Sebuah representasi visual dari ketidakpastian numerik.
Sejak zaman dahulu, manusia telah memiliki hubungan yang kompleks dengan angka. Angka bukan hanya alat hitung, melainkan juga pembawa makna, simbol, dan takhayul. Di antara sekian banyak bilangan, ada beberapa angka yang secara universal dijauhi atau dianggap membawa nasib buruk—inilah yang kita kenal sebagai angka sial. Fenomena ini melintasi batas budaya, agama, dan geografi, menunjukkan betapa dalamnya pengaruh numerologi terhadap psikologi kolektif kita.
Angka sial yang paling terkenal di dunia Barat tentu saja adalah 13. Dalam budaya Barat, ketakutan terhadap angka ini dikenal sebagai Triskaidekaphobia. Ketakutan ini begitu mengakar hingga banyak gedung pencakar langit, hotel, dan rumah sakit di Amerika Serikat atau Eropa sengaja menghilangkan lantai 13. Mereka melompat langsung dari lantai 12 ke lantai 14. Sumber utama dari ketakutan ini sering dikaitkan dengan jamuan makan terakhir Yesus Kristus, di mana terdapat 13 orang yang hadir, dan yang ke-13 adalah Yudas Iskariot, pengkhianat. Selain itu, mitologi Nordik juga berperan; Loki, dewa kekacauan, diyakini muncul sebagai tamu ke-13 di Valhalla, yang menyebabkan kematian dewa Balder.
Sementara Barat takut pada 13, di banyak negara Asia Timur, angka yang paling ditakuti adalah 4. Di Tiongkok, Jepang, Korea, dan Taiwan, angka empat (四, sì dalam bahasa Mandarin) memiliki pengucapan yang sangat mirip dengan kata "kematian" (死, sǐ). Kemiripan fonetik ini menciptakan tabu sosial yang kuat. Sama seperti lantai 13 di Barat, banyak bangunan di wilayah ini yang tidak memiliki lantai empat. Nomor kamar, nomor telepon, bahkan nomor plat kendaraan yang mengandung angka empat seringkali dihargai sangat rendah atau dihindari sama sekali oleh konsumen. Ketakutan ini disebut Tetraphobia.
Menariknya, ada juga angka yang memiliki dualitas makna. Angka 7, misalnya, sering dianggap sebagai angka keberuntungan di banyak budaya karena asosiasinya dengan kesempurnaan religius (tujuh hari penciptaan, tujuh keajaiban dunia kuno). Namun, dalam beberapa konteks budaya tertentu, angka 7 juga bisa dianggap kurang menguntungkan. Meskipun tidak sekuat 4 atau 13, ketidakpastian makna ini kadang menimbulkan kehati-hatian.
Ketakutan terhadap angka sial jarang sekali berdasarkan logika matematis; ia tumbuh subur dalam narasi budaya. Di Italia, misalnya, angka 17 seringkali dihindari. Dalam notasi angka Romawi, 17 ditulis sebagai XVII. Jika huruf-huruf ini disusun ulang (anagram), hasilnya adalah VIXI, yang dalam bahasa Latin berarti "Saya telah hidup"—sebuah pernyataan implisit bahwa hidup si pembaca sebentar lagi berakhir. Hal ini membuat beberapa maskapai penerbangan Italia enggan menggunakan nomor penerbangan 17.
Fenomena kepercayaan terhadap angka sial ini adalah cerminan mendasar dari kecenderungan manusia untuk mencari pola dan kontrol dalam dunia yang kacau. Ketika kita tidak bisa mengendalikan nasib, menyalahkan atau menghindari sebuah angka memberikan ilusi kekuatan. Dengan menghindari angka tertentu, kita merasa telah mengambil langkah proaktif untuk menjauhkan diri dari kemalangan yang tak terhindarkan. Meskipun rasionalitas modern menepis takhayul ini, warisan budaya ini terus hidup dalam praktik arsitektur, penomoran, dan bahkan dalam keputusan pembelian sehari-hari. Memahami angka sial adalah memahami sejarah psikologi sosial dan ketakutan kolektif manusia.
Pada akhirnya, apakah angka 13 benar-benar membawa kemalangan, atau apakah nasib buruk datang karena kita terlalu fokus pada angka tersebut sehingga menjadi cemas dan membuat kesalahan? Jawabannya mungkin terletak pada persepsi kita sendiri. Bagi banyak orang, menghindari angka sial adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi; bagi yang lain, itu hanyalah kebiasaan kuno yang menarik untuk direnungkan di era modern yang serba cepat ini.