Akta Hibah: Panduan Lengkap, Contoh, dan Prosedur Terbaru

Akta hibah merupakan salah satu instrumen hukum penting dalam pengalihan hak milik suatu aset dari satu pihak ke pihak lain tanpa adanya imbalan. Dalam konteks hukum Indonesia, akta hibah memiliki peran krusial dalam memberikan kepastian hukum dan menghindari sengketa di masa mendatang. Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai akta hibah, mulai dari definisi, dasar hukum, prosedur pembuatan, contoh, hingga implikasi pajak dan perbedaannya dengan konsep hukum lainnya.

Memahami akta hibah bukan hanya penting bagi mereka yang berencana untuk melakukan hibah atau menerima hibah, tetapi juga bagi masyarakat umum agar lebih sadar akan hak dan kewajibannya terkait kepemilikan aset. Dengan informasi yang akurat dan lengkap, proses pengalihan aset melalui hibah dapat dilakukan dengan lancar dan sesuai ketentuan hukum.

Ilustrasi Akta Hibah: Dokumen dengan stempel dan pita merah

1. Apa Itu Hibah dan Akta Hibah?

1.1. Definisi Hukum Hibah

Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah menyerahkan sesuatu barang secara cuma-cuma, dengan tidak dapat menariknya kembali, untuk keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Dari definisi ini, kita dapat menarik beberapa poin penting:

Dalam konteks hukum Islam, hibah juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII, Pasal 171 huruf g, yang menyatakan bahwa hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Meskipun ada sedikit perbedaan redaksi, esensinya serupa dengan KUHPerdata, yakni pemberian sukarela tanpa imbalan.

1.2. Pengertian Akta Hibah

Akta hibah adalah dokumen otentik yang menjadi bukti sah atas terjadinya peristiwa hukum hibah. Akta ini dibuat di hadapan dan/atau oleh pejabat yang berwenang, yaitu Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tergantung pada objek hibah yang dialihkan.

Keberadaan akta hibah sangat penting karena memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, dan mengikat bagi para pihak yang terlibat serta pihak ketiga. Tanpa akta otentik, proses hibah bisa saja dilakukan secara lisan atau dengan akta di bawah tangan, namun kekuatan pembuktiannya sangat lemah dan rentan menimbulkan sengketa di kemudian hari.

2. Dasar Hukum Hibah di Indonesia

Regulasi mengenai hibah di Indonesia bersumber dari beberapa ketentuan hukum, baik hukum perdata umum maupun hukum Islam.

2.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

KUHPerdata adalah payung hukum utama yang mengatur hibah bagi seluruh warga negara Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang khusus. Ketentuan mengenai hibah dapat ditemukan dalam Buku Kedua KUHPerdata, dimulai dari Pasal 1666 hingga Pasal 1693. Beberapa pasal penting meliputi:

2.2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam, hibah juga diatur secara spesifik dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI merupakan instrumen hukum yang menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara perdata Islam di Pengadilan Agama. Ketentuan mengenai hibah dalam KHI terdapat pada Bab VIII, Pasal 171 sampai Pasal 179.

Penting untuk diingat bahwa jika objek hibah adalah tanah, maka peraturan mengenai pendaftaran tanah juga harus diperhatikan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaannya.

3. Pentingnya Akta Hibah Otentik

Meskipun secara teoritis hibah atas benda bergerak tidak mutlak memerlukan akta otentik, namun dalam praktik, pembuatan akta hibah oleh Notaris atau PPAT sangat dianjurkan. Berikut adalah alasan mengapa akta hibah otentik sangat penting:

Ilustrasi Akta Hibah: Simbol kepastian hukum, bentuk berlian dengan tanda centang

3.1. Kekuatan Pembuktian Sempurna

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, dan mengikat. Artinya, akta tersebut dianggap benar secara hukum sampai terbukti sebaliknya. Ini sangat berbeda dengan akta di bawah tangan yang hanya memiliki kekuatan pembuktian di antara para pihak yang menandatanganinya dan mudah disangkal di pengadilan.

3.2. Mencegah Sengketa di Masa Depan

Dengan adanya akta hibah otentik, semua detail mengenai objek hibah, identitas para pihak, serta syarat dan ketentuan hibah tercatat dengan jelas. Ini meminimalisir potensi sengketa di kemudian hari, baik antara penerima hibah dengan ahli waris penghibah, maupun dengan pihak ketiga yang mungkin mengklaim hak atas objek yang sama.

3.3. Legalitas dan Validitas

Terutama untuk hibah tanah dan bangunan, pembuatan akta hibah oleh PPAT adalah persyaratan mutlak untuk proses pendaftaran hak di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tanpa akta PPAT, perubahan nama pemilik dalam sertifikat tanah tidak dapat dilakukan, yang berarti kepemilikan tidak beralih secara sempurna di mata hukum.

