Hadits-hadits Pilihan: Keseimbangan Mengejar Dunia dan Akhirat
Dalam ajaran Islam, kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju kehidupan abadi di akhirat. Konsep ini menjadi fondasi utama bagi setiap Muslim untuk menata prioritas dan merancang tujuan hidupnya. Namun, seringkali manusia terjebak dalam dilema antara memenuhi kebutuhan duniawi dan mempersiapkan diri untuk akhirat. Islam hadir dengan tuntunan yang jelas, memberikan panduan melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ tentang bagaimana menyeimbangkan kedua dimensi kehidupan ini secara harmonis.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ yang berkaitan dengan sikap seorang Muslim terhadap dunia dan akhirat. Kita akan menjelajahi makna hakiki dari dunia, pentingnya akhirat sebagai tujuan utama, serta bagaimana mencapai keseimbangan yang proporsional dalam mengejar keduanya. Pemahaman yang komprehensif terhadap hadits-hadits ini diharapkan dapat membimbing kita untuk menjalani hidup yang bermakna, produktif di dunia, dan berbuah pahala di akhirat.
1. Hakikat Dunia: Jembatan Menuju Keabadian
Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad ﷺ memberikan gambaran yang jelas mengenai hakikat dunia. Dunia digambarkan sebagai sesuatu yang fana, sementara, dan tidak memiliki nilai hakiki dibandingkan dengan akhirat. Pemahaman ini sangat penting agar seorang Muslim tidak terjebak dalam gemerlapnya dunia yang menipu.
1.1. Dunia adalah Penjara Bagi Mukmin
Salah satu hadits yang paling masyhur dalam menggambarkan hakikat dunia adalah:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
"Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."
(HR. Muslim no. 2956)
Hadits ini mengandung makna yang sangat dalam. Bagi seorang mukmin, dunia ini adalah tempat pembatasan dan ujian. Mereka harus menahan diri dari hawa nafsu, memenuhi perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan berjuang di jalan kebaikan. Berbagai aturan syariat, mulai dari shalat lima waktu, puasa, zakat, hingga haji, serta larangan terhadap dosa dan kemaksiatan, adalah bentuk-bentuk "penjara" yang membatasi kebebasan mutlak manusia di dunia. Pembatasan ini sejatinya adalah bentuk kasih sayang Allah agar hamba-Nya meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
Sebaliknya, bagi orang kafir, dunia adalah "surga" mereka. Mereka bebas mengejar segala kenikmatan tanpa batasan agama, tanpa peduli halal atau haram, tanpa memikirkan konsekuensi di akhirat. Mereka hidup untuk memuaskan hawa nafsu semata, dan karena mereka tidak beriman pada hari pembalasan, dunia ini menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan (semu) bagi mereka. Setelah kematian, bagi mereka tidak ada lagi kebahagiaan, melainkan siksa yang kekal. Oleh karena itu, hadits ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terlena dengan kesenangan dunia, sebab di baliknya ada janji kebahagiaan yang jauh lebih besar.
1.2. Dunia Adalah Ladang Ujian dan Cobaan
Allah menciptakan dunia beserta segala isinya sebagai arena untuk menguji keimanan dan ketakwaan manusia. Setiap nikmat dan musibah di dunia adalah cobaan yang mengukur sejauh mana kesabaran, syukur, dan ketaatan seorang hamba.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini, meskipun bukan hadits, menjelaskan esensi dunia sebagai tempat ujian. Hadits-hadits Nabi ﷺ kemudian merinci bagaimana seorang Muslim seharusnya menyikapi ujian ini. Setiap kesulitan dan kesenangan adalah kesempatan untuk meningkatkan derajat di sisi Allah. Jika seorang mukmin bersabar atas musibah dan bersyukur atas nikmat, maka semua itu akan menjadi kebaikan baginya.
Diriwayatkan dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik, dan itu tidak terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Apabila ia mendapatkan kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya."
(HR. Muslim no. 2999)
Hadits ini menggarisbawahi bahwa dunia, dengan segala dinamikanya, adalah ladang bagi mukmin untuk mengumpulkan pahala melalui kesabaran dan rasa syukur. Ini mendorong kita untuk tidak terlalu terpaku pada hasil duniawi, melainkan pada bagaimana kita bereaksi terhadap takdir Allah.
