Rebo Wekasan, atau Rabu Terakhir dalam bulan Safar, adalah sebuah tradisi yang melekat kuat dalam kebudayaan masyarakat Muslim di beberapa daerah, khususnya di Nusantara. Istilah ini merujuk pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Kepercayaan setempat sering mengaitkan hari ini sebagai hari turunnya bala atau musibah dalam jumlah besar, sehingga muncullah berbagai amalan dan ritual untuk menolak atau menanggulangi nasib buruk tersebut.
Namun, bagaimana pandangan ajaran Islam yang murni mengenai praktik yang dilakukan pada Rebo Wekasan ini? Memahami akar keyakinan ini sangat penting agar umat Islam dapat membedakan antara tradisi budaya dengan landasan syariat yang sahih.
Secara historis, tradisi Rebo Wekasan sering dikaitkan dengan anggapan bahwa banyak bencana dan penyakit diturunkan pada hari tersebut, dan praktik yang dilakukan bertujuan untuk menolak atau menyambutnya dengan cara yang Islami (menurut pemahaman lokal). Beberapa kegiatan yang lazim dilakukan antara lain mandi tolak bala, membuang perahu kertas ke sungai, atau mengadakan sedekah bumi.
Dari sudut pandang akidah Islam, keyakinan bahwa hari tertentu (seperti Rebo Wekasan) secara inheren membawa nasib sial atau keberuntungan tanpa izin Allah adalah bentuk dari Tiyarah (mengaitkan nasib buruk pada pertanda) atau bahkan Syirik jika keyakinan tersebut meniadakan kekuasaan penuh Allah SWT. Dalam Islam, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini sepenuhnya berada dalam takdir dan kehendak mutlak Allah.
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan umatnya untuk menolak konsep hari sial. Semua hari adalah ciptaan Allah, dan tidak ada hari yang secara otomatis membawa kesialan. Jika ada musibah yang terjadi, itu adalah bagian dari ujian atau ketetapan Allah. Mengaitkan kesialan pada hari Rabu terakhir bulan Safar adalah pandangan yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang shahih.
Meskipun keyakinan turunnya bala harus dihindari, Islam justru menganjurkan umatnya untuk meningkatkan ibadah dan doa sebagai bentuk pertahanan spiritual terbaik. Jika seseorang merasa perlu melakukan "amalan" pada hari tersebut, maka amalan tersebut harus selaras dengan tuntunan syariat.
Beberapa amalan yang dianjurkan oleh para ulama sebagai bentuk perlindungan diri dari segala bentuk keburukan, kapan pun waktunya, meliputi:
Terkait praktik mandi khusus pada Rebo Wekasan dengan tujuan menghilangkan bala, mayoritas ulama kontemporer menganggapnya sebagai perbuatan bid'ah (inovasi dalam agama) jika dilakukan dengan keyakinan bahwa air tersebut secara khusus memiliki kekuatan magis untuk menolak bala di hari itu. Islam mengajarkan bahwa kesucian dan pembersihan diri adalah ibadah yang dilakukan sesuai syariat (seperti mandi wajib atau wudhu), bukan sebagai ritual khusus penolak bala di hari tertentu.
Intinya, seorang Muslim sejati harus selalu menggantungkan harapan dan rasa aman hanya kepada Allah SWT. Jika ada tradisi lokal yang diyakini dapat menolak bala, tradisi tersebut harus difilter; aspek yang bertentangan dengan akidah (seperti keyakinan pada hari sial) harus ditinggalkan, sementara aspek yang berupa kebaikan universal (seperti bersedekah dan berdoa) boleh dilakukan sebagai bentuk ketaatan umum kepada Allah, tanpa mengkhususkan waktu tersebut sebagai waktu turunnya bala.
Dengan demikian, Rebo Wekasan sebaiknya dijadikan momentum untuk memperkuat iman, meningkatkan amal shaleh, dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, bukan sebagai hari yang dinanti-nanti karena potensi kesialannya.