3.4. Perlindungan Hukum

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT menjamin bahwa proses hibah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris/PPAT bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para pihak memiliki kapasitas hukum untuk melakukan hibah dan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain (misalnya, melanggar bagian mutlak ahli waris).

4. Subjek dan Objek Hibah

Untuk memahami akta hibah, kita perlu mengetahui siapa saja yang bisa menjadi pihak dalam hibah dan aset apa saja yang bisa dihibahkan.

4.1. Pihak-Pihak dalam Hibah

Penting dicatat bahwa berdasarkan Pasal 1678 KUHPerdata, suami-istri tidak diperbolehkan saling menghibahkan barang selama perkawinan berlangsung. Namun, larangan ini seringkali disalahpahami. Larangan ini berlaku untuk hibah selama perkawinan, bukan hibah yang dilakukan sebelum perkawinan atau hibah yang bersifat hibah wasiat yang akan berlaku setelah meninggal dunia. Dalam praktiknya, jika suami-istri memiliki perjanjian kawin (prenuptial agreement) yang memisahkan harta, maka hibah antar suami-istri bisa dimungkinkan dengan syarat dan ketentuan tertentu.

4.2. Objek Hibah

Objek hibah dapat berupa berbagai jenis aset, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Yang terpenting, objek tersebut harus sudah ada pada saat hibah dilakukan (Pasal 1667 KUHPerdata) dan bukan merupakan objek yang dilarang oleh hukum.

Perlu diingat bahwa hibah tidak boleh melanggar legitime portie (bagian mutlak) ahli waris, yaitu bagian dari harta warisan yang tidak boleh dikurangi oleh pewaris baik dengan hibah maupun wasiat. Jika hibah melanggar bagian mutlak ini, ahli waris yang dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah sebagian.

5. Prosedur Pembuatan Akta Hibah

Pembuatan akta hibah melibatkan beberapa tahapan dan memerlukan dokumen-dokumen tertentu. Proses ini harus dilakukan di hadapan Notaris atau PPAT.

5.1. Peran Notaris/PPAT

Notaris atau PPAT memiliki peran sentral dalam pembuatan akta hibah. Mereka bertugas untuk:

5.2. Dokumen yang Diperlukan

Persyaratan dokumen dapat bervariasi sedikit tergantung pada Notaris/PPAT dan objek hibah. Namun secara umum, dokumen yang diperlukan antara lain:

5.2.1. Dokumen Penghibah (Pemberi Hibah)

5.2.2. Dokumen Penerima Hibah

5.2.3. Dokumen Objek Hibah (Contoh: Tanah dan Bangunan)

Penting: Untuk objek hibah selain tanah dan bangunan (misalnya kendaraan atau saham), dokumen yang diperlukan akan disesuaikan dengan jenis aset tersebut (BPKB, STNK untuk kendaraan; sertifikat saham untuk saham, dll.). Pastikan untuk selalu berkonsultasi dengan Notaris/PPAT mengenai daftar dokumen lengkap yang spesifik untuk kasus Anda.

5.3. Tahapan Proses Pembuatan Akta Hibah

  1. Persiapan Dokumen: Kumpulkan semua dokumen yang diperlukan oleh penghibah dan penerima hibah, serta dokumen objek hibah.
  2. Penentuan Notaris/PPAT: Pilih Notaris yang berwenang untuk hibah benda bergerak atau PPAT untuk hibah benda tidak bergerak. PPAT harus berlokasi di wilayah tempat objek tanah/bangunan berada.
  3. Konsultasi dan Penyerahan Dokumen: Serahkan seluruh dokumen kepada Notaris/PPAT untuk diverifikasi dan diperiksa kelengkapannya. Jelaskan secara detail keinginan para pihak mengenai hibah.
  4. Pemeriksaan Dokumen oleh Notaris/PPAT: Notaris/PPAT akan melakukan pemeriksaan sertifikat ke BPN (cek keabsahan, status, dan riwayat tanah) serta memeriksa kewajiban pajak.
  5. Perhitungan Pajak: Notaris/PPAT akan menghitung besaran pajak yang harus dibayarkan, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi penerima hibah dan Pajak Penghasilan (PPh) bagi penghibah.
  6. Pembayaran Pajak: Para pihak membayar pajak-pajak yang timbul dari hibah ke kas negara/daerah. Bukti pembayaran ini harus diserahkan kepada Notaris/PPAT.
  7. Penandatanganan Akta Hibah: Setelah semua dokumen lengkap dan pajak lunas, Notaris/PPAT akan menjadwalkan penandatanganan akta hibah. Proses ini dilakukan di kantor Notaris/PPAT, dihadiri oleh penghibah, penerima hibah, dan dua orang saksi (yang disediakan oleh Notaris/PPAT atau para pihak). Notaris/PPAT akan membacakan akta dan memastikan semua pihak memahami isinya sebelum menandatangani.
  8. Pendaftaran Akta (khusus PPAT): Untuk hibah tanah/bangunan, setelah akta ditandatangani, PPAT akan mengurus pendaftaran akta hibah ke Kantor Pertanahan setempat untuk proses balik nama sertifikat atas nama penerima hibah.
  9. Penerbitan Sertifikat (khusus PPAT): Setelah proses balik nama selesai, sertifikat tanah akan diterbitkan atas nama penerima hibah. PPAT akan menyerahkan sertifikat asli kepada penerima hibah dan salinan akta kepada para pihak.

