Dalam ajaran Islam, kehidupan di dunia ini seringkali digambarkan sebagai ladang untuk akhirat, sebuah tempat persinggahan sementara menuju kehidupan yang kekal abadi. Namun, naluri manusia seringkali condong untuk mengejar kenikmatan duniawi, mengumpulkan harta, meraih kekuasaan, dan tenggelam dalam kesenangan sesaat. Persoalan mengejar dunia ini menjadi tema sentral yang banyak dibahas dalam Al-Quran maupun Hadits Nabi Muhammad ﷺ. Melalui artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam pandangan Islam, khususnya melalui lensa Hadits Nabi, mengenai bahaya terlalu mencintai dan mengejar dunia, serta bagaimana seorang Muslim seyogianya menempatkan dunia dalam perspektif yang benar.
Memahami posisi dunia dalam kehidupan seorang Muslim adalah krusial. Dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana. Ia adalah ujian, tempat beramal, dan jembatan menuju akhirat. Namun, jika hati telah terpaut erat dengan dunia, menjadikannya satu-satunya orientasi hidup, maka hal tersebut akan membawa dampak negatif yang mendalam, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat luas. Hadits-hadits Nabi ﷺ memberikan panduan yang sangat jelas dan peringatan keras mengenai fenomena ini, yang dalam istilah agama sering disebut sebagai "hubbud dunya" atau cinta dunia yang berlebihan.
1. Hakikat Dunia dan Akhirat dalam Islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang larangan mengejar dunia secara berlebihan, penting untuk memahami hakikat dunia (ad-dunya) dan akhirat (al-akhirah) dalam pandangan Islam. Dunia adalah kehidupan yang fana, sementara, dan penuh tipu daya. Segala kenikmatan, kekayaan, dan keindahan yang ada di dalamnya hanyalah ujian dan cobaan bagi manusia. Sebaliknya, akhirat adalah kehidupan yang kekal, abadi, dan merupakan tempat manusia akan menerima balasan atas segala perbuatan mereka di dunia.
1.1. Dunia Sebagai Ladang Akhirat
Allah SWT menciptakan dunia ini bukan tanpa tujuan. Dunia diciptakan sebagai tempat manusia beribadah, beramal saleh, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya. Ia adalah "ladang" tempat kita menanam benih-benih kebaikan yang hasilnya akan kita tuai di akhirat kelak. Jika kita menanam kebaikan, kita akan menuai pahala; jika kita menanam keburukan, kita akan menuai siksa. Konsep ini menempatkan dunia sebagai instrumen, bukan tujuan akhir. Oleh karena itu, aktivitas duniawi seperti bekerja, berdagang, atau membangun rumah tidak dilarang, asalkan semuanya diniatkan untuk mendukung ketaatan kepada Allah dan sebagai bekal menuju akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Dunia itu ladang akhirat." (Atsar/pernyataan yang masyhur)
Pernyataan ini, meskipun bukan hadits marfu' (langsung dari Nabi) secara sanad, namun maknanya sangat populer dan diterima dalam tradisi Islam karena sejalan dengan banyak ayat Al-Quran dan hadits shahih lainnya. Ia menegaskan bahwa setiap detik yang kita habiskan di dunia adalah kesempatan untuk berinvestasi pada kehidupan yang lebih kekal. Membangun masjid, menuntut ilmu, berbuat kebaikan kepada sesama, mencari rezeki yang halal untuk menafkahi keluarga, semua ini bisa menjadi amal akhirat jika diniatkan dengan benar dan sesuai syariat.
1.2. Fana dan Tipu Daya Dunia
Salah satu sifat utama dunia yang sering ditekankan dalam ajaran Islam adalah kefanaannya. Dunia ini akan hancur dan lenyap, begitu pula dengan segala isinya. Manusia, kekayaan, jabatan, kecantikan, semuanya akan berakhir. Kesadaran akan kefanaan ini seharusnya mendorong manusia untuk tidak terlalu terpaut pada dunia. Al-Quran seringkali mengingatkan tentang hakikat ini, seperti dalam Surah Al-Kahf ayat 45:
"Dan buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka tumbuhlah dengan suburnya tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Kahf: 45)
Perumpamaan ini memberikan gambaran yang sangat jelas tentang betapa cepatnya kehidupan dunia berlalu dan berubah. Hari ini kita mungkin menyaksikan kemewahan dan keglamoran, namun esok hari semuanya bisa hilang tanpa jejak. Tipu daya dunia juga terletak pada kemampuannya untuk mengalihkan perhatian manusia dari tujuan utamanya, yaitu beribadah kepada Allah. Harta, jabatan, popularitas, semua bisa menjadi jerat yang membuat manusia lupa diri dan melupakan akhirat.