1.3. Perumpamaan Dunia yang Fana
Nabi ﷺ seringkali menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan betapa singkat dan tidak berharganya dunia dibandingkan akhirat yang kekal.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ melewati pasar, sedangkan beliau bersama para sahabat. Beliau melewati anak kambing yang telinganya terpotong lagi mati. Lalu beliau memegang telinganya seraya bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ لَهُ هَذَا بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنْ يَكُونَ لَنَا بِشَيْءٍ، وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنْ يَكُونَ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا لَكَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ! فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
"Siapa di antara kalian yang mau membeli ini dengan harga satu dirham?" Para sahabat menjawab, "Kami tidak suka memilikinya dengan harga berapa pun, dan apa yang bisa kami perbuat dengannya?" Beliau bersabda lagi, "Apakah kalian suka ini menjadi milik kalian?" Mereka menjawab, "Demi Allah, seandainya ia hidup pun, ia cacat karena telinganya terpotong. Apalagi ia sudah mati!" Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah nilainya di sisi Allah daripada bangkai kambing ini bagi kalian."
(HR. Muslim no. 2957)
Perumpamaan ini sangat kuat. Bangkai kambing yang cacat dan tidak memiliki nilai jual sedikit pun, bahkan dianggap menjijikkan oleh manusia, disamakan dengan dunia di mata Allah. Ini menegaskan bahwa segala kemewahan, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi yang dikejar mati-matian oleh manusia, sesungguhnya sangat remeh di hadapan keagungan Allah dan kemuliaan akhirat. Hadits ini semestinya menumbuhkan sikap zuhud (tidak terlalu terikat) pada dunia, namun bukan berarti meninggalkan dunia sama sekali.
1.4. Dunia Hanyalah Tempat Singgah
Nabi ﷺ juga menggambarkan dunia sebagai tempat persinggahan sementara, seperti seorang musafir yang beristirahat sejenak di bawah pohon.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
"Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya."
(HR. At-Tirmidzi no. 2377, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini mengajarkan filosofi hidup yang sangat bijak. Dunia ini hanyalah tempat mampir. Kita datang dengan tangan kosong dan akan pergi dengan tangan kosong pula, hanya membawa amal perbuatan. Seorang musafir tidak akan membangun rumah permanen di tempat peristirahatan sementaranya; ia hanya mengambil bekal secukupnya untuk melanjutkan perjalanan. Demikian pula, seorang mukmin seharusnya tidak terlalu terikat pada dunia, melainkan menjadikannya sebagai sarana untuk mengumpulkan bekal menuju kampung halaman abadi: akhirat.
Dari hadits-hadits di atas, jelaslah bahwa perspektif Islam terhadap dunia adalah sebuah pandangan yang realistis dan mendalam. Dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah ujian, cobaan, dan tempat persinggahan. Dengan memahami hakikat ini, seorang Muslim diharapkan dapat menjaga dirinya dari godaan dunia yang melalaikan dan senantiasa mempersiapkan diri untuk kehidupan yang abadi.
2. Pentingnya Akhirat: Tujuan Utama Kehidupan
Jika dunia adalah fana, maka akhirat adalah kekal. Islam mengajarkan bahwa kehidupan sejati dimulai setelah kematian, dan akhirat adalah puncak dari perjalanan spiritual manusia. Oleh karena itu, persiapan untuk akhirat harus menjadi prioritas utama seorang Muslim.
2.1. Akhirat Lebih Baik dan Lebih Kekal
Al-Qur'an dan Sunnah secara konsisten menekankan superioritas akhirat dibandingkan dunia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
"Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal."
(QS. Al-A'la: 17)
Ayat ini menjadi dasar pemahaman bahwa apa pun yang ada di dunia, sekaya atau semulia apa pun, tidak akan bisa menandingi kebaikan dan keabadian akhirat. Hadits-hadits Nabi ﷺ kemudian menjelaskan bagaimana kita seharusnya memprioritaskan akhirat.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
"Barangsiapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kemiskinan di depan matanya, dan dunia tidak datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang akhirat menjadi niatnya (tujuannya), Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk."