6. Contoh Akta Hibah Tanah dan Bangunan

Berikut adalah contoh draf akta hibah untuk tanah dan bangunan. Harap diingat bahwa ini adalah contoh dan akta asli akan disusun oleh Notaris/PPAT sesuai dengan kasus spesifik dan ketentuan hukum yang berlaku. Bagian-bagian dalam akta akan dijelaskan secara rinci.


[KOP SURAT PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH]

AKTA HIBAH

Nomor: [NOMOR AKTA]/[TAHUN]/[KECAMATAN]

Pada hari ini, [HARI, misal: Senin], tanggal [TANGGAL, misal: Dua Puluh Enam] bulan [BULAN, misal: Agustus] tahun [TAHUN, misal: Dua Ribu Dua Puluh Empat] ([26-08-2024]),
Pukul [WAKTU, misal: 10.00 WIB]

Menghadap kepada saya, [NAMA PPAT], Sarjana Hukum, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor [NOMOR KEPUTUSAN] tanggal [TANGGAL KEPUTUSAN], berkedudukan di Kabupaten/Kota [NAMA KABUPATEN/KOTA], dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Kabupaten/Kota [NAMA KABUPATEN/KOTA], dan berkantor di [ALAMAT KANTOR PPAT]:

I. Nyonya [NAMA PEMBERI HIBAH], lahir di [TEMPAT LAHIR PEMBERI HIBAH] pada tanggal [TANGGAL LAHIR PEMBERI HIBAH] ([DD-MM-YYYY]), Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di [ALAMAT LENGKAP PEMBERI HIBAH], pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) [NIK PEMBERI HIBAH], yang dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri selaku PEMILIK SAH dan PEMBERI HIBAH;
Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

II. Tuan [NAMA PENERIMA HIBAH], lahir di [TEMPAT LAHIR PENERIMA HIBAH] pada tanggal [TANGGAL LAHIR PENERIMA HIBAH] ([DD-MM-YYYY]), Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di [ALAMAT LENGKAP PENERIMA HIBAH], pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) [NIK PENERIMA HIBAH], yang dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri selaku PENERIMA HIBAH;
Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Para pihak tersebut telah saya kenal dan/atau identitasnya telah terbukti sah berdasarkan dokumen yang diperlihatkan kepada saya.

----------------------------- PENGHIBAHAN ------------------------------
PIHAK PERTAMA menerangkan bahwa PIHAK PERTAMA dengan ini menghibahkan kepada PIHAK KEDUA, yang telah menerima hibah ini, yaitu:

A. SEBIDANG TANAH DAN BANGUNAN
Terletak di Provinsi [NAMA PROVINSI], Kabupaten/Kota [NAMA KABUPATEN/KOTA], Kecamatan [NAMA KECAMATAN], Kelurahan/Desa [NAMA KELURAHAN/DESA], Jalan [NAMA JALAN] Nomor [NOMOR RUMAH], dengan rincian sebagai berikut:

1. Nomor Hak: Hak Milik Nomor [NOMOR HAK MILIK]
2. Surat Ukur/Gambar Situasi Nomor: [NOMOR SURAT UKUR] tanggal [TANGGAL SURAT UKUR]
3. Luas Tanah: [LUAS TANAH DALAM ANGKA] ([LUAS TANAH DALAM HURUF]) meter persegi
4. NIB: [NOMOR INDUK BIDANG]
5. Letak Geografis: [KOORDINAT ATAU KETERANGAN LETAK]
6. Batas-batas:
   - Utara: [BATAS UTARA]
   - Selatan: [BATAS SELATAN]
   - Barat: [BATAS BARAT]
   - Timur: [BATAS TIMUR]
7. Objek bangunan berdiri di atas tanah tersebut berupa [JENIS BANGUNAN, misal: rumah tinggal] dengan luas bangunan [LUAS BANGUNAN] meter persegi, IMB Nomor [NOMOR IMB] tanggal [TANGGAL IMB].
8. Nomor Identifikasi Bidang (NIB) dan Nomor Objek Pajak (NOP) PBB: [NOP PBB].

