Representasi visual dari ketetapan dan pengetahuan ilahi.
Ungkapan Zalika Taqdirul Azizil Alim adalah frasa yang kaya makna, seringkali muncul dalam diskusi teologis dan spiritualitas Islam. Frasa ini, secara harfiah, berarti "Itulah Ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." Pemahaman mendalam terhadap kalimat ini tidak hanya sekadar pengakuan terhadap adanya takdir, tetapi juga penegasan terhadap sifat-sifat utama Tuhan yang menetapkannya: Keperkasaan (Aziz) dan Pengetahuan (Alim).
Ketika kita merenungkan Zalika Taqdirul Azizil Alim, kita memasuki ranah iman terhadap Qada dan Qadar. 'Taqdir' merujuk pada keputusan atau ketetapan yang telah Allah tetapkan atas segala sesuatu. Namun, yang membedakan takdir ini dari sekadar nasib buta adalah dua sifat yang menyertainya: 'Al-Aziz' (Maha Perkasa) dan 'Al-Alim' (Maha Mengetahui).
Sifat Al-Aziz menegaskan bahwa ketetapan tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, karena Dialah satu-satunya Yang Maha Kuat dan memiliki otoritas mutlak. Tidak ada kekuatan yang dapat menentang kehendak-Nya. Sementara itu, sifat Al-Alim menekankan bahwa ketetapan tersebut didasarkan pada pengetahuan-Nya yang tak terbatas mengenai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi—bahkan detail terkecil sekalipun.
Penting untuk dicatat urutan dalam frasa ini: Al-Aziz didahului oleh Al-Alim. Hal ini mengisyaratkan sebuah logika kosmik: ketetapan Allah bukanlah tindakan sewenang-wenang. Keperkasaan-Nya bekerja berdasarkan ilmu-Nya yang sempurna. Setiap peristiwa, baik yang tampak sebagai kebaikan maupun kesulitan, telah Dia ketahui secara utuh sebelum ditetapkan.
Bagi seorang mukmin, pemahaman terhadap Zalika Taqdirul Azizil Alim membawa ketenangan luar biasa. Ketika musibah datang, ia diingatkan bahwa ini adalah ketetapan yang Maha Perkasa, sehingga keputusasaan harus dihindari. Di sisi lain, karena ketetapan itu berasal dari Yang Maha Mengetahui, maka di balik kesulitan tersebut pasti ada hikmah atau kebaikan yang mungkin belum terungkap saat ini.
Bagaimana konsep ini memengaruhi tindakan kita? Iman pada Zalika Taqdirul Azizil Alim menuntut keseimbangan antara tawakkal (penyerahan diri) dan usaha (ikhtiar).
Pertama, ia mendorong kita untuk berikhtiar semaksimal mungkin. Jika Allah telah mengetahui hasil dari usaha kita, maka usaha itu sendiri adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Tidak ada alasan untuk bermalas-malasan dengan dalih "semua sudah ditakdirkan." Sebaliknya, kita didorong untuk berusaha keras karena usaha itu adalah perintah dan bagian dari skenario besar yang telah Dia ketahui.
Kedua, setelah berusaha, hasilnya harus diterima dengan lapang dada. Jika hasil tidak sesuai harapan, kita kembali kepada keyakinan bahwa itu adalah ketetapan dari Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Penerimaan ini bukan berarti pasif, melainkan melepaskan beban kecemasan dari hal-hal yang berada di luar kendali kita, sambil tetap menjaga kualitas usaha kita di masa depan.
Manusia, dengan keterbatasan inderanya, sering kali kesulitan memahami mengapa hal buruk terjadi. Namun, ketika kita memasukkan komponen Zalika Taqdirul Azizil Alim ke dalam kerangka berpikir kita, kita mengakui adanya dimensi superioritas pengetahuan ilahi. Apa yang bagi kita tampak sebagai ketidakadilan mungkin merupakan penyeimbang yang dibutuhkan dalam skema besar alam semesta yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh Sang Pencipta.
Oleh karena itu, perjalanan spiritual seringkali diisi dengan perjuangan untuk menerima kehendak-Nya. Mengucapkan dan merenungkan Zalika Taqdirul Azizil Alim adalah cara untuk menambatkan hati pada kepastian mutlak, bahwa di tengah ketidakpastian dunia, ada satu kekuatan yang menetapkan segala sesuatu dengan ilmu dan keperkasaan yang sempurna.