Alt text: Siluet manusia yang sedang menatap cahaya agung di hadapannya, melambangkan momen perenungan mendalam.
Pertanyaan "Andai bertemu Tuhan" adalah sebuah hipotesis abadi yang melampaui batas-batas teologi dan filsafat. Ia memaksa kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan duniawi dan jujur pada diri sendiri. Jika detik itu benar-benar tiba—saat tabir antara yang tampak dan yang tak terlihat tersingkap—apa yang akan kita katakan? Atau yang lebih penting, apa yang akan kita rasakan?
Bukanlah daftar pencapaian duniawi yang terlintas pertama. Gelar, harta, atau pujian manusia akan menjadi debu yang tak berarti. Pertemuan semacam itu menuntut kejujuran absolut. Kemungkinan besar, kata pertama yang terucap bukanlah pujian yang terstruktur, melainkan sebuah isakan lega, atau mungkin sebuah pengakuan yang nyaris tak bersuara: "Akhirnya."
Manusia menghabiskan seumur hidup membangun benteng identitas. Kita menciptakan narasi tentang siapa kita, apa yang kita perjuangkan, dan mengapa kita berbeda. Namun, di hadapan Yang Maha Mutlak, semua topeng itu luruh. Di saat itu, kita hanyalah esensi murni—akumulasi dari setiap niat baik, setiap kesalahan yang disesali, dan setiap momen kebaikan yang mungkin terlupakan. Inilah saatnya pertanggungjawaban yang paling otentik.
Reaksi yang paling umum dibayangkan adalah memohon ampunan. Kita semua membawa beban kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak. Namun, jika Tuhan adalah Maha Pengasih, bukankah pengampunan itu sudah tersedia? Mungkin pertemuan itu bukan tentang meminta maaf, melainkan tentang memahami alur takdir kita sendiri. Kita mungkin ingin mengajukan pertanyaan eksistensial yang selama ini membebani: "Mengapa penderitaan itu perlu?" atau "Apa maksud dari semua ini?"
Momen pertemuan itu mungkin tidak diwarnai oleh dialog panjang ala perdebatan akademik. Kehadiran-Nya mungkin sedemikian rupa sehingga pemahaman datang tanpa perlu kata-kata. Seperti menyalakan lampu di ruangan gelap gulita selama bertahun-tahun; ketika cahaya muncul, semua keraguan dan kebingungan tentang tata letak ruangan itu lenyap seketika. Itu adalah pemahaman kosmis, bukan sekadar jawaban atas pertanyaan pribadi.
Ketika kita merenungkan "andai bertemu Tuhan," kita sebenarnya sedang mengukur kualitas hidup yang telah kita jalani. Apakah kita telah memberikan dampak positif sekecil apapun? Apakah kita telah memperlakukan sesama manusia, yang juga merupakan ciptaan-Nya, dengan martabat yang layak? Jika kita mengumpulkan semua cinta yang pernah kita berikan—bahkan cinta yang gagal kita wujudkan—mungkin itulah 'bekal' yang kita bawa.
Setiap tindakan kecil, setiap empati yang kita tunjukkan kepada makhluk yang lebih lemah, setiap ketekunan dalam menghadapi cobaan, akan bersinar terang. Pertemuan itu adalah validasi tertinggi bahwa perjuangan kita di bumi memiliki makna yang kekal, terlepas dari seberapa kecil pencapaian kita di mata dunia.
Karena kepastian akan momen pertemuan itu (atau ketiadaan kepastiannya) adalah inti dari iman, perenungan ini harus menjadi katalisator, bukan penghalang. Daripada menunggu hari besar itu untuk mencari pembenaran, kita seharusnya menjalani hari ini seolah-olah kita sudah berada di hadapan-Nya. Berlaku jujur, berani mengakui kesalahan, dan berusaha keras untuk menyebarkan kebaikan adalah cara terbaik untuk mempersiapkan diri.
Andai bertemu Tuhan, mungkin kita tidak perlu mengatakan apa-apa. Kehadiran kita yang telah menjalani hidup dengan kesadaran penuh terhadap nilai-nilai luhur, sudah menjadi jawaban yang paling memuaskan. Perjalanan hidup adalah persiapan menuju pertemuan agung itu, dan setiap langkah yang diambil dengan niat baik adalah doa yang paling tulus.