Hak Milik tersebut tercatat atas nama [NAMA PEMILIK DI SERTIFIKAT] berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor [NOMOR SERTIFIKAT] tanggal [TANGGAL SERTIFIKAT] yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota [NAMA KABUPATEN/KOTA].

--------------------- KETERANGAN DAN JAMINAN ----------------------
PIHAK PERTAMA menjamin bahwa:
1. Tanah dan bangunan tersebut adalah hak milik PIHAK PERTAMA sepenuhnya dan tidak sedang dalam sengketa, tidak sedang dijaminkan, tidak disita, tidak menjadi objek sitaan, dan tidak terikat dengan pihak lain dengan cara apapun.
2. Segala biaya dan pajak yang timbul sebelum akta hibah ini ditandatangani, adalah menjadi tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
3. Dengan penandatanganan akta ini, segala hak kepemilikan dan penguasaan atas tanah dan bangunan tersebut beralih sepenuhnya dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA.
4. PIHAK KEDUA menerima hibah ini dengan baik dan menyatakan tidak akan menuntut kembali atau mempersoalkan hibah ini di kemudian hari.
5. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA menyatakan bahwa hibah ini dilakukan secara tulus dan ikhlas, tanpa paksaan, tanpa adanya cacat kehendak, dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada tidak melanggar bagian mutlak (legitime portie) ahli waris.

-------------------------- PERNYATAAN LAIN-LAIN ---------------------------
1. Para pihak telah membaca dan memahami isi serta konsekuensi hukum dari Akta ini.
2. Segala biaya yang timbul sehubungan dengan pembuatan Akta ini dan biaya pengurusan balik nama sertifikat akan ditanggung oleh [PIHAK YANG MENANGGUNG BIAYA, misal: PIHAK KEDUA] atau [DITANGGUNG BERSAMA].
3. Setelah penandatanganan Akta ini, segala hak dan kewajiban terkait dengan objek hibah, termasuk pembayaran PBB dan biaya perawatan, beralih sepenuhnya kepada PIHAK KEDUA.
4. Untuk segala akibat hukum dari Akta ini, para pihak memilih domisili hukum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri [NAMA KABUPATEN/KOTA].

-------------------------- SAKSI-SAKSI ----------------------------
Turut hadir sebagai saksi-saksi yang sah dalam pembuatan Akta ini:
1. Nyonya [NAMA SAKSI 1], lahir di [TEMPAT LAHIR SAKSI 1] pada tanggal [TANGGAL LAHIR SAKSI 1], Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di [ALAMAT LENGKAP SAKSI 1], pemegang KTP NIK [NIK SAKSI 1].
2. Tuan [NAMA SAKSI 2], lahir di [TEMPAT LAHIR SAKSI 2] pada tanggal [TANGGAL LAHIR SAKSI 2], Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di [ALAMAT LENGKAP SAKSI 2], pemegang KTP NIK [NIK SAKSI 2].

---------------------------- PENUTUP -------------------------------
Demikian Akta ini dibuat dan dibacakan oleh saya, Pejabat Pembuat Akta Tanah, kepada para pihak dan saksi-saksi, kemudian ditandatangani oleh para pihak dan saksi-saksi, serta saya, PPAT, pada hari, tanggal, bulan, dan tahun seperti yang disebutkan pada awal Akta ini.

PIHAK PERTAMA                              PIHAK KEDUA
(Nyonya [NAMA PEMBERI HIBAH])              (Tuan [NAMA PENERIMA HIBAH])

SAKSI 1                                     SAKSI 2
(Nyonya [NAMA SAKSI 1])                     (Tuan [NAMA SAKSI 2])

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
( [NAMA PPAT], S.H. )
        

6.1. Penjelasan Bagian-Bagian Akta Hibah

Setiap bagian dalam akta hibah memiliki fungsi dan makna hukum tersendiri:

