelombang, atau keduanya (dualisme gelombang-partikel)?
- Interpretasi Kopenhagen (anti-realis): Partikel tidak memiliki sifat-sifat definitif sebelum diukur; tindakan pengukuran "menciptakan" realitas. Ini adalah pandangan anti-realis ontologis yang kuat.
- Interpretasi Many-Worlds (Everett, realis): Setiap hasil yang mungkin dari pengukuran kuantum secara fisik terwujud dalam alam semesta yang terpisah. Ini adalah ontologi pluralistik yang sangat kaya.
- Realisme Bohmian (Realisme): Ada variabel tersembunyi yang menentukan perilaku partikel, mempertahankan ontologi yang lebih deterministik.
Debat tentang interpretasi mekanika kuantum adalah debat ontologis murni: apa hakikat realitas pada skala fundamental?
- Realitas Entitas Teoretis Lanjutan: Apakah lubang hitam, materi gelap, energi gelap, atau gelombang gravitasi "ada" dalam arti yang sama dengan kursi yang kita duduki? Fisikawan secara umum adalah realis, percaya bahwa penemuan mereka merujuk pada entitas nyata, meskipun tidak dapat diamati secara langsung.
2. Biologi: Konsep Spesies, Kehidupan, dan Organisme
Biologi juga sarat dengan pertanyaan ontologis yang mendalam.
- Konsep Spesies: Apakah "spesies" itu entitas nyata yang ada di alam (realisme spesies), ataukah itu hanyalah kategori buatan manusia untuk mengklasifikasikan keanekaragaman biologis (nominalisme spesies)? Debat ini sangat relevan dalam taksonomi dan studi evolusi. Jika spesies itu nyata, apa esensinya? Bagaimana kita mendefinisikannya dalam menghadapi evolusi dan variasi genetik?
- Apa Itu Kehidupan?: Ini adalah pertanyaan ontologis klasik. Apakah kehidupan hanya kumpulan reaksi kimia yang kompleks (reduksionisme materialistik), atau apakah ada properti vital yang emergen yang mendefinisikan kehidupan yang tidak dapat direduksi ke kimia dasar (vitalisme, atau emergentisme yang lebih modern)? Biologi modern cenderung ke arah reduksionisme tetapi mengakui kompleksitas dan properti emergen pada tingkat organisasi yang lebih tinggi.
- Ontologi Organisme: Apakah organisme adalah individu yang utuh dengan batas-batas yang jelas, ataukah mereka adalah ekosistem mikro dari berbagai entitas (misalnya, mikrobioma)? Konsep "individu" dalam biologi bisa menjadi problematis, terutama untuk organisme kolonial atau simbiosis.
- Gen dan Informasi Genetik: Apakah gen itu entitas fisik diskrit, ataukah konsep fungsional yang lebih abstrak? Apakah "informasi" dalam DNA itu entitas ontologis, ataukah hanya metafora yang berguna?
3. Neurofisiologi dan Psikologi Kognitif: Masalah Pikiran-Tubuh
Ini adalah area di mana ontologi berbenturan langsung dengan studi tentang kesadaran dan kognisi.
-
Masalah Pikiran-Tubuh (Mind-Body Problem): Bagaimana pikiran (pengalaman subjektif, kesadaran, niat) berhubungan dengan tubuh (otak fisik, proses neurobiologis)? Ini adalah masalah ontologis klasik.
- Materialisme Identitas: Pikiran "adalah" otak. Proses mental sama dengan proses neurobiologis. Ini adalah pandangan reduksionis yang kuat.
- Fungsionalisme: Status mental didefinisikan oleh peran fungsionalnya, bukan oleh materi penyusunnya. Pikiran dapat direalisasikan dalam berbagai substrat fisik (misalnya, otak biologis atau bahkan komputer). Ini adalah bentuk realisme non-reduksionis.
- Dualisme Properti: Pikiran dan materi adalah satu substansi, tetapi otak memiliki properti fisik dan properti mental yang berbeda, yang properti mental tidak dapat direduksi ke fisik. Kesadaran adalah properti emergen dari kompleksitas otak.
- Epifenomenalisme: Proses mental adalah produk sampingan dari proses fisik di otak, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan kausal untuk mempengaruhi fisik.
- Panpsikisme: Kesadaran (atau proto-kesadaran) adalah properti fundamental dari semua materi, bukan hanya muncul pada tingkat kompleksitas tertentu.
