Isu mengenai status hukum dan keagamaan minuman beralkohol jenis tertentu, khususnya yang sering disebut sebagai angciu, telah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Angciu, yang umumnya merujuk pada sejenis minuman keras tradisional Tiongkok yang dihasilkan dari fermentasi beras ketan, memiliki kandungan alkohol yang bervariasi. Statusnya sebagai minuman yang dilarang atau diizinkan seringkali menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat yang berbeda latar belakang agama dan hukum.
Definisi dan Konteks Budaya
Secara etimologis, "angciu" (紅酒 - hóng jiǔ) secara harfiah berarti anggur merah. Namun, dalam konteks penggunaan sehari-hari di Indonesia, istilah ini seringkali merujuk pada minuman fermentasi beras yang memiliki warna kemerahan atau gelap. Minuman ini secara historis memiliki peran penting dalam ritual kebudayaan dan pengobatan tradisional di kalangan masyarakat tertentu, terutama Tionghoa.
Perbedaan mendasar muncul ketika minuman ini dipandang dari sudut pandang hukum positif di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama mayoritas. Karena kandungan etanolnya, minuman ini secara otomatis masuk dalam kategori minuman keras atau minuman mengandung alkohol (MMEA).
Perspektif Hukum di Indonesia
Di Indonesia, minuman beralkohol diatur secara ketat, terutama pasca disahkannya berbagai peraturan yang bertujuan untuk membatasi peredaran dan konsumsi miras. Regulasi utama yang sering dirujuk adalah Undang-Undang No. 33 tentang Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) yang kemudian diperkuat dengan peraturan teknis lainnya.
Menurut hukum positif di Indonesia, minuman keras dikategorikan berdasarkan kadar alkoholnya. Kategori I, II, dan III memiliki pembatasan yang berbeda, mulai dari larangan total untuk peredaran di toko ritel hingga pembatasan ketat pada tempat tertentu. Karena angciu, melalui proses fermentasinya, menghasilkan etanol, ia tidak terkecuali dari pengawasan dan regulasi ini. Konsumsi atau penjualan tanpa izin yang sah dapat berujung pada sanksi hukum.
Bagi kelompok masyarakat yang tidak mengonsumsi alkohol karena keyakinan agama, keberadaan minuman ini seringkali dianggap melanggar norma ketertiban umum dan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat yang religius. Oleh karena itu, penegasan status angciu haram dari sisi hukum dan norma sosial menjadi sangat relevan.
Pandangan Keagamaan
Mayoritas agama-agama besar yang diakui di Indonesia memiliki pandangan tegas mengenai konsumsi minuman keras. Dalam Islam, minuman keras (khamr) secara eksplisit dilarang dan dianggap haram karena dapat memabukkan dan merusak akal sehat. Walaupun beberapa minuman tradisional mungkin memiliki kadar alkohol yang relatif rendah, jika memiliki efek memabukkan (meskipun dalam dosis kecil atau setelah diolah lebih lanjut), status keharamannya cenderung kuat.
Dalam konteks keagamaan, minuman seperti angciu, yang memiliki potensi memabukkan, sulit untuk dilepaskan dari label larangan, terlepas dari niat atau tujuan penggunaannya, baik itu untuk keperluan ritual budaya atau sekadar konsumsi. Perbedaan pandangan sering muncul antara tradisi budaya yang menganggapnya sebagai bagian dari warisan (seringkali dalam kadar rendah) dan norma agama yang melarang zat yang bersifat memabukkan secara umum.
Dampak Sosial dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum terkait peredaran minuman keras selalu menjadi isu sensitif karena bersinggungan dengan kebebasan individu dan hak budaya. Pemerintah daerah seringkali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang lebih ketat dari regulasi pusat, terutama di wilayah dengan tingkat religiusitas tinggi. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir potensi gangguan ketertiban umum yang sering dikaitkan dengan konsumsi alkohol berlebihan.
Meskipun ada beberapa kalangan yang menganggap angciu hanya sebagai bumbu masak atau minuman herbal dengan kadar alkohol rendah, aparat penegak hukum cenderung mengambil garis keras berdasarkan kandungan etanol yang terdeteksi. Bagi konsumen, penting untuk selalu merujuk pada peraturan terbaru dan memahami konsekuensi hukum dari kepemilikan atau konsumsi minuman yang tergolong MMEA.
Kesimpulannya, status angciu haram di Indonesia didasarkan pada dua pilar utama: hukum positif yang mengatur MMEA dan pandangan mayoritas agama yang melarang zat yang memabukkan. Walaupun memiliki akar budaya yang kuat di beberapa komunitas, kepatuhan terhadap regulasi nasional dan daerah menjadi keharusan demi menjaga stabilitas sosial dan hukum di negara ini. Masyarakat perlu bijak dalam membedakan antara warisan budaya dan batasan hukum yang berlaku.