(HR. At-Tirmidzi no. 2465, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini adalah salah satu hadits fundamental dalam membahas keseimbangan dunia dan akhirat. Ia menjelaskan konsekuensi dari kedua pilihan:
- Mereka yang menjadikan dunia sebagai fokus utama: Hidupnya akan penuh kegelisahan dan kekacauan. Urusannya akan tercerai-berai karena fokusnya terbagi pada berbagai hal duniawi yang fana dan tidak pernah merasa puas. Perasaan miskin akan selalu menghantuinya meskipun ia memiliki harta yang banyak, karena nafsu dunia tidak pernah terpuaskan. Dan pada akhirnya, rezeki dunia yang ia dapatkan hanyalah sebatas apa yang memang telah Allah takdirkan baginya, tidak lebih. Usaha kerasnya untuk dunia tidak menjamin kebahagiaan hakiki.
- Mereka yang menjadikan akhirat sebagai niat/tujuan utama: Hidupnya akan lebih teratur dan tenang. Allah akan mengumpulkan dan memudahkan urusannya. Kekayaan hatinya akan membuatnya merasa cukup dan kaya, terbebas dari sifat tamak dan iri. Dan yang menarik, dunia justru akan datang kepadanya dengan sukarela, tanpa ia harus mengejarnya mati-matian. Ini karena ia fokus pada ketaatan, Allah akan memberinya kecukupan dari arah yang tidak disangka-sangka, sebagai balasan atas kesungguhannya dalam beribadah.
Pesan utama dari hadits ini adalah penentuan prioritas. Ketika akhirat menjadi tujuan, dunia akan menjadi sarana yang bermanfaat. Namun, ketika dunia menjadi tujuan, akhirat akan terabaikan, dan dunia itu sendiri justru akan menyengsarakan.
2.2. Bekal Terbaik adalah Ketakwaan
Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, seorang Muslim harus mempersiapkan bekal terbaik, yaitu takwa.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."
(QS. Al-Baqarah: 197)
Takwa mencakup menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Ini adalah inti dari persiapan akhirat. Setiap amal saleh, setiap kebaikan, setiap ketaatan yang dilakukan di dunia dengan niat ikhlas karena Allah, adalah investasi untuk akhirat. Bahkan perbuatan duniawi seperti bekerja mencari nafkah bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk memenuhi kewajiban keluarga, menghindari meminta-minta, atau agar dapat berinfak di jalan Allah.
2.3. Surga dan Neraka: Puncak Balasan Akhirat
Konsep surga dan neraka adalah motivasi utama bagi seorang Muslim untuk beramal saleh. Surga adalah ganjaran bagi orang-orang bertakwa, sedangkan neraka adalah balasan bagi para pendurhaka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ، وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
"Allah Ta'ala berfirman: Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh (di surga) apa yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terlintas di hati manusia."
(HR. Bukhari no. 3244 dan Muslim no. 2824)
Hadits Qudsi ini menggambarkan keindahan surga yang tak terlukiskan. Kenikmatan dunia, sekaya atau semewah apa pun, hanyalah secuil debu dibandingkan kemuliaan surga. Janji surga ini menjadi pendorong utama bagi orang-orang beriman untuk berkorban di dunia, menahan diri dari kemaksiatan, dan berjuang di jalan Allah. Sebaliknya, peringatan akan neraka menjadi pencegah bagi mereka untuk tidak melampaui batas-batas syariat.
Mengingat akhirat secara terus-menerus akan membantu seorang Muslim untuk tetap fokus pada tujuan jangka panjang. Ia tidak akan mudah tergoda oleh rayuan dunia yang fana dan akan senantiasa berusaha untuk mengumpulkan amal saleh sebagai bekal perjalanan pulang menuju Rabb-nya.
3. Keseimbangan Antara Dunia dan Akhirat: Konsep Wasathiyyah
Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia secara total (asketisme ekstrem), juga tidak mengajarkan untuk sepenuhnya larut dalam kenikmatan dunia (materialisme). Sebaliknya, Islam menganjurkan konsep wasathiyyah atau moderasi dan keseimbangan. Seorang Muslim dituntut untuk mengambil bagian dari dunia secukupnya, yang bermanfaat untuk akhiratnya.
3.1. Bekerja untuk Dunia Seolah Hidup Selamanya, Bekerja untuk Akhirat Seolah Mati Besok
Meskipun sering disalahpahami sebagai hadits Nabi secara langsung (marfu'), ungkapan ini sangat populer dan mencerminkan semangat ajaran Islam tentang keseimbangan:
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا
"Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok."