2. Peringatan Keras Terhadap Cinta Dunia Berlebihan (Hubbud Dunya)
Nabi Muhammad ﷺ memberikan banyak peringatan tegas mengenai bahaya cinta dunia yang berlebihan, atau hubbud dunya. Kondisi ini bukan sekadar mengejar rezeki atau kebutuhan hidup, tetapi menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan hidup, menomorduakan atau bahkan melupakan akhirat. Ketika dunia telah menguasai hati, ia dapat merusak iman, moral, dan melalaikan kewajiban kepada Allah.
2.1. Dunia Ibarat Bangkai
Rasulullah ﷺ menggambarkan dunia dengan perumpamaan yang sangat tajam untuk menunjukkan betapa rendahnya nilai dunia di sisi Allah dan betapa tidak pantasnya manusia mati-matian mengejarnya:
"Dunia itu terlaknat dan terlaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali zikir kepada Allah dan apa yang mengikutinya (mendekatkan diri kepada-Nya), seorang alim atau seorang pelajar." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Hadits ini secara eksplisit menyatakan bahwa dunia beserta isinya adalah sesuatu yang terlaknat, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan mengingat Allah dan menuntut ilmu yang bermanfaat. Ini bukan berarti Islam melarang manusia untuk hidup layak atau bekerja. Melainkan, ia menggarisbawahi bahwa jika segala sesuatu di dunia ini tidak diniatkan untuk Allah atau tidak membawa kepada kebaikan akhirat, maka ia menjadi tidak bernilai di hadapan-Nya, bahkan bisa menjadi laknat. Mencari ilmu, berzikir, membaca Al-Quran, berdakwah, atau bekerja keras dengan niat menafkahi keluarga dan membantu sesama, semua ini adalah pengecualian yang mengangkat nilai dunia menjadi bekal akhirat.
Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ pernah melewati bangkai kambing yang telah rusak di pasar. Beliau memegang telinganya seraya bersabda:
"Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah di sisi Allah daripada bangkai ini di sisimu." (HR. Muslim)
Perumpamaan bangkai kambing ini sangatlah kuat. Bau busuk dan pemandangan bangkai yang menjijikkan adalah sesuatu yang dihindari manusia. Nabi ﷺ ingin menegaskan bahwa nilai dunia di hadapan Allah jauh lebih hina daripada bangkai itu di mata manusia. Ini adalah teguran keras bagi mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar kemewahan dunia, sementara melupakan tujuan penciptaan mereka yang sesungguhnya.
2.2. Dunia Sebagai Penyakit Wahn
Salah satu hadits yang paling terkenal tentang bahaya mengejar dunia adalah hadits tentang penyakit "wahn":
"Hampir-hampir bangsa-bangsa akan bersatu menyerbu kalian, sebagaimana orang-orang menyerbu hidangan makanan." Lalu seseorang berkata, "Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu?" Beliau menjawab, "Bahkan kalian banyak pada hari itu, tetapi kalian adalah buih seperti buih banjir. Dan sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Dia akan menanamkan di dalam hati kalian 'al-Wahn'." Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah 'al-Wahn' itu?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits ini adalah nubuat Nabi ﷺ tentang kondisi umat Islam di akhir zaman. Meskipun jumlahnya banyak, mereka akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan oleh musuh-musuh mereka. Akar masalahnya adalah "al-Wahn," yang dijelaskan sebagai cinta dunia (hubbud dunya) dan takut mati. Cinta dunia membuat manusia menjadi serakah, egois, dan sibuk dengan kepentingan pribadi. Takut mati menjadikan mereka enggan berjuang di jalan Allah, lebih memilih kenyamanan duniawi daripada pengorbanan demi agama. Kedua sifat ini saling berkaitan; semakin seseorang mencintai dunia, semakin ia takut kehilangannya, dan semakin ia takut menghadapi kematian yang akan memisahkannya dari dunia yang dicintainya.
Penyakit wahn ini sangat berbahaya karena ia menyerang inti kekuatan umat: persatuan, keberanian, dan fokus pada tujuan akhirat. Ketika umat telah dikuasai wahn, mereka akan tercerai-berai, kehilangan martabat, dan menjadi santapan empuk bagi musuh-musuh mereka, persis seperti hidangan di meja makan yang direbutkan.
