Sebuah rahasia yang tersembunyi di balik permukaan.
Ada sebuah ruang sunyi di dalam diri kita, sebuah gudang penyimpanan untuk semua kalimat yang seharusnya terucap namun tertahan di tenggorokan. Frasa "Andai dia tahu" adalah kunci pembuka dari ruang tersebut. Ia bukan sekadar penyesalan, melainkan sebuah harapan lembut yang terus beresonansi dalam keheningan komunikasi. Kita membangun tembok ilusi tentang kebahagiaan atau ketidakpedulian, hanya agar orang lain tidak perlu menanggung beban perasaan yang kita pikul.
Dalam konteks hubungan—baik persahabatan, keluarga, maupun romansa—niat awal kita sering kali baik. Kita takut merusak keseimbangan yang rapuh. Kita khawatir bahwa pengakuan jujur akan mengubah dinamika selamanya. Mungkin kita takut penolakan, atau mungkin kita takut bahwa pengakuan itu justru akan membebani orang yang kita sayangi. Maka, kita memilih diam, membiarkan perasaan itu tumbuh menjadi lumut di sudut hati, bersembunyi dari cahaya.
"Andai dia tahu" bisa merujuk pada hal sepele, seperti betapa bahagianya kita saat dia tertawa, atau betapa seringnya kita memikirkan nasihat yang pernah dia berikan. Namun, sering kali, ia menyangkut hal-hal yang lebih mendasar: pengorbanan yang telah kita lakukan tanpa pamrih, perjuangan pribadi yang kita sembunyikan di balik senyum palsu, atau kedalaman cinta yang melampaui batas kata-kata. Kita bekerja keras menjaga citra, lupa bahwa kerentanan adalah fondasi dari koneksi sejati.
Ironisnya, seringkali, orang yang kita sembunyikan perasaan kita justru sudah memiliki intuisi samar tentang apa yang kita rasakan. Manusia peka terhadap energi yang dipancarkan orang terdekatnya. Keengganan kita untuk terbuka menciptakan jarak, sebuah kebekuan yang tidak disadari. Jarak ini, yang kita ciptakan untuk melindungi, justru bisa menjadi jurang pemisah terbesar dalam hubungan. Kita berharap dia 'tahu' tanpa perlu kita katakan, sebuah tuntutan emosional yang tidak adil.
Bagaimana kita hidup dengan 'andai dia tahu' yang terus mengganggu? Langkah pertama adalah mengakui keberadaan perasaan itu tanpa menghakimi diri sendiri. Mengapa kita memilih diam? Apakah karena lingkungan masa lalu, ataukah karena standar perfeksionis dalam ekspresi emosi? Setelah memahami akarnya, kita mulai dapat memilah. Tidak semua hal perlu diungkapkan dengan dramatis. Terkadang, 'tahu' datang melalui tindakan kecil yang konsisten, bukan melalui deklarasi besar.
Jika perasaan itu adalah bentuk apresiasi, tunjukkan melalui perhatian yang lebih intens. Jika itu adalah rasa sakit, carilah outlet yang sehat—menulis, berbicara dengan pihak ketiga yang netral, atau bahkan menyalurkannya dalam karya kreatif. "Andai dia tahu" harus bertransformasi menjadi "Saya akan menunjukkan melalui tindakan saya."
Namun, ada kalanya, kata-kata itu memang harus diucapkan. Keberanian untuk mengungkapkan kebenaran diri, meskipun berisiko, sering kali membawa kelegaan yang tak ternilai. Melepaskan simpul di hati, meskipun hasilnya tidak sesuai harapan ideal kita, adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri. Kehidupan terlalu singkat untuk menjadi museum rahasia pribadi. Biarkan udara segar masuk, biarkan kesempatan untuk dipahami menjadi nyata. Karena pada akhirnya, harapan terbesar dari kalimat "Andai dia tahu" adalah kesempatan untuk benar-benar terlihat.