Pilihan ontologis ini sangat memengaruhi bagaimana neuroilmuwan merancang eksperimen dan psikolog kognitif merumuskan model kognisi.
- Keberadaan "Self" atau "Ego": Apakah ada entitas yang koheren dan berkelanjutan yang disebut "diri" atau "ego" di luar kumpulan pengalaman dan ingatan? Filosofi Buddha dan beberapa neuroilmuwan modern cenderung melihat diri sebagai ilusi atau konstruksi naratif, bukan entitas ontologis yang solid.
4. Ilmu Sosial: Realitas Institusi dan Budaya
Ilmu sosial secara inheren bergulat dengan ontologi dari entitas-entitas non-fisik yang membentuk dunia manusia.
-
Realitas Struktur Sosial: Apakah "masyarakat," "negara," "ekonomi," "budaya," atau "kelas sosial" itu entitas ontologis yang nyata dan memiliki kekuatan kausal independen dari individu-individu yang membentuknya?
- Realisme Sosial (Holisme): Menganggap entitas-entitas sosial ini sebagai realitas objektif yang mempengaruhi individu. Sosiologi Durkheimian, misalnya, melihat "fakta sosial" sebagai sesuatu yang eksternal dan koersif terhadap individu.
- Individualisme Metodologis: Mengklaim bahwa semua fenomena sosial, pada akhirnya, harus dijelaskan dalam istilah individu dan interaksi mereka. Institusi hanyalah agregasi dari tindakan individu.
- Konstruksi Sosial: Realitas sosial (misalnya, uang, gender, bangsa) adalah hasil dari kesepakatan intersubjektif dan praktik sosial. Mereka nyata karena kita memperlakukannya demikian, meskipun mungkin tidak memiliki dasar fisik yang independen.
- Keberadaan "Fakta Sosial": Apakah ada "fakta sosial" yang objektif yang dapat dipelajari, seperti dalam ilmu alam, ataukah semua "fakta" dalam ilmu sosial selalu terinterpretasi dan terkonstruksi secara sosial?
- Agensi dan Struktur: Debat tentang apakah agen individu memiliki kebebasan untuk bertindak (agensi) atau apakah mereka dibentuk dan dibatasi oleh struktur sosial (struktur). Ini adalah masalah ontologis tentang status kausal agen dan struktur.
5. Matematika: Realitas Bilangan dan Struktur Abstrak
Meskipun sering dianggap sebagai bahasa ilmu, matematika sendiri memiliki pertanyaan ontologis yang mendalam.
-
Platonisme (Realisme Matematis): Mengklaim bahwa entitas matematis (misalnya, bilangan, himpunan, fungsi) ada secara independen dari pikiran manusia, dalam semacam "alam" abstrak. Mereka ditemukan, bukan diciptakan.
Implikasi: Mengapa matematika begitu efektif dalam menjelaskan dunia fisik jika ia hanya buatan manusia?
- Formalisme: Matematika adalah sistem formal dari simbol dan aturan, yang tidak merujuk pada entitas di luar sistem itu sendiri. Bilangan hanyalah simbol dalam permainan aturan tertentu.
- Intuisionisme: Entitas matematis ada hanya sejauh ia dapat dikonstruksi secara mental oleh pikiran manusia.
- Strukturalisme: Objek matematika tidak memiliki keberadaan intrinsik; mereka hanyalah posisi dalam struktur abstrak. Apa yang nyata adalah struktur itu sendiri, bukan elemen individualnya.
Posisi ontologis dalam matematika memengaruhi pandangan kita tentang hakikat kebenaran matematis dan hubungannya dengan ilmu empiris.
Peran Bahasa dan Paradigma dalam Pembentukan Ontologi Ilmiah
Diskusi ontologis tidak dapat dipisahkan dari peran bahasa dan paradigma ilmiah. Bagaimana kita berbicara tentang dunia, dan kerangka teoritis tempat kita beroperasi, secara fundamental membentuk apa yang kita anggap "ada" dan bagaimana kita memahaminya.
Keterkaitan Bahasa dan Realitas
Filsuf seperti Ludwig Wittgenstein, dengan gagasan tentang permainan bahasa (language games), menunjukkan bahwa makna kata-kata kita terkait erat dengan konteks penggunaan dan bentuk kehidupan kita. Ini berimplikasi pada ontologi: konsep-konsep ontologis kita (misalnya, "objek," "sifat," "kausalitas") terukir dalam bahasa kita dan cara kita berinteraksi dengan dunia. Jika bahasa kita tidak memiliki cara untuk merujuk pada entitas tertentu, mungkin sulit bagi kita untuk bahkan membayangkan keberadaan entitas tersebut.