2.3. Dunia Melenakan dan Melalaikan
Nabi ﷺ juga mengingatkan bahwa dunia memiliki daya tarik yang kuat yang bisa melenakan dan melalaikan manusia dari kewajiban agama dan tujuan akhirat:
"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan akan menimpa kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia dibentangkan (dilimpahkan kekayaan) kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba memperebutkannya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kekayaan dan kemewahan dunia, jika tidak dikelola dengan iman dan takwa, bisa menjadi fitnah (ujian) yang lebih besar daripada kemiskinan. Kemiskinan mungkin menguji kesabaran, tetapi kekayaan menguji kesyukuran dan keistiqomahan. Ketika kekayaan melimpah, godaan untuk bersaing dalam kemegahan duniawi akan muncul. Manusia akan berlomba-lomba mengumpulkan harta, membangun istana, membeli kendaraan mewah, dan menghabiskan waktu serta tenaga untuk hal-hal yang bersifat sementara. Perlombaan ini seringkali berujung pada kebinasaan, baik kebinasaan moral, spiritual, maupun sosial. Mereka lupa bahwa harta adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Tanda-tanda dan Dampak Negatif Hubbud Dunya
Cinta dunia yang berlebihan tidak hanya menjadi peringatan dalam hadits, tetapi juga menunjukkan ciri-ciri dan dampak yang nyata dalam kehidupan seorang Muslim. Mengenali tanda-tanda ini penting agar kita dapat muhasabah diri dan menghindari terjerumus dalam jurang hubbud dunya.
3.1. Melupakan Akhirat dan Kewajiban Agama
Tanda paling jelas dari hubbud dunya adalah ketika seseorang mulai melalaikan kewajiban agamanya demi urusan dunia. Shalat dikerjakan tergesa-gesa atau bahkan ditinggalkan karena sibuk bekerja atau bersenang-senang. Zakat diabaikan karena enggan mengeluarkan sebagian harta. Membaca Al-Quran menjadi barang langka. Ilmu agama tidak lagi dicari, karena dianggap tidak memberikan keuntungan materiil. Waktu yang seharusnya digunakan untuk beribadah, menuntut ilmu, atau beramal shaleh, justru dihabiskan untuk mengejar kenikmatan duniawi semata.
Orang yang hatinya terpaut pada dunia akan sulit merasa khusyuk dalam shalat, karena pikirannya terus melayang memikirkan keuntungan bisnis, proyek yang belum selesai, atau rencana liburan. Ia akan lebih khawatir kehilangan keuntungan materi daripada kehilangan pahala dari Allah. Prioritas hidupnya telah bergeser; dunia menjadi nomor satu, akhirat menjadi nomor dua, atau bahkan tidak ada dalam daftar prioritasnya sama sekali.
3.2. Rakus, Tamak, dan Tidak Pernah Merasa Cukup
Salah satu hadits yang menggambarkan sifat rakus manusia terhadap dunia adalah:
"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, ia pasti menginginkan lembah yang ketiga. Dan tidak akan memenuhi perut anak Adam kecuali tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menyingkap tabiat dasar manusia yang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, terutama dalam hal harta. Sekalipun ia telah memiliki kekayaan yang melimpah ruah, nafsunya akan terus mendorongnya untuk mencari lebih banyak lagi. Keinginan yang tak terbatas ini menjadi tanda nyata dari hubbud dunya. Orang yang rakus tidak akan pernah merasakan ketenangan jiwa atau kebahagiaan sejati, karena ia akan selalu merasa kurang dan terus-menerus cemas akan kehilangan apa yang dimilikinya atau tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Kepuasan hanya akan datang ketika ia masuk ke liang kubur, di mana tanah akan memenuhi perutnya dan mengakhiri segala ambisinya.
Sifat tamak ini juga seringkali mendorong seseorang untuk mencari harta dengan cara-cara yang haram, seperti riba, korupsi, menipu, atau mengambil hak orang lain. Baginya, halal dan haram menjadi kabur, asalkan tujuannya untuk mengumpulkan harta tercapai.
3.3. Pelit dan Enggan Berinfak
Cinta dunia yang berlebihan membuat seseorang menjadi pelit (kikir) dan enggan berbagi hartanya di jalan Allah. Harta yang dikumpulkannya dianggap sebagai miliknya sepenuhnya dan sangat berat baginya untuk melepaskan sebagian kecilnya untuk infak, sedekah, atau zakat. Padahal, infak adalah salah satu cara untuk membersihkan harta dan mendekatkan diri kepada Allah. Nabi ﷺ bersabda:
"Setiap pagi ada dua malaikat yang turun, salah satunya berdoa, 'Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak.' Dan yang lain berdoa, 'Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (kikir).'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang kikir akan kehilangan keberkahan hartanya di dunia dan pahala besar di akhirat. Kekikirannya juga bisa menjadi bumerang, menyebabkan kesengsaraan baginya di hari kiamat. Kekayaan yang disimpan rapat-rapat tanpa digunakan di jalan kebaikan akan menjadi beban dan saksi atas kekikiran pemiliknya.