Ungkapan ini, yang banyak dinisbatkan kepada ulama salaf seperti Abdullah bin Amr bin Al-Ash atau Hasan Al-Bashri, mengandung nasihat yang sangat berharga.
- "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya": Ini mendorong kita untuk melakukan perencanaan jangka panjang, bekerja keras, berinovasi, dan membangun peradaban. Islam tidak menginginkan umatnya menjadi pasif atau miskin. Sebaliknya, umat Islam didorong untuk menjadi mandiri, produktif, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Mencari ilmu, mengembangkan teknologi, berbisnis yang halal, dan menjaga kesehatan adalah bagian dari "bekerja untuk dunia" yang jika diniatkan benar, bisa menjadi ibadah.
- "Dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok": Bagian ini adalah penyeimbang. Meskipun kita giat bekerja untuk dunia, kita tidak boleh melupakan akhirat. Kematian bisa datang kapan saja, tanpa peringatan. Oleh karena itu, persiapan untuk akhirat harus dilakukan segera dan dengan sungguh-sungguh, tanpa menunda-nunda. Shalat, puasa, sedekah, membaca Al-Qur'an, berdzikir, dan semua bentuk ibadah harus dilakukan seolah-olah ini adalah kesempatan terakhir kita.
Keseimbangan inilah yang diinginkan Islam. Produktif di dunia, tetapi hati tetap terpaut pada akhirat. Mencari rezeki halal, tetapi tidak melupakan kewajiban kepada Allah dan sesama. Mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi dengan dasar iman dan takwa.
3.2. Dunia Sebagai Sarana Menuju Akhirat
Dunia dan segala isinya dapat menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengumpulkan pahala akhirat, asalkan diniatkan dengan benar dan sesuai syariat.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya."
(HR. Muslim no. 1631)
Hadits ini menunjukkan bagaimana aset duniawi bisa diubah menjadi investasi akhirat.
- Sedekah jariyah: Membangun masjid, jembatan, sumur, atau menyumbangkan harta untuk kepentingan umum yang terus menerus memberikan manfaat. Harta yang dikeluarkan di dunia ini akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah seseorang meninggal.
- Ilmu yang bermanfaat: Menyebarkan ilmu syar'i atau ilmu umum yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Para guru, dosen, penulis, atau ilmuwan yang karyanya terus dimanfaatkan oleh generasi setelahnya, akan terus mendapatkan pahala.
- Anak saleh yang mendoakan: Mendidik anak menjadi pribadi yang bertakwa, berbakti kepada orang tua, dan mendoakan mereka setelah meninggal. Ini adalah investasi jangka panjang yang paling berharga.
Ini membuktikan bahwa dunia bukanlah untuk ditinggalkan, melainkan untuk dimaksimalkan penggunaannya dalam rangka meraih kebahagiaan abadi. Harta, ilmu, dan keluarga adalah anugerah Allah yang bisa menjadi bekal akhirat jika dikelola dengan bijak dan benar.
3.3. Mengutamakan Akhirat Bukan Berarti Mengabaikan Dunia
Islam tidak pernah mengajarkan hidup dalam kemiskinan atau mengabaikan tanggung jawab duniawi. Banyak sahabat Nabi ﷺ yang kaya raya namun sangat dermawan dan zuhud hatinya. Kekayaan mereka justru menjadi alat untuk beribadah dan berjuang di jalan Allah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya qana'ah (merasa cukup) dengan apa yang telah diberikan-Nya kepadanya."
(HR. Muslim no. 1054)
Hadits ini menunjukkan bahwa rezeki yang cukup (kafaf) dan hati yang qana'ah adalah kebahagiaan. Ini bukan berarti miskin, melainkan memiliki rezeki yang memenuhi kebutuhan pokok tanpa berlebihan, dan yang lebih penting, memiliki hati yang merasa cukup sehingga tidak tamak atau serakah. Seorang Muslim dituntut untuk bekerja dan mencari rezeki halal, namun ia tidak menjadikan harta sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk hidup mandiri, menunaikan zakat, bersedekah, dan beribadah.
Mencari dunia adalah bagian dari ibadah jika diniatkan untuk hal-hal berikut:
- Memenuhi kebutuhan diri dan keluarga agar tidak menjadi beban orang lain.
