Konsep amar ma'ruf nahi munkar adalah pilar fundamental dalam ajaran Islam yang mencerminkan tanggung jawab sosial dan moral setiap individu Muslim terhadap lingkungannya. Secara harfiah, frasa Arab ini memiliki makna yang sangat mendalam dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Memahami arti dan implementasinya bukan hanya soal ritual, melainkan fondasi tegaknya akhlak mulia dalam masyarakat.
Untuk mengurai maknanya, kita perlu memecah dua komponen utama dari ungkapan ini:
"Amar" berarti memerintahkan, mengajak, atau menganjurkan. Sementara "Ma'ruf" merujuk pada segala sesuatu yang baik, yang dikenal baik menurut syariat Allah dan fitrah akal sehat manusia. Jadi, Amar Ma'ruf berarti mengajak, memerintahkan, atau menganjurkan kebaikan. Ini mencakup segala bentuk ajakan untuk melakukan ketaatan, ibadah, berbuat jujur, menolong sesama, berlaku adil, dan menegakkan nilai-nilai moral positif dalam masyarakat. Ini adalah sisi proaktif dari tanggung jawab keagamaan.
Di sisi lain, "Nahi" berarti mencegah atau melarang. Sedangkan "Munkar" adalah segala sesuatu yang buruk, tercela, yang dibenci oleh syariat dan akal sehat manusia, seperti kebohongan, perbuatan maksiat, kezaliman, dan segala bentuk kerusakan sosial. Maka, Nahi Munkar berarti mencegah, melarang, atau mengingkari kemungkaran. Ini adalah upaya preventif untuk menjaga kemaslahatan publik dari hal-hal yang merusaknya.
Kedua konsep ini seringkali disebutkan secara beriringan dalam Al-Qur'an dan Hadis, menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak hanya menuntut individu untuk menjadi baik (beribadah), tetapi juga untuk aktif memastikan lingkungannya mendukung kebaikan dan menjauhi keburukan.
Kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar bukanlah sekadar anjuran moralitas, melainkan perintah ilahi yang tegas. Salah satu landasan paling kuat terdapat dalam firman Allah SWT:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) ma'ruf, dan mencegah (dari) munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran [3]: 104)
Lebih lanjut, Nabi Muhammad SAW menegaskan peran ini sebagai ciri khas umat terbaik. Beliau bersabda, "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian harus melakukan amar ma'ruf nahi munkar, atau Allah akan segera menimpakan siksa kepada kalian dari sisi-Nya. Kemudian kalian berdoa kepada-Nya, tetapi doa kalian tidak dikabulkan." (HR. Tirmidzi). Hadis ini menekankan urgensi dan konsekuensi jika kewajiban ini diabaikan.
Bagaimana penerapan amar ma'ruf nahi munkar ini dalam konteks modern dan sosial? Penerapannya harus dilakukan secara bertahap dan bijaksana, sesuai dengan tingkatan kemampuan individu, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW:
Penting untuk digarisbawahi bahwa dalam melakukan nahi munkar, seorang Muslim harus memperhatikan kaidah hikmah (kebijaksanaan) dan mau’idzah hasanah (nasihat yang baik). Menegakkan kebenaran tidak boleh dilakukan dengan cara yang menimbulkan kekacauan atau kezaliman baru. Tujuannya adalah memulihkan kebaikan, bukan menciptakan permusuhan.
Tanggung jawab kolektif ini adalah mekanisme pertahanan sosial bagi masyarakat Muslim. Jika amar ma'ruf nahi munkar ditinggalkan, dampaknya bersifat domino. Kebaikan akan terasa asing, dan kemungkaran akan merajalela tanpa ada yang berani menegurnya. Masyarakat menjadi rentan terhadap kehancuran moral, konflik internal, dan akhirnya, jauh dari keridaan Ilahi. Sebaliknya, ketika kewajiban ini dijalankan dengan benar, ia berfungsi sebagai katalisator perbaikan berkelanjutan, menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan suportif bagi semua orang untuk taat kepada Allah. Ini adalah esensi dari tegaknya kehidupan yang Islami.