Hipotesis Sapir-Whorf dalam linguistik berpendapat bahwa bahasa yang kita gunakan memengaruhi atau bahkan menentukan cara kita berpikir dan mempersepsikan realitas. Meskipun bentuk ekstremnya telah banyak dikritik, versi yang lebih moderat menunjukkan bahwa kategori linguistik kita membentuk cara kita mengkategorikan dan memahami dunia, termasuk kategori ontologis.
Dalam ilmu, terminologi baru seringkali tidak hanya memberi nama pada sesuatu yang sudah ada, tetapi juga dapat menciptakan "tempat" ontologis bagi entitas baru. Misalnya, konsep "kuark" dalam fisika partikel awalnya adalah hipotesis matematis. Seiring waktu, dengan bukti empiris yang mendukung, dan integrasinya ke dalam kerangka teori yang lebih luas, kuark menjadi entitas ontologis yang diyakini oleh sebagian besar fisikawan.
Pengaruh Paradigma terhadap Asumsi Ontologis
Gagasan Thomas Kuhn tentang paradigma sangat relevan di sini. Sebuah paradigma tidak hanya terdiri dari teori, metode, dan masalah yang relevan, tetapi juga serangkaian asumsi ontologis fundamental tentang jenis entitas apa yang ada di dunia dan bagaimana mereka berinteraksi. Ketika sebuah "revolusi ilmiah" terjadi dan satu paradigma digantikan oleh yang lain, seringkali ada pergeseran ontologis yang signifikan.
- Contoh: Peralihan dari teori flogiston ke teori oksigen dalam kimia. Flogiston adalah entitas ontologis yang diyakini bertanggung jawab atas pembakaran. Ketika teori oksigen diterima, ontologi flogiston benar-benar hilang, dan oksigen mengambil tempatnya sebagai entitas nyata yang terlibat dalam pembakaran. Ini bukan hanya perubahan teori, tetapi perubahan fundamental dalam apa yang diyakini para ilmuwan "ada" di dunia.
- Contoh Lain: Peralihan dari fisika Aristoteles ke fisika Galileo-Newton. Fisika Aristoteles mengasumsikan bahwa objek memiliki "esensi" atau "tujuan" inheren (misalnya, batu jatuh karena esensinya adalah kembali ke Bumi). Fisika Newtonian mengganti ontologi ini dengan objek-objek material yang bergerak sesuai hukum-hukum mekanika universal tanpa tujuan inheren. Pergeseran ini adalah pergeseran ontologis dari teleologi ke mekanisme.
Ini menunjukkan bahwa ontologi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis, dibentuk dan dibentuk ulang oleh perkembangan ilmiah, kerangka konseptual, dan bahkan bahasa yang digunakan oleh komunitas ilmiah.
Kritik dan Tantangan terhadap Pendekatan Ontologis
Meskipun ontologi merupakan aspek fundamental dari filsafat ilmu, ia juga menghadapi berbagai kritik dan tantangan. Beberapa di antaranya bersifat internal terhadap filsafat ilmu, sementara yang lain berasal dari pandangan yang lebih skeptis terhadap kemampuan kita untuk memahami realitas objektif.
1. Relativisme Ontologis
Jika ontologi sangat bergantung pada paradigma, bahasa, atau kerangka konseptual kita, apakah ini berarti bahwa tidak ada "satu" realitas objektif yang dapat diakses oleh ilmu? Beberapa filsuf berpendapat bahwa ontologi pada akhirnya bersifat relatif terhadap kerangka konseptual atau komunitas ilmiah tertentu. Ini adalah posisi yang disebut relativisme ontologis.
Jika setiap paradigma atau budaya memiliki ontologinya sendiri, bagaimana kita bisa membandingkan klaim pengetahuan? Apakah ini berarti bahwa "kebenaran" itu sendiri menjadi relatif? Sebagian besar filsuf ilmu mencoba menghindari relativisme yang ekstrem karena dapat mengikis otoritas klaim kebenaran ilmiah.