- Menghindari sifat meminta-minta yang dibenci Islam.
- Mampu berinfak, bersedekah, dan membantu sesama.
- Menguatkan dakwah Islam dan pembangunan umat.
- Menjaga kehormatan diri dan agama.
Dengan demikian, keseimbangan ini terletak pada niat, orientasi hati, dan cara memanfaatkan dunia. Hati harus selalu condong kepada akhirat, sementara tangan bekerja di dunia dengan gigih dan jujur.
4. Bahaya Terlena Dunia (Wahn)
Meskipun Islam menganjurkan keseimbangan, ada peringatan keras terhadap sikap yang terlalu mencintai dunia sehingga melupakan akhirat. Penyakit ini sering disebut dengan wahn.
4.1. Cinta Dunia dan Takut Mati
Diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ. فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
"Hampir saja umat-umat (kafir) mengeroyok kalian seperti orang-orang lapar mengeroyok hidangan makanan mereka." Seorang sahabat bertanya, "Apakah karena jumlah kami sedikit pada saat itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Bahkan, jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian seperti buih di atas air (tidak berdaya). Sungguh Allah akan mencabut rasa gentar dari dada musuh-musuh kalian terhadap kalian, dan sungguh Allah akan menanamkan dalam hati kalian al-Wahn." Seorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah al-Wahn itu?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati."
(HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini adalah peringatan serius bagi umat Islam. Ketika umat terlalu mencintai dunia dan takut mati, mereka akan kehilangan kekuatan, harga diri, dan keberanian. Mereka akan mudah ditindas oleh musuh-musuh Islam.
- Cinta dunia: Jika kecintaan pada dunia mengalahkan kecintaan pada Allah dan akhirat, maka manusia akan cenderung mengutamakan materi di atas nilai-nilai spiritual. Mereka akan enggan berkorban untuk agama, sibuk mengumpulkan harta, dan takut kehilangan kenyamanan duniawi.
- Takut mati: Ini adalah konsekuensi dari cinta dunia yang berlebihan. Orang yang terlalu mencintai dunia akan takut mati karena ia merasa akan kehilangan segala yang ia kumpulkan. Rasa takut ini membuatnya enggan berjihad, enggan berjuang, dan memilih hidup dalam kehinaan daripada menegakkan kebenaran.
Penyakit wahn ini akan melemahkan umat Islam dari dalam, meskipun jumlah mereka banyak. Ini menunjukkan bahwa kekuatan umat Islam tidak terletak pada kuantitas semata, melainkan pada kualitas iman dan ketakwaan, serta kesediaan untuk berkorban di jalan Allah.
4.2. Perburuan Harta yang Melalaikan
Sifat tamak dan rakus terhadap harta benda dunia adalah salah satu bentuk terlena dunia yang sangat berbahaya.
Diriwayatkan dari Ka'b bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepaskan di tengah kawanan kambing itu lebih merusak daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan kehormatan bagi agamanya."
(HR. At-Tirmidzi no. 2376, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Perumpamaan ini sangat tajam. Serigala lapar akan menghancurkan kambing dengan sangat cepat. Demikian pula, ketamakan terhadap harta dan ambisi terhadap kehormatan duniawi akan merusak agama seseorang jauh lebih parah. Orang yang tamak akan rela melakukan apa saja, bahkan melanggar syariat, demi mendapatkan harta. Ia akan korupsi, menipu, memakan riba, dan meninggalkan kewajiban agama. Demikian pula dengan ambisi kehormatan, ia akan sombong, riya', dan mencari pujian manusia daripada ridha Allah.
Hadits ini mengajarkan bahwa meskipun mencari rezeki halal itu wajib, tetapi sifat tamak dan rakus akan membinasakan. Harta yang dicari dengan cara yang salah atau dengan melupakan akhirat tidak akan membawa keberkahan, justru akan menjadi sumber malapetaka di dunia dan akhirat.
4.3. Dunia Menipu dan Menggelincirkan
Allah memperingatkan manusia agar tidak tertipu oleh kehidupan dunia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
"Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah."
(QS. Fatir: 5)
Kehidupan dunia memang menarik dan penuh godaan. Keindahan, kekayaan, kekuasaan, dan popularitas dapat dengan mudah membuat manusia lupa akan tujuan hakikinya. Setan senantiasa berusaha memperdaya manusia agar terlena dengan dunia dan melupakan akhirat. Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu waspada dan menjaga hatinya agar tidak tertipu oleh gemerlap dunia yang fana.