3.4. Cemas dan Gelisah Berlebihan
Meskipun memiliki harta yang banyak, orang yang mencintai dunia secara berlebihan seringkali hidup dalam kecemasan dan kegelisahan. Mereka takut kehilangan hartanya, takut gagal dalam usahanya, atau takut tidak bisa menambah kekayaannya. Kecemasan ini merenggut ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati. Nabi ﷺ bersabda:
"Barangsiapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, dan Allah akan menjadikan kefakirannya di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa yang akhirat menjadi tujuan utamanya, Allah akan mengumpulkan urusannya, dan Allah akan menjadikan kekayaannya di hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dengan tunduk." (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menunjukkan dampak langsung dari orientasi hidup. Jika dunia menjadi fokus, Allah akan membuat urusannya tercerai-berai, hatinya tidak pernah merasa kaya meskipun hartanya melimpah, dan ia akan senantiasa merasa kekurangan. Sebaliknya, jika akhirat menjadi fokus, Allah akan memudahkan urusannya, memberinya kekayaan hati (qana'ah), dan dunia akan datang kepadanya dengan mudah tanpa harus mati-matian mengejarnya.
Kecemasan ini juga seringkali berujung pada penyakit fisik dan mental, karena pikiran dan hati tidak pernah beristirahat dari obsesi duniawi.
3.5. Hilangnya Rasa Syukur dan Qana'ah (Merasa Cukup)
Orang yang dikuasai hubbud dunya akan sulit merasakan syukur atas nikmat yang Allah berikan. Ia akan selalu melihat apa yang tidak ia miliki daripada mensyukuri apa yang sudah ada. Akibatnya, ia tidak pernah merasa cukup (qana'ah). Padahal, rasa syukur dan qana'ah adalah kunci kebahagiaan dan ketenangan hati. Nabi ﷺ bersabda:
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberinya qana'ah (perasaan cukup) terhadap apa yang diberikan-Nya." (HR. Muslim)
Tanpa qana'ah, kehidupan akan terasa sempit dan penuh tekanan, meskipun ia berlimpah harta. Ia akan terus berlari mengejar sesuatu yang tidak pernah tercapai, yaitu kepuasan materi yang abadi.
4. Konsep Zuhud dan Qana'ah: Solusi Atas Cinta Dunia
Sebagai antitesis dari hubbud dunya, Islam mengajarkan konsep zuhud dan qana'ah. Kedua konsep ini bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan hidup sebagai seorang pertapa, melainkan menempatkan dunia pada porsinya yang tepat dalam hati dan pikiran seorang Muslim.
4.1. Zuhud: Meletakkan Dunia di Tangan, Bukan di Hati
Zuhud seringkali disalahpahami sebagai kemiskinan atau penarikan diri dari kehidupan duniawi. Padahal, zuhud adalah sikap hati, bukan ketiadaan harta. Seorang yang zuhud mungkin saja kaya raya, namun hatinya tidak terpaut pada kekayaannya. Ia menggunakan hartanya untuk kebaikan, tidak terobsesi dengannya, dan siap kehilangannya kapan saja demi Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Zuhud di dunia itu bukanlah mengharamkan yang halal, dan bukan pula menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan hendaknya engkau lebih menyukai pahala musibah daripada pahala keberuntungan, jika engkau mendapatkannya." (Riwayat Ibnu Majah, dari Abu Dzar. Namun hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama. Makna umum zuhud dijelaskan oleh ulama seperti Ibnu al-Qayyim sebagai kosongnya hati dari ketergantungan pada dunia, meskipun tangan memegangnya.)
Penjelasan yang lebih akurat dari ulama mengenai zuhud adalah: ia adalah kosongnya hati dari ketergantungan pada dunia, sementara tangan seseorang boleh memegang dan mengelola dunia tersebut. Seorang yang zuhud melihat dunia sebagai alat untuk mencapai akhirat. Ia tidak mencintai dunia, tidak bersedih atas kehilangannya, dan tidak terlalu gembira saat mendapatkannya. Fokusnya adalah keridaan Allah dan pahala abadi. Ia bekerja keras, mencari rezeki, tetapi semua itu dalam kerangka ibadah dan persiapan menuju hari akhir.
Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang zuhud, beliau menjawab: "Zuhud itu ada tiga tingkatan: Pertama, meninggalkan hal-hal haram, ini adalah zuhud orang awam. Kedua, meninggalkan hal-hal syubhat, ini zuhud orang pertengahan. Ketiga, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat, ini zuhud orang-orang pilihan." Ini menunjukkan bahwa zuhud adalah proses peningkatan spiritual yang terus-menerus.
