Istilah "ambyar" awalnya populer di ranah musik dangdut koplo, merujuk pada perasaan hancur, berantakan, atau patah hati secara mendalam. Namun, seiring perkembangan budaya digital dan viralitas, makna "ambyar" telah berevolusi melampaui sekadar patah hati. Kini, kita menyaksikan munculnya gelombang baru yang sering disebut sebagai Ambyar 2. Konsep ini tidak hanya mencakup kesedihan personal, tetapi juga mencerminkan ketidakpastian kolektif yang lebih luas di era modern.
Jika Ambyar pertama adalah respons terhadap kegagalan hubungan personal, Ambyar 2 adalah refleksi dari kegagalan ekspektasi sosial, ekonomi, dan bahkan eksistensial. Generasi saat ini, yang terhubung secara hiper-digital, merasakan tekanan yang berbeda. Mereka dihadapkan pada janji stabilitas yang terasa semakin ilusi. Harga properti yang melambung, ketidakpastian karier di tengah disrupsi teknologi, dan beban mental dari perbandingan sosial tak berkesudahan, semuanya menyumbang pada rasa "ambyar" kolektif yang lebih kompleks.
Relevansi Ambyar 2 terletak pada cara budaya kontemporer mengemas dan mengonsumsi kesedihan. Jika generasi sebelumnya cenderung menyembunyikan kerapuhan, generasi sekarang justru merayakannya—meski dengan nada ironis. Media sosial berperan besar dalam amplifikasi ini. Sebuah kesedihan yang dibagikan bisa langsung mendapatkan ribuan respons empati, menciptakan rasa koneksi sesaat di tengah perasaan terisolasi.
Fenomena ini juga terkait erat dengan konsep hiper-realitas. Realitas yang disajikan secara online sering kali terlalu sempurna, membuat realitas hidup terasa kurang memuaskan. Ketika harapan yang dibangun dari narasi kesuksesan instan gagal terwujud, keruntuhan emosional yang dialami terasa lebih signifikan, memicu gelombang kedua dari perasaan hancur tersebut. Ini bukan hanya sekadar sedih, tetapi juga merasa "tertinggal" atau "gagal" mengikuti ritme zaman yang terlalu cepat.
Dampak dari perasaan Ambyar 2 ini signifikan terhadap kesehatan mental. Peningkatan kecemasan, sindrom imposter, dan kelelahan digital adalah beberapa manifestasinya. Namun, sama seperti gelombang pertama yang menghasilkan genre musik baru yang cathartic, gelombang kedua ini juga membuka ruang untuk solusi baru.
Salah satu strategi penanggulangan yang muncul adalah "redefinisi kebahagiaan." Banyak yang mulai mencari kedamaian dalam hal-hal yang lebih nyata dan lokal, jauh dari sorotan layar. Ada pergeseran dari pencarian kesuksesan material yang spektakuler menuju apresiasi terhadap momen-momen kecil—sebuah bentuk penyembuhan yang lebih tenang dan berkelanjutan. Mengakui bahwa merasa "ambyar" adalah respons yang wajar terhadap dunia yang kompleks adalah langkah pertama untuk mengatasinya. Fenomena ini adalah cerminan jujur dari tantangan hidup modern.
Intinya, Ambyar 2 adalah label budaya untuk mengakui kerentanan kolektif kita di tengah hiruk pikuk informasi dan ekspektasi abad ke-21. Ia adalah pengingat bahwa di balik layar yang mulus, kita semua masih manusia yang rentan.