  1. Kop Surat PPAT: Menunjukkan identitas dan legalitas Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat akta.
  2. Nomor Akta: Nomor urut akta yang dicatat dalam protokol PPAT, menunjukkan akta ini adalah dokumen resmi.
  3. Waktu Pembuatan: Menunjukkan tanggal dan waktu akta ini dibuat, penting untuk menentukan keabsahan dan urutan peristiwa hukum.
  4. Identitas PPAT: Menyebutkan nama lengkap, gelar, dasar pengangkatan, dan wilayah kerja PPAT, menegaskan kewenangan PPAT.
  5. Identitas Pihak Pertama (Penghibah): Mencakup nama lengkap, tempat/tanggal lahir, kewarganegaraan, alamat, NIK, dan statusnya sebagai pemberi hibah. Notaris/PPAT akan memastikan bahwa penghibah memiliki kapasitas hukum untuk menghibahkan.
  6. Identitas Pihak Kedua (Penerima Hibah): Mencakup nama lengkap, tempat/tanggal lahir, kewarganegaraan, alamat, NIK, dan statusnya sebagai penerima hibah. Penerima hibah harus secara tegas menyatakan menerima hibah.
  7. Keterangan Penghibahan: Ini adalah inti dari akta, di mana PIHAK PERTAMA dengan jelas menyatakan menghibahkan dan PIHAK KEDUA menerima hibah.
  8. Rincian Objek Hibah: Bagian terpenting yang menjelaskan secara detail mengenai aset yang dihibahkan. Untuk tanah dan bangunan, harus mencakup:
    • Lokasi (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, jalan).
    • Jenis dan Nomor Hak (misal: Hak Milik No. XXX).
    • Surat Ukur/Gambar Situasi (nomor dan tanggal).
    • Luas Tanah (dalam angka dan huruf).
    • NIB (Nomor Identifikasi Bidang).
    • Batas-batas (utara, selatan, barat, timur) untuk menghindari keraguan.
    • Deskripsi bangunan (jika ada), luas, dan nomor IMB.
    • NOP PBB (Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan).
    • Nama pemilik terdaftar di sertifikat, nomor dan tanggal sertifikat.
  9. Keterangan dan Jaminan: Berisi pernyataan penting dari penghibah yang menjamin bahwa objek hibah adalah miliknya sah, bebas dari sengketa, dan tidak sedang terikat dengan pihak lain. Ini untuk melindungi penerima hibah dari potensi masalah hukum di masa depan. Juga pernyataan penerima hibah yang menerima hibah tanpa syarat.
  10. Pernyataan Lain-lain: Berisi klausul tambahan seperti pemahaman para pihak terhadap akta, penanggung jawab biaya, peralihan kewajiban setelah hibah, dan pilihan domisili hukum untuk penyelesaian sengketa.
  11. Saksi-Saksi: Identitas dua orang saksi yang hadir saat penandatanganan. Kehadiran saksi adalah syarat formal akta otentik.
  12. Penutup dan Tanda Tangan: Bagian akhir yang menyatakan bahwa akta telah dibacakan dan ditandatangani oleh semua pihak (penghibah, penerima hibah, saksi-saksi, dan PPAT).

7. Aspek Pajak dalam Hibah

Hibah, terutama untuk benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menimbulkan kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh para pihak.

7.1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam kasus hibah, yang berkewajiban membayar BPHTB adalah penerima hibah. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian diatur lebih lanjut oleh peraturan daerah masing-masing.

7.1.1. Cara Perhitungan BPHTB

BPHTB dihitung berdasarkan nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), kemudian dikalikan tarif BPHTB.
Rumus: BPHTB = 5% x (NPOP - NPOPTKP)

7.1.2. Ilustrasi Perhitungan BPHTB

Misalkan: Objek tanah dan bangunan di Jakarta dengan NJOP Rp1.000.000.000, NPOPTKP untuk hibah Rp300.000.000 (untuk hibah garis lurus), tarif BPHTB 5%.

NPOP = Rp1.000.000.000

NPOPTKP = Rp300.000.000

BPHTB = 5% x (Rp1.000.000.000 - Rp300.000.000)

BPHTB = 5% x Rp700.000.000

BPHTB = Rp35.000.000

Jadi, penerima hibah harus membayar BPHTB sebesar Rp35.000.000.

7.2. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) dalam hibah dikenakan kepada penghibah atas penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan.

7.2.1. Tarif PPh

Tarif PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan umumnya adalah 2.5% dari nilai bruto pengalihan. Namun, terdapat pengecualian untuk hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial, dan sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara para pihak. Untuk hibah jenis ini, penghibah dapat dibebaskan dari PPh.

7.2.2. Pengecualian PPh

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (dan perubahannya) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait, PPh final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak dikenakan jika:

Jika penghibah tidak termasuk dalam kategori pengecualian tersebut, maka PPh tetap wajib dibayarkan sebesar 2.5% dari nilai bruto pengalihan.

7.2.3. Ilustrasi Perhitungan PPh

Jika hibah tidak termasuk dalam pengecualian PPh, dengan nilai objek Rp1.000.000.000, PPh yang harus dibayar penghibah adalah:

PPh = 2.5% x Rp1.000.000.000

PPh = Rp25.000.000

Jadi, penghibah harus membayar PPh sebesar Rp25.000.000.

Catatan Penting: Aturan pajak dapat berubah sewaktu-waktu. Selalu konsultasikan dengan Notaris/PPAT atau konsultan pajak untuk mendapatkan informasi terbaru dan akurat sesuai kondisi spesifik Anda.

8. Perbedaan Hibah dengan Konsep Hukum Lain

Hibah seringkali disamakan atau dicampuradukkan dengan konsep hukum lain seperti warisan, jual beli, dan wasiat. Memahami perbedaannya sangat penting.