4.2. Qana'ah: Merasa Cukup dengan Pemberian Allah
Qana'ah adalah sikap ridha dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, tanpa merasa iri terhadap orang lain atau selalu menginginkan lebih. Qana'ah bukan berarti pasif dan tidak mau berusaha, melainkan memiliki hati yang tenang dan bersyukur atas rezeki yang ada, sambil tetap berusaha mencari yang terbaik sesuai syariat.
Nabi ﷺ bersabda:
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberinya qana'ah (perasaan cukup) terhadap apa yang diberikan-Nya." (HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta, melainkan pada ketenangan hati yang didapat dari qana'ah. Orang yang qana'ah akan hidup lebih bahagia, tidak tertekan oleh persaingan duniawi, dan lebih fokus pada hal-hal yang abadi. Ia memahami bahwa rezeki adalah ketentuan Allah, dan setiap orang telah ditentukan bagiannya. Dengan qana'ah, ia akan terhindar dari sifat tamak, rakus, dan iri hati.
Qana'ah adalah benteng yang melindungi hati dari godaan dunia. Ia membebaskan jiwa dari belenggu keserakahan dan memberikan kedamaian yang tak ternilai harganya. Ketika seseorang memiliki qana'ah, ia akan merasa kaya meskipun hartanya sedikit, karena kekayaan sejatinya ada di dalam hati.
5. Keseimbangan Hidup: Menggunakan Dunia untuk Akhirat
Islam adalah agama yang realistis dan moderat. Ia tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia secara total, tetapi juga tidak membiarkan manusia tenggelam di dalamnya. Yang diajarkan adalah keseimbangan (wasathiyah), yaitu menggunakan dunia sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
5.1. Bekerja Keras dan Mencari Rezeki Halal
Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban dalam Islam. Bekerja keras untuk menafkahi diri dan keluarga bahkan bernilai ibadah. Rasulullah ﷺ sangat menghargai orang yang mencari rezeki dengan jerih payahnya sendiri.
"Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud AS itu makan dari hasil kerja tangannya sendiri." (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja dan mencari rezeki adalah tindakan mulia yang dicintai Allah. Yang dilarang adalah menjadikannya tujuan akhir, sehingga melupakan Allah, melalaikan kewajiban, atau bahkan mencari rezeki dengan cara yang haram. Muslim yang sejati adalah mereka yang bekerja di dunia seolah-olah akan hidup selamanya, namun beribadah seolah-olah akan mati esok hari.
5.2. Menginfakkan Harta di Jalan Allah
Harta yang diperoleh melalui jalan yang halal seharusnya digunakan juga untuk jalan kebaikan. Berinfak, bersedekah, menunaikan zakat, membantu sesama, dan membiayai dakwah adalah cara mengubah harta dunia menjadi bekal akhirat. Al-Quran dan Hadits banyak menganjurkan infak dan menjelaskan keutamaan-keutamaannya.
"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)
Infak adalah investasi jangka panjang yang keuntungannya akan kita rasakan di akhirat. Dengan berinfak, hati akan dibersihkan dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan, serta menumbuhkan rasa syukur dan kepedulian sosial. Infak juga merupakan wujud syukur atas rezeki yang Allah berikan.
5.3. Menuntut Ilmu dan Mengamalkannya
Ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia yang bermanfaat, adalah sarana penting untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. Ilmu agama membimbing kita pada jalan yang benar, sedangkan ilmu dunia membantu kita mengelola kehidupan dan memberikan manfaat bagi umat manusia. Menuntut ilmu dan mengamalkannya adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat ditekankan dalam Islam.
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir meskipun seseorang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan adalah cara cerdas untuk menggunakan dunia demi kebaikan akhirat.
5.4. Menjaga Ukhuwah dan Silaturahim
Keseimbangan hidup juga mencakup menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas). Ukhuwah (persaudaraan Islam) dan silaturahim (menyambung tali kekerabatan) adalah ajaran penting yang membawa banyak keberkahan di dunia dan akhirat. Memperkuat hubungan sosial, saling membantu, dan saling menasihati dalam kebaikan adalah amal shaleh yang sangat dicintai Allah.
"Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim." (HR. Bukhari dan Muslim)
Terlalu sibuk mengejar dunia seringkali membuat orang lalai dalam menjaga hubungan sosial, bahkan dapat menimbulkan permusuhan dan iri hati. Dengan menempatkan nilai-nilai ukhuwah dan silaturahim sebagai prioritas, seorang Muslim akan merasakan kedamaian dan dukungan sosial yang akan membantu ia dalam menjalani kehidupannya.
