Dalam tradisi keilmuan Islam, proses penyampaian ilmu pengetahuan memiliki dimensi yang luas, mencakup tidak hanya peran penceramah atau guru (mudarris), tetapi juga peran vital dari audiens atau pendengar. Salah satu konsep penting yang sering disinggung dalam literatur dakwah dan adab menuntut ilmu adalah Tadzkiratus Saami. Istilah ini secara harfiah berarti 'Peringatan atau Pengingat bagi Pendengar'. Ini menekankan bahwa mendengarkan bukanlah aktivitas pasif, melainkan sebuah bentuk ibadah yang membutuhkan kesadaran dan persiapan spiritual.
Saami (pendengar) memegang posisi strategis dalam majelis ilmu. Jika seorang penceramah bertugas menyampaikan cahaya kebenaran, maka pendengar bertugas menerima, menyerap, dan menjaga cahaya tersebut agar tidak padam. Tadzkiratus Saami merujuk pada segala nasihat, adab, dan tuntunan yang ditujukan kepada mereka yang hadir untuk mendengarkan ilmu, baik itu khutbah, ceramah, pengajian Al-Qur'an, maupun majelis zikir.
Islam sangat menjunjung tinggi adab dalam menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT mengangkat derajat suatu kaum melalui Al-Qur'an dan dengannya pula Allah merendahkan kaum lainnya. Siapa yang mendengarkan ayat-ayat Allah dengan hati yang terbuka, ia berada di jalan untuk diangkat derajatnya. Oleh karena itu, mendengarkan dengan benar adalah kunci penerimaan ilmu. Tanpa kesiapan pendengar, sepandai apapun pembicara, ilmu yang disampaikan bisa menguap tanpa bekas.
Adab-adab dalam Tadzkiratus Saami mencakup aspek lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, hal ini meliputi menjaga ketenangan fisik. Ketika seseorang memasuki majelis ilmu, ia harus meninggalkan hiruk pikuk duniawi di luar. Ini berarti menanggalkan kegaduhan hati, mematikan atau menonaktifkan perangkat komunikasi yang dapat mengganggu konsentrasi, serta memilih posisi duduk yang menunjukkan penghormatan terhadap ilmu dan penyampainya. Duduk menghadap pembicara, tidak menyela dengan pembicaraan remeh, dan menjaga kebersihan diri adalah bagian dari penghormatan fisik ini.
Namun, yang lebih krusial adalah adab batiniah. Persiapan hati adalah fondasi utama. Seorang pendengar harus memasuki majelis dengan niat yang murni (ikhlas), yaitu semata-mata mencari keridhaan Allah dan ingin mengamalkan ilmu yang didapat, bukan sekadar untuk mencari sensasi, sanjungan, atau debat kusir. Hati harus disucikan dari penyakit hati seperti ujub (merasa paling benar), hasad (dengki), dan riya (pamer).
Salah satu tantangan terbesar bagi Saami modern adalah menjaga fokus di tengah derasnya godaan distraksi. Tadzkirah ini mengajarkan pentingnya "mengunci" hati dari hal-hal yang tidak relevan selama mendengarkan. Jika mata terlalu sibuk mengamati sekeliling, atau pikiran terlalu sibuk merencanakan hal lain, maka pintu pemahaman akan tertutup. Ilmu yang disampaikan akan melewati telinga namun tidak akan pernah sampai ke akal dan hati.
Para ulama terdahulu menekankan bahwa mendengarkan yang paling sempurna adalah ketika seorang pendengar merasa seolah-olah setiap kata yang diucapkan adalah wahyu yang baru diturunkan khusus untuknya. Hal ini memerlukan kehadiran hati (Hadhir al-Qalb) secara totalitas. Jika ditemukan ada orang yang tertawa, mengobrol, atau bahkan tertidur dalam majelis ilmu, ini merupakan bentuk pengabaian serius terhadap amanah ilmu yang sedang diberikan. Mereka telah melanggar prinsip dasar Tadzkiratus Saami.
Ketika seorang pendengar berhasil menerapkan prinsip Tadzkiratus Saami, dampaknya sangat transformatif. Pertama, ia akan mendapatkan keberkahan dalam ilmunya, karena ilmu yang masuk dengan penghormatan akan lebih mudah melekat dan berbuah amal. Kedua, majelis ilmu tersebut akan dipenuhi ketenangan (sakinah), yang mana ketenangan ini sendiri merupakan rahmat dari Allah SWT.
Jika semua pendengar mempraktikkan adab ini, maka komunitas keilmuan akan tumbuh subur. Ilmu tidak hanya sekadar didengar, tetapi juga dihidupi. Ini menciptakan lingkaran kebaikan: penceramah termotivasi karena audiensnya responsif, dan audiens mendapatkan manfaat maksimal karena keseriusan mereka dalam menyimak. Jadi, Tadzkiratus Saami bukan sekadar aturan etiket, melainkan panduan spiritual untuk memaksimalkan potensi penyerapan ilmu yang mahal harganya. Oleh karena itu, setiap muslim yang menghadiri majelis ilmu harus selalu mengingatkan dirinya tentang tanggung jawab besar sebagai seorang pendengar yang baik.