Ilustrasi Akta Hibah: Diagram perbandingan hibah dan warisan

8.1. Hibah vs. Warisan

Ini adalah dua cara pengalihan harta yang paling sering dibicarakan, namun memiliki perbedaan fundamental.

Aspek Hibah Warisan
Waktu Peralihan Terjadi saat penghibah masih hidup (inter vivos). Hak kepemilikan langsung beralih setelah akta ditandatangani dan/atau penyerahan objek. Terjadi setelah pewaris meninggal dunia (mortis causa). Hak kepemilikan beralih setelah kematian pewaris kepada ahli warisnya.
Sifat Pemberian Sukarela, cuma-cuma, dan tidak dapat ditarik kembali (kecuali kondisi tertentu). Pengalihan harta berdasarkan hukum waris kepada ahli waris.
Persetujuan Membutuhkan persetujuan dan penerimaan dari penerima hibah. Tidak membutuhkan persetujuan dari ahli waris saat pewaris masih hidup. Hak waris timbul secara otomatis saat kematian.
Pengaturan Hukum Buku Kedua KUHPerdata (Pasal 1666-1693) atau KHI (Pasal 171-179). Buku Kedua KUHPerdata (Pasal 830 dst.) atau KHI (Pasal 171-209).
Objek Hanya dapat berupa barang yang sudah ada (tidak dapat menghibahkan harta yang akan ada di masa depan). Mencakup seluruh harta kekayaan pewaris pada saat meninggal dunia.
Legitime Portie Tidak boleh melanggar bagian mutlak ahli waris. Jika melanggar, hibah dapat dibatalkan sebagian. Ahli waris berhak atas bagian mutlaknya, kecuali ada alasan hukum untuk dicabut hak warisnya.

8.2. Hibah vs. Jual Beli

Perbedaan mendasar antara hibah dan jual beli terletak pada adanya imbalan.

Aspek Hibah Jual Beli
Tujuan Pengalihan hak milik secara cuma-cuma/sukarela. Pengalihan hak milik dengan adanya prestasi berupa harga (pembayaran).
Imbalan Tidak ada imbalan. Ada imbalan berupa harga beli yang disepakati.
Motif Kemurahan hati, kasih sayang, tujuan sosial/keagamaan. Transaksi ekonomi, keuntungan, kebutuhan.
Pajak yang Timbul BPHTB (penerima), PPh (penghibah, bisa dibebaskan). BPHTB (pembeli), PPh (penjual). Keduanya selalu ada.
Pembatalan Sangat terbatas, sesuai kondisi Pasal 1688 KUHPerdata atau Pasal 176 KHI. Dapat dibatalkan jika ada cacat hukum (penipuan, paksaan), wanprestasi, atau kesepakatan pembatalan.

8.3. Hibah vs. Wasiat

Wasiat adalah pernyataan kehendak terakhir seseorang. Konsep ini juga berbeda dengan hibah.

Aspek Hibah Wasiat (Testament)
Waktu Efektif Langsung berlaku saat penghibah masih hidup. Baru berlaku setelah pewasiat meninggal dunia. Selama hidup, wasiat dapat diubah atau ditarik kembali.
Sifat Persetujuan dua pihak (penghibah dan penerima). Pernyataan kehendak sepihak dari pewasiat.
Bentuk Akta otentik (Notaris/PPAT). Akta notaris, wasiat olografis (ditulis tangan dan disimpan notaris), atau wasiat rahasia.
Cakupan Harta Hanya barang yang sudah ada. Dapat meliputi sebagian atau seluruh harta yang akan dimiliki pewasiat saat meninggal dunia.
Legitime Portie Tidak boleh melanggar bagian mutlak ahli waris. Tidak boleh melanggar bagian mutlak ahli waris (kecuali untuk sepertiga dari harta).

Ada juga konsep "hibah wasiat" atau legaat (dalam KUHPerdata), yaitu hibah yang baru akan berlaku setelah pemberi hibah meninggal dunia. Ini adalah gabungan dari hibah dan wasiat, di mana pemberi ingin memberikan sesuatu secara cuma-cuma, tetapi efeknya ditangguhkan sampai kematian. Meskipun disebut hibah, secara hukum lebih dekat dengan wasiat.

9. Pembatalan Akta Hibah

Meskipun pada prinsipnya hibah tidak dapat ditarik kembali, undang-undang menyediakan beberapa kondisi di mana hibah dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Kondisi ini sangat spesifik dan ketat.