6. Teladan Rasulullah dan Para Sahabat
Dalam memahami konsep keseimbangan antara dunia dan akhirat, tidak ada teladan yang lebih sempurna daripada kehidupan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Mereka adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa hidup di dunia tanpa terikat olehnya.
6.1. Kehidupan Sederhana Nabi Muhammad ﷺ
Meskipun memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar, Nabi Muhammad ﷺ menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Beliau tidak pernah mengumpulkan harta atau hidup dalam kemewahan. Kebanyakan rumah tangganya seringkali kekurangan makanan, dan beliau seringkali tidur di atas tikar kasar yang meninggalkan bekas pada tubuhnya.
Dari Aisyah RA, ia berkata: "Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang dari roti gandum selama dua hari berturut-turut hingga beliau meninggal dunia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesederhanaan Nabi ﷺ bukanlah karena kemiskinan, melainkan karena pilihan. Beliau menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukanlah pada banyaknya harta, melainkan pada ketenangan hati dan fokus pada akhirat. Beliau khawatir jika dunia dibuka lebar-lebar untuknya, akan melenakan umatnya. Kehidupan beliau adalah pelajaran berharga bahwa seorang pemimpin dan teladan umat tidak perlu bermandikan harta untuk dicintai dan dihormati. Justru, kesederhanaan beliau menumbuhkan cinta dan kekaguman dari para sahabat dan umatnya.
Beliau makan apa adanya, memakai pakaian sederhana, dan tidak pernah membiarkan gemerlap dunia mengalihkan perhatiannya dari misi kenabian dan ibadahnya kepada Allah. Harta yang beliau miliki selalu diinfakkan, bahkan sebelum sempat dihitung. Prioritasnya adalah akhirat, dan dunia hanyalah jembatan yang harus dilalui dengan hati-hati.
6.2. Para Sahabat RA: Kombinasi Zuhud dan Produktivitas
Para sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, juga meneladani Nabi ﷺ dalam menempatkan dunia. Banyak di antara mereka adalah saudagar kaya atau memiliki kekuasaan, namun hati mereka tidak pernah terpaut pada harta dan jabatan tersebut. Mereka menggunakan kekayaan dan kekuasaan mereka untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq: Beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, menunjukkan puncak zuhud meskipun sebagai seorang saudagar sukses. Prioritasnya adalah ridha Allah dan mendukung perjuangan Nabi ﷺ.
- Umar bin Khattab: Sebagai khalifah yang menguasai wilayah luas, Umar tetap hidup dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar, makan roti kering, dan menolak kemewahan yang ditawarkan kepadanya. Beliau sangat tegas dalam mengelola harta baitul mal dan memastikan keadilan.
- Utsman bin Affan: Beliau adalah seorang pedagang kaya yang sangat dermawan. Hartanya selalu digunakan untuk membiayai pasukan Islam, membeli sumur untuk kepentingan umat, dan membantu kaum fakir miskin. Kekayaannya adalah alat untuk beribadah dan meraih pahala.
- Ali bin Abi Thalib: Meskipun sebagai seorang khalifah, Ali juga menjalani hidup yang sederhana, fokus pada keadilan dan ketaatan.
Kisah-kisah para sahabat ini membuktikan bahwa zuhud bukanlah berarti tidak memiliki harta, melainkan tidak dikuasai oleh harta. Mereka adalah orang-orang yang sukses di dunia, tetapi lebih sukses lagi dalam mempersiapkan diri untuk akhirat. Mereka adalah para profesional di zamannya, para pemimpin yang adil, tetapi hati mereka selalu tertuju kepada Allah SWT. Mereka tidak mengejar dunia, tetapi dunia datang kepada mereka sebagai karunia dari Allah, yang kemudian mereka gunakan sebaik-baiknya untuk meraih keridaan-Nya.
7. Harta Kekayaan: Amanah dan Pertanggungjawaban
Harta kekayaan dalam Islam bukanlah tujuan, melainkan amanah dari Allah. Setiap kepemilikan harta akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Pemahaman ini sangat penting untuk membentuk sikap yang benar terhadap harta dan mencegah hubbud dunya.
7.1. Harta Sebagai Ujian dan Titipan
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. Al-Anfal: 28)
Ayat ini jelas menyatakan bahwa harta adalah ujian. Apakah kita akan menggunakan harta tersebut untuk ketaatan atau kemaksiatan? Apakah harta tersebut akan membuat kita bersyukur atau kufur? Apakah harta tersebut akan menjadikan kita dermawan atau kikir? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan nasib kita di akhirat. Harta bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan titipan dari Allah yang harus dikelola sesuai dengan kehendak-Nya.