Bahaya terlena dunia sangatlah nyata. Ia dapat merusak iman, menghancurkan akhlak, dan menjauhkan seseorang dari jalan Allah. Penting bagi setiap Muslim untuk secara rutin mengevaluasi diri (muhasabah) dan memastikan bahwa kecintaannya pada dunia tidak melampaui batas dan tidak mengalahkan kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya, serta pada akhirat.
5. Implementasi Keseimbangan dalam Kehidupan Sehari-hari
Setelah memahami hakikat dunia dan pentingnya akhirat, serta bahaya terlena dunia, langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan konsep keseimbangan ini dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hanya teori, tetapi panduan praktis untuk menjalani hidup yang Islami.
5.1. Niat yang Benar dalam Setiap Aktivitas
Kunci dari mengubah aktivitas duniawi menjadi ibadah adalah niat. Setiap pekerjaan, interaksi sosial, bahkan makan dan tidur, dapat bernilai pahala jika diniatkan karena Allah.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya."
(HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Hadits ini adalah pondasi semua amal dalam Islam. Ketika seorang Muslim bekerja mencari rezeki, ia berniat untuk memenuhi kewajiban nafkah keluarga, menghindari meminta-minta, dan agar dapat bersedekah. Ketika ia belajar, ia berniat untuk menghilangkan kebodohan, menguatkan agama, dan bermanfaat bagi umat. Dengan niat yang benar, semua aktivitas duniawi ini akan terangkat nilainya menjadi ibadah yang mendatangkan pahala di akhirat.
5.2. Prioritas Ibadah Fardhu
Meskipun kita dianjurkan untuk giat bekerja di dunia, kewajiban ibadah fardhu tidak boleh diabaikan atau ditunda. Shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji (bagi yang mampu) adalah hak Allah yang harus dipenuhi tepat waktu dan dengan sebaik-baiknya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(QS. Al-Jumu'ah: 9)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan untuk meninggalkan transaksi duniawi (jual beli) ketika panggilan shalat Jumat berkumandang. Ini menunjukkan bahwa kewajiban kepada Allah harus didahulukan di atas urusan dunia. Demikian pula dengan shalat-shalat fardhu lainnya; seorang Muslim sejati akan menghentikan aktivitas pekerjaannya sejenak untuk menunaikan shalat, karena ia menyadari bahwa rezeki datang dari Allah dan shalat adalah bentuk syukur serta kunci keberkahan.
5.3. Sedekah dan Infak
Harta yang diperoleh dari usaha yang halal harus digunakan tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga untuk berinfak di jalan Allah. Ini adalah bentuk investasi akhirat yang akan terus mengalir pahalanya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَقُولُ الْعَبْدُ: مَالِي مَالِي، وَإِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ: مَا أَكَلَ فَأَفْنَى، أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى، أَوْ تَصَدَّقَ فَأَمْضَى، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
"Seorang hamba berkata: Hartaku, hartaku! Padahal yang ia miliki dari hartanya hanyalah tiga: apa yang ia makan lalu ia habiskan, atau apa yang ia pakai lalu ia usangkan, atau apa yang ia sedekahkan lalu ia simpan (untuk akhiratnya). Selain dari itu, ia akan pergi meninggalkannya dan ia akan mewariskannya kepada manusia."
(HR. Muslim no. 2959)
Hadits ini mengingatkan kita bahwa harta yang sesungguhnya kita miliki adalah harta yang telah kita manfaatkan untuk kebutuhan pokok, atau yang telah kita sedekahkan di jalan Allah. Harta yang disimpan menumpuk atau yang tidak digunakan untuk kebaikan, pada akhirnya akan ditinggalkan dan menjadi milik orang lain. Oleh karena itu, bersedekah adalah cara cerdas untuk mengubah harta dunia menjadi pahala abadi.
5.4. Zuhud Bukan Berarti Miskin
Zuhud adalah sikap hati yang tidak terikat pada dunia, bukan berarti tidak memiliki harta. Seorang yang zuhud bisa saja kaya, asalkan hatinya tidak diperbudak oleh kekayaannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa (hati)."
(HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Hadits ini menjelaskan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati (qana'ah). Orang yang hatinya kaya akan selalu merasa cukup, tidak tamak, dan tidak rakus, meskipun ia memiliki sedikit harta. Sebaliknya, orang yang hatinya miskin akan selalu merasa kurang, meskipun ia memiliki harta melimpah ruah. Zuhud adalah membebaskan hati dari keterikatan dunia, sehingga dunia menjadi di tangan, bukan di hati.
5.5. Menggunakan Waktu dengan Bijak
Waktu adalah modal utama dalam hidup, dan setiap detik yang berlalu tidak akan kembali. Oleh karena itu, seorang Muslim harus bijak dalam mengelola waktunya antara urusan dunia dan akhirat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
"Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang."
(HR. Bukhari no. 6412)
Waktu luang seringkali disia-siakan tanpa menghasilkan manfaat duniawi maupun ukhrawi. Padahal, waktu luang adalah kesempatan emas untuk beribadah, belajar ilmu, mencari rezeki halal, atau membantu sesama. Keseimbangan waktu antara bekerja, beribadah, berinteraksi sosial, dan beristirahat adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang produktif dan bermakna.
Mengimplementasikan keseimbangan ini membutuhkan kesadaran, disiplin, dan muhasabah (introspeksi) yang terus-menerus. Setiap hari adalah kesempatan untuk menata kembali niat, memperbaiki prioritas, dan memastikan bahwa langkah kaki kita di dunia ini selalu mengarah pada ridha Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat.
6. Kisah-Kisah Teladan dari Salafush Shalih
Untuk lebih memahami bagaimana konsep keseimbangan dunia dan akhirat ini diwujudkan, kita dapat merujuk pada teladan dari Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat serta ulama salafush shalih (generasi terbaik umat Islam).
6.1. Nabi Muhammad ﷺ: Teladan Keseimbangan Sempurna
Kehidupan Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh sempurna dari keseimbangan antara dunia dan akhirat. Beliau adalah pemimpin negara, panglima perang, kepala keluarga, sekaligus seorang hamba yang paling bertakwa dan ahli ibadah.
- Di Dunia: Beliau bekerja, berdagang, dan mengurus keluarganya. Beliau makan, minum, menikah, dan berinteraksi sosial layaknya manusia biasa. Beliau tidak pernah meninggalkan dunia, bahkan membangun peradaban yang agung. Beliau mengajarkan umatnya untuk mencari rezeki yang halal dan hidup mandiri.
- Untuk Akhirat: Meskipun sibuk dengan urusan dunia, beliau adalah orang yang paling lama berdiri dalam shalat malam hingga kaki beliau bengkak. Beliau paling banyak berpuasa, paling banyak bersedekah, dan paling sering berdzikir. Hati beliau senantiasa terpaut pada Allah, dan akhirat adalah tujuan utama beliau. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan ibadah sebegitu giat padahal dosa-dosa beliau telah diampuni, beliau menjawab, "Tidakkah sepantasnya aku menjadi hamba yang bersyukur?" (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah hidup beliau menunjukkan bahwa kesibukan duniawi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan ibadah, dan ibadah tidak berarti mengabaikan tanggung jawab duniawi.
6.2. Para Sahabat: Kaya Harta, Kaya Akhlak
Banyak sahabat Nabi ﷺ yang merupakan pedagang sukses dan memiliki harta yang melimpah, namun mereka sangat zuhud dan dermawan. Kekayaan mereka justru menjadi jembatan menuju akhirat.
- Abdurrahman bin Auf: Beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau adalah seorang pedagang yang sangat sukses, bahkan dikatakan bahwa jika ia mengangkat batu, ia akan menemukan emas atau perak di bawahnya. Namun, beliau sangat dermawan. Beliau menginfakkan sebagian besar hartanya di jalan Allah, memerdekakan budak, dan membantu fakir miskin. Hatinya tidak terikat pada harta, bahkan beliau pernah menolak posisi kepemimpinan karena takut akan pertanggungjawaban di akhirat.
- Utsman bin Affan: Beliau juga seorang saudagar kaya yang sangat dermawan. Beliau membiayai sebagian besar pasukan Muslim dalam Perang Tabuk, membeli sumur Raumah untuk kepentingan umat, dan banyak berinfak untuk berbagai keperluan dakwah. Meskipun kaya, beliau dikenal sangat sederhana dalam hidupnya.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq: Meskipun bukan pedagang besar seperti Abdurrahman atau Utsman, beliau rela menginfakkan seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah Islam, termasuk memerdekakan budak seperti Bilal bin Rabah. Kedermawanannya didasari oleh keimanannya yang kuat pada akhirat.