2. Batasan Pengetahuan Manusia
Immanuel Kant, dengan kritiknya terhadap metafisika, berpendapat bahwa kita tidak dapat mengetahui "noumena" (hal-dalam-dirinya sendiri) tetapi hanya "fenomena" (bagaimana hal-hal menampakkan diri kepada kita). Jika ada realitas di luar pengalaman kita, kita tidak akan pernah bisa mengaksesnya. Ini menempatkan batasan fundamental pada proyek ontologis: apakah kita benar-benar dapat mengetahui hakikat keberadaan, ataukah kita hanya bisa mengetahui bagaimana keberadaan menampakkan diri kepada kita?
Dalam konteks ilmu, ini menyiratkan bahwa bahkan teori ilmiah yang paling sukses mungkin hanya memberikan deskripsi tentang dunia seperti yang dapat kita amati dan pahami, bukan tentang realitas itu sendiri secara mendalam.
3. Pluralisme Ontologis
Bukannya menyimpulkan relativisme, beberapa filsuf mengusulkan pluralisme ontologis. Ini adalah gagasan bahwa mungkin ada banyak cara yang valid untuk mengkategorikan dan memahami realitas, dan bahwa realitas itu sendiri mungkin lebih kompleks dan berlapis-lapis daripada yang dapat dijelaskan oleh satu ontologi monolitik.
Misalnya, ontologi yang berguna untuk fisika mungkin sangat berbeda dari ontologi yang berguna untuk ilmu sosial, dan tidak ada yang lebih "benar" dari yang lain; mereka hanya beroperasi pada tingkat realitas yang berbeda dengan fokus yang berbeda pula.
4. Kritik Positivis dan Anti-Metafisika
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kaum positivis logis mencoba menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan ontologis sebagai "tidak bermakna" karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Meskipun pandangan ekstrem ini sebagian besar telah ditolak dalam filsafat ilmu kontemporer, ia menyoroti ketegangan abadi antara upaya untuk tetap "ilmiah" (berfokus pada yang dapat diamati) dan dorongan filosofis untuk bertanya tentang hakikat yang mendasari (metafisika).
Namun, sebagian besar filsuf ilmu hari ini mengakui bahwa asumsi ontologis tak terhindarkan dalam praktik ilmiah, bahkan jika mereka tidak selalu dieksplisitkan. Menolak ontologi sama saja dengan mengadopsi ontologi tertentu (misalnya, hanya yang dapat diamati yang ada), yang merupakan posisi ontologis itu sendiri.
Kesimpulan: Dialektika Tiada Henti Antara Ada dan Tahu
Perjalanan kita menelusuri ontologi dalam filsafat ilmu telah mengungkap kompleksitas dan kedalaman hubungan antara apa yang kita yakini "ada" dan bagaimana kita memperoleh pengetahuan tentangnya. Ontologi bukan sekadar latihan abstrak para filsuf; ia adalah kerangka kerja fundamental yang secara implisit maupun eksplisit memandu setiap penyelidikan ilmiah.
Dari realitas partikel subatomik yang diperdebatkan dalam fisika kuantum, hingga sifat kausalitas dalam ilmu-ilmu kehidupan, hingga keberadaan entitas sosial dalam sosiologi, asumsi-asumsi ontologis membentuk pertanyaan yang diajukan, metode yang digunakan, dan interpretasi yang ditarik. Realisme ilmiah vs. anti-realisme, monisme vs. dualisme, reduksionisme vs. emergentisme—ini semua adalah perdebatan abadi yang mencerminkan upaya manusia untuk memahami hakikat realitas di balik fenomena yang dapat kita amati.
Penting untuk diingat bahwa ontologi dalam filsafat ilmu bersifat dinamis. Perkembangan ilmiah baru, seperti penemuan gelombang gravitasi atau kemajuan dalam neurosains, tidak hanya memperluas pengetahuan kita, tetapi juga seringkali menuntut kita untuk merevisi asumsi ontologis kita tentang bagaimana dunia bekerja. Sebaliknya, pergeseran dalam pandangan ontologis dapat membuka jalan bagi pertanyaan dan teori ilmiah yang sama sekali baru.
Akhirnya, memahami ontologi dalam filsafat ilmu mendorong kita untuk menjadi pemikir yang lebih kritis. Ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap klaim ilmiah, ada asumsi-asumsi mendalam tentang hakikat realitas yang mungkin tidak selalu terlihat. Dengan mengeksplorasi asumsi-asumsi ini, kita tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang ilmu, tetapi juga tentang tempat kita di alam semesta yang luas dan misterius ini—sebuah dialektika tiada henti antara apa yang ada (ontologi) dan bagaimana kita tahu (epistemologi).