9.1. Pembatalan Hibah Menurut KUHPerdata (Pasal 1688)

Hibah hanya dapat ditarik kembali dalam tiga kondisi berikut:

  1. Jika Penerima Hibah Melanggar Syarat-Syarat Hibah: Apabila hibah diberikan dengan suatu syarat atau beban tertentu (hibah bersyarat), dan penerima hibah tidak memenuhi atau melanggar syarat tersebut. Contoh: menghibahkan rumah dengan syarat penerima hibah harus merawat orang tua penghibah seumur hidup, dan penerima hibah ternyata tidak merawat.
  2. Jika Penerima Hibah Bersikap Ingkar Janji/Durhaka: Apabila penerima hibah melakukan perbuatan durhaka atau sangat tidak berterima kasih (ingratitude) terhadap penghibah, misalnya:
    • Mencoba atau melakukan pembunuhan terhadap penghibah.
    • Melakukan kejahatan lain terhadap penghibah.
    • Menolak memberikan tunjangan hidup kepada penghibah yang berada dalam keadaan melarat (kekurangan).
  3. Jika Penghibah Mendapatkan Anak Setelah Hibah Dilakukan: Apabila pada saat penghibah melakukan hibah ia belum memiliki keturunan, tetapi kemudian ia memperoleh anak kandung setelah hibah dilakukan. Kondisi ini secara otomatis dapat menjadi alasan pembatalan, meskipun biasanya perlu diajukan gugatan ke pengadilan.

Pembatalan hibah harus dilakukan melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh penghibah. Pengadilan akan memeriksa apakah alasan pembatalan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

9.2. Pembatalan Hibah Menurut KHI (Pasal 176)

Untuk yang beragama Islam, KHI memiliki ketentuan yang sedikit berbeda:

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat ditarik kembali jika anak tersebut melakukan perbuatan durhaka atau melalaikan kewajibannya terhadap orang tua.

Pengecualian ini memberikan fleksibilitas lebih bagi orang tua muslim untuk menarik kembali hibah kepada anaknya jika ada alasan yang kuat. Pembatalan ini juga biasanya memerlukan penetapan dari Pengadilan Agama.

9.3. Implikasi Pembatalan

Jika hibah dibatalkan secara sah oleh pengadilan, maka hak kepemilikan atas objek hibah akan kembali kepada penghibah atau ahli warisnya, seolah-olah hibah tersebut tidak pernah terjadi. Penerima hibah wajib mengembalikan objek hibah beserta hasil-hasilnya (jika ada) sejak putusan pembatalan berkekuatan hukum tetap.

10. Pendaftaran Hak atas Tanah Hasil Hibah

Setelah akta hibah tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh PPAT, proses selanjutnya yang sangat penting adalah pendaftaran hak atas tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan balik nama sertifikat.

Ilustrasi Akta Hibah: Simbol sertifikat tanah dan gedung BPN

10.1. Tahapan Pendaftaran Balik Nama

  1. Pengajuan Permohonan: PPAT akan mengajukan permohonan pendaftaran hibah ke Kantor Pertanahan setempat. Permohonan ini disertai dengan dokumen-dokumen yang diperlukan.
  2. Pemeriksaan Dokumen: Petugas BPN akan memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen, termasuk akta hibah asli, bukti pelunasan BPHTB dan PPh (jika ada), sertifikat tanah asli, dan identitas para pihak.
  3. Pengukuran (jika diperlukan): Dalam kasus tertentu, BPN mungkin perlu melakukan pengukuran ulang bidang tanah untuk memastikan kesesuaian data.
  4. Penerbitan Surat Keputusan: Setelah semua pemeriksaan selesai dan memenuhi syarat, BPN akan menerbitkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan tentang Pendaftaran Hibah.
  5. Pencatatan dalam Buku Tanah: Hak kepemilikan atas tanah akan dicatat dalam buku tanah atas nama penerima hibah.
  6. Penerbitan Sertifikat Baru: Sertifikat tanah yang lama akan ditarik dan diterbitkan sertifikat baru atas nama penerima hibah.

Proses balik nama ini memerlukan waktu, biasanya beberapa minggu hingga beberapa bulan, tergantung pada kompleksitas kasus dan beban kerja BPN setempat. Penerima hibah akan menerima sertifikat asli yang sudah atas namanya sebagai bukti kepemilikan yang sah.

10.2. Dokumen untuk Balik Nama di BPN

Secara umum, dokumen yang diperlukan untuk balik nama di BPN (setelah akta hibah dibuat oleh PPAT) meliputi:

Perhatian: Pastikan semua dokumen disiapkan dengan teliti untuk menghindari penundaan proses di BPN. PPAT akan membantu mengurus proses ini, namun pemohon juga perlu proaktif dalam melengkapi persyaratan.

