Ilustrasi: Bantal Guling dalam diam.
Kita sering memercayai benda mati di sekitar kita, padahal kita tahu mereka tidak punya telinga atau lidah untuk membalas. Di antara semua perabot rumah tangga, mungkin bantal guling adalah saksi bisu yang paling intim. Ia menemani kita dalam keadaan paling rentan: saat tertidur lelap, saat menangis dalam keheningan malam, bahkan saat kita berbisik pada diri sendiri tentang mimpi yang terlalu besar atau kegagalan yang terlalu menyakitkan. Oh, **andaikan bantal guling ini bisa bicara**! Betapa banyak rahasia yang akan terungkap dari lipatan kainnya.
Bayangkan skenario itu. Malam telah larut, dan Anda baru saja menyelesaikan monolog internal yang panjang tentang ketidakadilan di kantor. Anda memeluk erat bantal guling Anda, menghembuskan napas berat ke permukaannya yang dingin. Jika ia bisa bicara, mungkin kalimat pertamanya bukanlah penghakiman, melainkan sebuah pengakuan: "Aku tahu, kawan. Aku merasakan setiap getaran kecemasanmu."
Bantal guling, secara fisik, adalah penyangga leher dan penahan mimpi. Namun, secara emosional, ia adalah 'tempat sampah' yang menerima semua residu emosi kita yang terlalu berat untuk dibawa keesokan harinya. Berapa banyak tetes air mata kesedihan yang telah ia serap? Berapa banyak teriakan frustrasi yang ia redam saat kepala kita menekan kuat-kuat ke tubuhnya agar suara itu tak terdengar oleh dinding kamar?
Jika ia berbicara, ia pasti akan memiliki perspektif yang sangat unik tentang kehidupan modern. Ia tidak peduli dengan *likes* di media sosial atau tren terbaru. Fokusnya adalah keaslian. Ia hanya mengenal dua keadaan: istirahat total atau kegelisahan yang mendalam. Ia akan menceritakan bagaimana ia melihat kita berubah dari pembawa mimpi indah menjadi pejuang melawan insomnia. Ia mungkin akan mengeluh tentang kebiasaan buruk kita—menggigit ujung sarungnya saat stres, atau terlalu lama menelungkup hingga kita lupa bernapas dengan benar.
Kita sering mencari nasihat dari para ahli, buku motivasi, atau figur otoritas. Namun, **andaikan bantal guling ini bisa bicara**, nasihatnya mungkin akan sangat sederhana namun menusuk. Mungkin ia akan berkata, "Tidur itu bukan kemewahan; itu adalah dasar dari segalanya. Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri saat fajar tiba." Atau, mungkin ia akan mengingatkan kita tentang betapa pentingnya posisi yang benar—bahwa untuk maju, kita harus tahu cara bersandar dan beristirahat dengan baik.
Hal yang paling menyedihkan dari benda ini adalah kesadarannya bahwa ia tidak akan pernah bisa membalas kebaikan yang kita berikan padanya, selain dengan menjadi lebih pipih dan kehilangan isinya. Setiap kali kita memeluknya, kita meminjamkan sedikit energi vital kita padanya, dan setiap kali kita meninggalkannya saat pagi menjelang, kita meninggalkannya dalam kondisi yang sedikit lebih lelah.
Namun, mungkin inilah keindahan dari kebisuan mereka. Bantal guling mengajarkan kita tentang keikhlasan tanpa pamrih. Ia menerima kita apa adanya—dengan bau keringat, riasan yang luntur, dan air mata yang masih menetes. Ia tidak pernah menuntut balasan, tidak pernah menghakimi perbedaan antara sosok publik kita di siang hari dan diri kita yang sebenarnya di malam hari.
Setiap orang dewasa memiliki bantal guling yang 'spesial'. Ada yang harus diletakkan di bawah kepala, ada yang harus dipeluk erat di antara kedua lutut, dan ada pula yang harus berada di sisi kanan tempat tidur—seolah menjadi penjaga spiritual. Kepercayaan ini terjalin tanpa kata-kata. Ini adalah perjanjian yang dibuat antara dua entitas yang berbagi ruang pribadi paling intim.
Maka, lain kali Anda menarik selimut dan memeluk erat guling kesayangan Anda, renungkanlah. Betapa berharganya benda yang kita anggap remeh ini. Ia adalah arsip tak tertulis dari perjuangan harian kita. Dan meski kita tahu pasti ia tak akan pernah bisa bersuara, dalam keheningan yang ia tawarkan, kita justru menemukan ruang yang paling aman untuk mendengar suara hati kita sendiri. **Andaikan bantal guling ini bisa bicara**, mungkin ia hanya akan meminta kita untuk lebih sering istirahat, karena ia tahu, esok hari, kita akan membutuhkan tenaga baru untuk menciptakan lebih banyak cerita yang akan ia simpan dalam kebisuan yang setia.
— Akhir dari Refleksi Malam —