Dalam ranah hukum, baik dalam konteks peradilan pidana maupun perdata, keputusan yang diambil harus didasarkan pada landasan yang kuat dan memadai. Salah satu prinsip fundamental yang sering dibahas dalam berbagai sistem hukum adalah konsep mengenai kecukupan pembuktian atau tuntutan. Konsep ini sering kali diterjemahkan melalui frasa seperti **usul kafi**. Secara etimologis, "kafi" berarti cukup atau memadai. Oleh karena itu, **usul kafi** merujuk pada suatu tuntutan, argumen, atau bukti yang diajukan telah memenuhi ambang batas minimal yang disyaratkan oleh hukum untuk dapat dipertimbangkan lebih lanjut, atau bahkan untuk memenangkan suatu perkara.
Ketika seorang penggugat mengajukan gugatan atau penuntut umum mengajukan dakwaan, apa yang mereka ajukan harus memiliki bobot substansial. Jika suatu usul atau dalil dianggap tidak kafi, maka hakim berhak untuk menolaknya, sering kali di awal proses persidangan. Ketidak-kafan ini bisa berarti bahwa unsur-unsur penting dari klaim hukum tidak terpenuhi, atau bukti yang disajikan terlalu lemah, spekulatif, dan tidak mampu membangun keyakinan minimal.
Dalam hukum acara perdata, misalnya, usul penggugat harus memenuhi syarat formal dan materiil. Jika penggugat gagal menyajikan fakta-fakta yang cukup untuk mendukung kerugian yang diklaim, gugatannya bisa dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO) karena usul tersebut tidak kafi untuk dilanjutkan ke tahap pembuktian mendalam. Ini adalah mekanisme penyaringan awal yang bertujuan untuk efisiensi peradilan, menghindari pemborosan waktu dan sumber daya pada kasus-kasus yang sejak awal sudah tidak memiliki dasar yang solid.
Konsep ini sangat erat kaitannya dengan beban pembuktian (burden of proof). Di satu sisi, pihak yang mengajukan usul bertanggung jawab untuk menyediakan bukti yang cukup. Di sisi lain, hukum menetapkan standar bukti yang berbeda untuk jenis kasus yang berbeda. Dalam kasus pidana, standar pembuktian biasanya jauh lebih tinggi—yaitu "melampaui keraguan yang wajar" (beyond a reasonable doubt). Jika bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak mencapai tingkat ini, maka usul tuntutan dianggap tidak kafi untuk menjatuhkan hukuman.
Sebaliknya, dalam kasus perdata, standarnya sering kali adalah "preponderance of the evidence" atau "keseimbangan kemungkinan". Jika bukti satu pihak lebih mungkin benar daripada yang lain, maka usul tersebut dianggap kafi. Oleh karena itu, pemahaman atas apa yang dianggap **usul kafi** sangat bergantung pada konteks hukum acara yang sedang diterapkan. Tanpa usul yang kafi, upaya pembuktian selanjutnya menjadi sia-sia, karena fondasi kasus sudah rapuh.
Hakim memegang peran krusial dalam menilai apakah suatu usul telah mencapai ambang batas kecukupan tersebut. Penilaian ini memerlukan interpretasi yang cermat terhadap norma hukum dan fakta yang disajikan. Hakim tidak boleh bertindak berdasarkan asumsi; ia harus merujuk pada standar yang ditetapkan oleh yurisprudensi dan undang-undang. Jika hakim merasa bahwa usul yang diajukan masih terlalu kabur, tidak didukung oleh bukti awal yang konkret, atau bertentangan dengan logika umum, maka hakim harus menyatakan bahwa **usul kafi** belum terpenuhi.
Dalam beberapa sistem, hakim mungkin memberikan kesempatan kepada pihak yang usulnya belum kafi untuk memperbaiki atau melengkapi dalil dan buktinya (misal, melalui proses amandemen gugatan). Namun, kesempatan ini terbatas dan sering kali diatur waktunya secara ketat. Kegagalan untuk memenuhi standar kecukupan setelah diberikan kesempatan perbaikan dapat berujung pada putusan yang merugikan pihak tersebut.
Pentingnya **usul kafi** tidak hanya terletak pada efisiensi litigasi, tetapi juga pada penegakan keadilan prosedural. Prinsip audi et alteram partem (dengar kedua belah pihak) hanya relevan jika ada substansi yang layak didengar. Jika tuntutan yang diajukan tidak masuk akal atau tanpa dasar sama sekali, mendengarkan argumen lebih lanjut hanya akan membebani sistem peradilan tanpa menghasilkan keadilan. Oleh karena itu, persyaratan **usul kafi** berfungsi sebagai gerbang penjaga, memastikan bahwa hanya perkara yang memiliki potensi validitas hukum yang akan diproses hingga tuntas. Dalam analisis akhir, konsep ini menjamin bahwa waktu dan otoritas yudikatif dicurahkan pada masalah yang benar-benar memerlukan resolusi hukum.