Sadar bahwa harta adalah titipan akan membuat seseorang lebih berhati-hati dalam mencari dan menggunakannya. Ia tidak akan mencari harta dengan cara yang haram, dan tidak akan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat atau maksiat. Ia akan senantiasa mengingat bahwa suatu saat nanti ia harus mengembalikan amanah ini kepada Pemiliknya.
7.2. Pertanyaan di Hari Kiamat Mengenai Harta
Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban mengenai hartanya di hari kiamat:
"Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana ia memperolehnya dan untuk apa ia membelanjakannya, dan tentang tubuhnya untuk apa ia rusak." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini secara spesifik menyebutkan pertanyaan tentang harta, dari mana ia didapatkan (halal atau haram) dan untuk apa ia dibelanjakan (kebaikan atau keburukan). Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang mencari harta dengan cara yang tidak halal atau menggunakannya untuk kemaksiatan. Setiap rupiah, setiap sen, akan ada hisabnya. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berhati-hati dalam setiap transaksi keuangannya, memastikan bahwa sumbernya halal dan penggunaannya diridhai Allah. Harta yang digunakan di jalan Allah akan menjadi saksi kebaikan baginya, sedangkan harta yang digunakan di jalan maksiat akan menjadi pemberat dosa.
8. Mengingat Kematian dan Akhirat: Penyeimbang Hati
Salah satu cara paling efektif untuk mengendalikan hawa nafsu dan cinta dunia yang berlebihan adalah dengan sering mengingat kematian dan akhirat. Kesadaran akan kefanaan hidup dan kepastian akan datangnya kematian menjadi rem bagi ambisi duniawi yang tak terbatas.
8.1. Kematian Sebagai Pengingat Terbaik
Kematian adalah nasihat terbaik. Ia adalah pintu gerbang menuju akhirat dan penutup segala aktivitas duniawi. Tidak ada manusia yang bisa lari dari kematian, tidak peduli seberapa kaya, berkuasa, atau sehatnya ia. Allah SWT berfirman:
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." (QS. Ali 'Imran: 185)
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan-kenikmatan (yaitu kematian)." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah)
Mengingat kematian secara rutin akan melunakkan hati yang keras, menyadarkan dari kelalaian, dan mengarahkan kembali fokus pada persiapan akhirat. Ketika seseorang menyadari bahwa setiap detiknya semakin mendekatkan ia pada kematian, ia akan lebih bijak dalam menggunakan waktu dan hartanya. Ia akan memprioritaskan amal saleh, bertaubat dari dosa, dan berbuat baik kepada sesama. Mengingat kematian bukanlah untuk menjadi pesimis, melainkan untuk menjadi lebih produktif dalam kebaikan, karena waktu yang tersisa sangat terbatas.
8.2. Membayangkan Kehidupan Akhirat
Selain mengingat kematian, membayangkan kehidupan akhirat—surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan segala siksanya—juga merupakan penyeimbang hati yang ampuh. Perbandingan antara kenikmatan dunia yang fana dengan kenikmatan surga yang abadi akan membuat dunia tampak sangat kecil dan tidak berarti.
"Dan tidaklah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau saja mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut: 64)
Dengan sering merenungkan janji-janji surga dan ancaman-ancaman neraka, seorang Muslim akan termotivasi untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Ia akan merasa bahwa setiap pengorbanan di dunia demi Allah adalah investasi yang sangat berharga untuk kehidupan abadi yang jauh lebih baik. Gambaran surga yang kekal abadi, penuh dengan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terlintas di hati manusia, akan membuat segala godaan dunia tampak remeh. Sebaliknya, membayangkan siksa neraka akan menjadi pendorong kuat untuk menjauhi segala perbuatan yang dapat mengantar ke sana.
9. Membangun Pribadi Muslim yang Seimbang
Mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah tujuan utama ajaran Islam dalam konteks ini. Ini adalah usaha berkelanjutan untuk mengelola ambisi duniawi tanpa mengorbankan komitmen spiritual dan tujuan akhirat. Ada beberapa langkah praktis yang bisa diambil untuk membangun pribadi Muslim yang seimbang.
9.1. Prioritaskan Kewajiban Agama
Langkah pertama adalah memastikan bahwa kewajiban-kewajiban agama tidak pernah terabaikan oleh urusan dunia. Shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji (bagi yang mampu) adalah pilar-pilar Islam yang harus ditegakkan. Jadikan waktu shalat sebagai jeda dari hiruk pikuk dunia, tempat hati kembali terhubung dengan Penciptanya. Ingatlah bahwa kesibukan dunia tidak akan pernah berhenti, tetapi kewajiban kepada Allah memiliki batas waktu.