11. Tips Penting dalam Membuat Akta Hibah

Agar proses pembuatan akta hibah berjalan lancar dan memberikan kepastian hukum maksimal, perhatikan beberapa tips berikut:

12. Studi Kasus dan Tanya Jawab Umum (FAQ)

12.1. Studi Kasus Singkat

Kasus 1: Hibah Rumah Orang Tua kepada Anak

Pak Budi ingin menghibahkan rumahnya kepada anak tunggalnya, Andi. Rumah tersebut adalah harta milik Pak Budi yang diperoleh sebelum menikah. Pak Budi ingin memastikan Andi memiliki kepastian hukum atas rumah tersebut selagi Pak Budi masih hidup. Apa yang perlu dilakukan?

Solusi: Pak Budi dan Andi perlu datang ke kantor PPAT di wilayah lokasi rumah tersebut berada. Mereka membawa KTP, KK, NPWP, surat nikah Pak Budi, sertifikat rumah asli, dan bukti PBB terakhir. PPAT akan membuat akta hibah. Sebagai hibah dari orang tua ke anak sedarah satu derajat, Pak Budi (penghibah) kemungkinan besar dibebaskan dari PPh. Namun, Andi (penerima hibah) tetap wajib membayar BPHTB. Setelah akta ditandatangani dan pajak lunas, PPAT akan mengurus balik nama sertifikat di BPN agar nama pemilik di sertifikat berubah menjadi Andi.

Kasus 2: Pembatalan Hibah karena Durhaka

Ibu Siti menghibahkan sebagian tanahnya kepada keponakannya, Rina. Setelah menerima hibah, Rina ternyata sering memaki dan mengusir Ibu Siti dari rumahnya sendiri, bahkan mencoba melukai Ibu Siti. Apakah Ibu Siti bisa membatalkan hibah tersebut?

Solusi: Berdasarkan Pasal 1688 KUHPerdata, perbuatan durhaka atau sangat tidak berterima kasih oleh penerima hibah dapat menjadi alasan pembatalan hibah. Ibu Siti dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah ke Pengadilan Negeri dengan menyertakan bukti-bukti perbuatan durhaka Rina. Jika pengadilan mengabulkan gugatan, hak atas tanah akan kembali kepada Ibu Siti.

12.2. Tanya Jawab Umum (FAQ)

12.2.1. Apakah hibah bisa ditarik kembali?

Pada prinsipnya tidak bisa, kecuali dalam tiga kondisi yang diatur Pasal 1688 KUHPerdata (melanggar syarat, durhaka, atau penghibah memiliki anak setelah hibah). Khusus bagi muslim, hibah orang tua kepada anak bisa ditarik jika anak durhaka (Pasal 176 KHI). Pembatalan harus melalui putusan pengadilan.

12.2.2. Berapa biaya pembuatan akta hibah?

Biaya notaris/PPAT bervariasi tergantung nilai objek dan kebijakan kantor. Umumnya dihitung berdasarkan persentase dari nilai transaksi (misal: 0.5% - 1% dari nilai objek), ditambah biaya cek ke BPN, biaya saksi, dan lain-lain. Belum termasuk pajak (BPHTB dan PPh).

12.2.3. Apakah hibah harus selalu pakai akta otentik?

Untuk benda tidak bergerak (tanah/bangunan), wajib dengan akta PPAT. Untuk benda bergerak, tidak wajib akta notaris, namun sangat disarankan untuk kepastian hukum, terutama jika nilai aset tinggi.

12.2.4. Apakah hibah dikenakan pajak?

Ya, hibah tanah/bangunan dikenakan BPHTB (ditanggung penerima hibah) dan PPh (ditanggung penghibah). Namun, PPh dapat dibebaskan jika hibah kepada keluarga sedarah satu derajat atau badan tertentu dengan syarat tertentu.

12.2.5. Apa yang terjadi jika akta hibah tidak dibalik nama?

Jika akta hibah tanah/bangunan tidak dibalik nama di BPN, maka secara yuridis formal kepemilikan di sertifikat masih atas nama penghibah. Ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti sengketa dengan ahli waris penghibah atau kesulitan dalam menjual/menjaminkan objek tersebut.

Kesimpulan

Akta hibah merupakan instrumen hukum yang sangat bermanfaat untuk pengalihan aset secara sukarela dan cuma-cuma. Namun, prosesnya tidak sesederhana kelihatannya. Diperlukan pemahaman mendalam mengenai definisi, dasar hukum, prosedur, implikasi pajak, serta perbedaan dengan konsep hukum lainnya.

Melibatkan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa akta hibah yang dibuat sah, memiliki kekuatan hukum yang kuat, dan meminimalisir potensi sengketa di masa depan. Dengan akta otentik, hak penerima hibah terlindungi secara hukum dan proses balik nama aset (khususnya tanah dan bangunan) dapat dilakukan dengan lancar.

Mematuhi semua persyaratan administratif dan pajak adalah bagian tak terpisahkan dari proses hibah yang legal. Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional hukum untuk setiap langkah, demi kepastian dan keamanan harta Anda.

🏠 Homepage