Surah Al-Anfal, yang berarti "Harta Rampasan Perang," adalah surat Madaniyah yang banyak membahas tatanan kehidupan sosial, militer, dan etika perang dalam Islam. Di tengah pembahasan tersebut, terdapat ayat-ayat yang menjadi pengingat kuat akan kekuasaan mutlak Allah SWT, salah satunya adalah ayat ke-50.
Ayat 50 dari Surah Al-Anfal ini sering kali dikaitkan dengan momen-momen kritis dalam sejarah Islam, khususnya saat menghadapi pertempuran besar seperti Perang Badar. Ayat ini memberikan gambaran yang sangat gamblang dan tegas mengenai kondisi para penolak kebenaran ketika ajal mereka tiba.
Tujuan utama ayat ini bukanlah untuk membuat umat Islam merasa superior, melainkan untuk memberikan peringatan keras mengenai konsekuensi dari kekafiran yang teguh dan permusuhan terhadap risalah Allah. Gambaran "memukul wajah dan punggung" adalah metafora visual yang kuat tentang penghinaan dan penderitaan yang dialami roh kafir saat proses pencabutan nyawa, sebuah proses yang jauh dari kedamaian.
Salah satu poin paling menonjol dari Al-Anfal ayat 50 adalah peran langsung para malaikat pencabut nyawa (Malaikatul Maut dan rombongannya) dalam memberikan siksaan awal. Lafal يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ (mereka memukul wajah dan punggung mereka) menunjukkan bahwa penderitaan fisik dan penghinaan telah dimulai bahkan sebelum roh tersebut sepenuhnya terpisah dari jasad, atau pada saat roh tersebut akan diangkat menuju alam barzakh.
Wajah sering diasosiasikan dengan kehormatan dan identitas seseorang. Pukulan pada wajah adalah puncak dari penghinaan. Sementara itu, pukulan pada punggung menandakan perlawanan yang tak berdaya dan pengusiran dengan paksa dari rahmat Allah.
Perintah untuk merasakan "azab pembakaran" mengindikasikan intensitas penderitaan yang dihadapi. Meskipun ini bisa merujuk pada siksaan api di akhirat kelak, banyak ulama menafsirkan bahwa rasa terbakar tersebut sudah mulai dirasakan oleh roh sejak saat kematiannya. Ini adalah pemanasan dari siksaan yang lebih besar, sebagai respons langsung atas penolakan mereka terhadap ayat-ayat Allah semasa hidup.
Bagi orang yang beriman, ayat ini berfungsi sebagai penguat keimanan dan motivasi untuk tidak pernah gentar menghadapi oposisi dari kaum kafir. Jika Allah memberikan perlakuan demikian keras kepada musuh-Nya saat kematian, maka janji pertolongan dan kemuliaan yang dijanjikan kepada hamba-Nya yang sabar pasti akan terwujud.
Ayat ini menegaskan bahwa kontrol akhir atas nasib setiap individu berada di tangan Ilahi. Kematian bukanlah akhir yang menenangkan bagi mereka yang menolak kebenaran; sebaliknya, ia adalah gerbang menuju penghakiman yang dimulai dengan penghinaan dan siksa.
Meskipun Al-Anfal ayat 50 secara eksplisit membahas kaum kafir, pemahaman ayat ini menjadi lebih mendalam ketika dikontraskan dengan penggambaran kematian orang-orang mukmin dalam ayat-ayat lain. Kematian seorang mukmin digambarkan sebagai proses yang dilembutkan, disambut oleh malaikat dengan ucapan salam dan kabar gembira. Kontras yang tajam ini menyoroti pentingnya keimanan dan amal saleh sebagai penentu kemudahan saat menghadapi momen paling krusial dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, Al-Anfal ayat 50 adalah peringatan abadi bahwa konsekuensi dari kekafiran dan penolakan terhadap wahyu memiliki dimensi yang menakutkan, dimulai sejak detik-detik terakhir kehidupan duniawi.