Memiliki jadwal harian yang menempatkan shalat pada awal dan pusat, memastikan waktu untuk membaca Al-Quran, dan menyisihkan waktu untuk tafakkur (merenung) akan sangat membantu. Ketika agama menjadi prioritas, segala urusan dunia akan mengikuti dengan lebih teratur dan berkah.
9.2. Evaluasi Diri (Muhasabah) Secara Rutin
Seorang Muslim yang bijak akan senantiasa mengevaluasi dirinya (muhasabah) tentang seberapa jauh ia telah mendekat atau menjauh dari tujuan akhirat. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah harta yang saya cari mendekatkan saya kepada Allah atau menjauhkan saya? Apakah waktu yang saya habiskan lebih banyak untuk dunia atau untuk akhirat? Apakah saya telah berlaku adil terhadap hak Allah dan hak sesama?
Muhasabah akan membantu kita mendeteksi tanda-tanda hubbud dunya sejak dini dan melakukan koreksi sebelum terlambat. Ini juga membangun kesadaran diri yang kuat, membuat kita lebih peka terhadap bisikan nafsu dan godaan setan. Dengan muhasabah, kita dapat merencanakan perbaikan diri secara kontinu, menyesuaikan arah hidup kita agar selalu selaras dengan ridha Allah.
9.3. Bergaul dengan Orang-orang Saleh
Lingkungan dan teman pergaulan memiliki pengaruh besar terhadap pandangan hidup seseorang. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki orientasi akhirat, yang peduli terhadap ibadah, ilmu, dan amal saleh, akan memberikan dampak positif. Mereka akan saling menasihati, mengingatkan, dan menyemangati dalam kebaikan.
Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang yang terlalu mencintai dunia dan melalaikan akhirat dapat menyeret kita ke dalam gaya hidup serupa. Nabi ﷺ bersabda:
"Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaknya salah seorang di antara kalian memperhatikan siapa yang ia jadikan teman." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Memilih lingkungan yang mendukung pertumbuhan spiritual adalah investasi besar untuk menjaga hati tetap terhubung dengan akhirat.
9.4. Memperbanyak Zikir dan Doa
Zikir (mengingat Allah) dan doa adalah penawar ampuh untuk hati yang cenderung mencintai dunia. Dengan zikir, hati akan merasa tenang dan damai, terlindungi dari kegelisahan dan kecemasan duniawi. Doa adalah pengakuan akan kelemahan diri dan ketergantungan penuh kepada Allah, yang akan menjaga kesombongan dan keangkuhan. Nabi ﷺ banyak mengajarkan doa-doa untuk memohon perlindungan dari fitnah dunia dan agar hati tidak terpaut padanya.
"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita terbesar kami, dan jangan pula sebagai batas ilmu kami, dan janganlah Engkau jadikan neraka sebagai tujuan kami. Dan jadikanlah surga sebagai tempat kembali kami." (HR. Tirmidzi)
Dengan zikir dan doa, seorang Muslim akan senantiasa merasa dekat dengan Allah, dan kedekatan ini akan menjadi benteng yang kuat dari godaan dunia. Hati yang selalu berzikir akan lebih mudah mengenali tipu daya dunia dan menolak untuk terjerumus di dalamnya.
10. Kesimpulan: Meraih Kebahagiaan Sejati dengan Keseimbangan
Melalui hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ, kita telah memahami bahwa mengejar dunia secara berlebihan adalah suatu hal yang sangat berbahaya. Ia dapat melalaikan dari tujuan penciptaan manusia, merusak hati, menimbulkan keserakahan, kecemasan, dan pada akhirnya, membawa kepada kerugian abadi di akhirat.
Islam tidak melarang manusia untuk berinteraksi dengan dunia, bekerja, mencari rezeki, atau menikmati hal-hal yang baik dan halal. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk menjadi produktif, memberikan manfaat bagi sesama, dan mengelola bumi ini dengan baik. Namun, semua itu harus dilakukan dalam kerangka kesadaran akan akhirat sebagai tujuan utama.
Kunci kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan. Menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Dengan zuhud (sikap tidak terikat hati pada dunia) dan qana'ah (merasa cukup dengan pemberian Allah), seorang Muslim dapat menjalani hidup dengan tenang, penuh syukur, dan fokus pada persiapan untuk kehidupan abadi di akhirat. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk menempatkan dunia pada porsinya yang benar, dan menjadikan kita termasuk golongan hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat.
Dengan mengikuti teladan Rasulullah ﷺ dan para sahabat, serta mengamalkan prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, kita dapat membangun pribadi yang kuat iman, berhati lapang, dan berorientasi pada kebahagiaan yang hakiki, yaitu keridaan Allah SWT dan surga-Nya yang abadi.