Kisah-kisah para sahabat ini mengajarkan bahwa kekayaan bukan penghalang menuju surga, asalkan dikelola dengan iman dan niat yang benar. Harta yang banyak justru bisa menjadi kendaraan super cepat menuju ridha Allah jika digunakan untuk kebaikan, sedekah, dan menegakkan agama.
6.3. Hasan Al-Bashri dan Nasehatnya
Ulama tabi'in yang terkenal, Hasan Al-Bashri, seringkali memberikan nasihat tentang bahaya dunia dan pentingnya akhirat. Meskipun begitu, beliau adalah seorang yang sangat aktif dalam berdakwah, mengajar, dan membimbing umat.
Hasan Al-Bashri berkata: "Wahai anak Adam, jika kamu melihat manusia dalam kondisi baik, maka ingatlah (peringatkanlah) mereka. Jika kamu melihat mereka dalam kondisi tidak baik, maka berdoalah kepada Allah (untuk mereka)."
Beliau juga sering menasihati tentang bagaimana dunia ini hanyalah tempat berlalu dan akhirat adalah tempat menetap. Nasihat-nasihat beliau memotivasi umat untuk giat beramal saleh tanpa harus meninggalkan dunia secara total. Mereka berinteraksi dengan dunia, namun hati mereka tetap bersih dari keterikatan berlebihan.
Dari teladan-teladan ini, jelaslah bahwa keseimbangan dunia dan akhirat bukanlah konsep yang mustahil. Ia adalah jalan hidup yang telah dipraktikkan oleh generasi terbaik umat ini. Kuncinya terletak pada hati yang senantiasa mengingat Allah, niat yang tulus dalam setiap perbuatan, dan penggunaan dunia sebagai jembatan menuju kebahagiaan abadi.
7. Penutup: Menjalin Keseimbangan dalam Hidup
Perjalanan hidup seorang Muslim di dunia adalah sebuah seni menyeimbangkan dua dimensi yang seringkali terasa bertolak belakang: tuntutan dunia yang fana dan panggilan akhirat yang kekal. Dari uraian panjang hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ di atas, tergambar jelas bahwa Islam tidak mengharuskan kita meninggalkan dunia sepenuhnya atau menenggelamkan diri di dalamnya. Sebaliknya, Islam menawarkan jalan tengah, sebuah konsep wasathiyyah, di mana dunia dijadikan sarana untuk meraih akhirat, dan akhirat senantiasa menjadi kompas penunjuk arah di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia.
Kita telah memahami bahwa dunia ini hanyalah penjara bagi mukmin, tempat ujian, dan persinggahan sementara yang nilainya sangat rendah di sisi Allah dibandingkan akhirat. Akhirat, dengan segala kenikmatan surganya dan ancaman nerakanya, adalah tujuan hakiki yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Hadits tentang "bekerja untuk duniamu seolah hidup selamanya dan bekerja untuk akhiratmu seolah mati besok" adalah filosofi yang mengajarkan produktivitas tanpa kelalaian, ambisi tanpa ketamakan, dan kehidupan yang penuh makna.
Bahaya terlena dunia, yang diistilahkan sebagai wahn (cinta dunia dan takut mati), adalah penyakit serius yang dapat melemahkan individu maupun umat. Ia mengikis semangat jihad, menumpulkan kepekaan spiritual, dan mengarahkan manusia pada kesengsaraan yang hakiki. Oleh karena itu, kesadaran akan hakikat dunia dan akhirat harus senantiasa dihidupkan dalam hati, agar kita tidak menjadi seperti serigala lapar yang merusak agamanya sendiri demi mengejar fatamorgana dunia.
Praktik keseimbangan ini dapat diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan kita. Niat yang tulus karena Allah adalah fondasi utama. Setiap aktivitas, mulai dari bekerja, belajar, berinteraksi sosial, hingga istirahat, dapat diubah menjadi ibadah jika diniatkan untuk meraih ridha Allah dan mempersiapkan bekal akhirat. Prioritas terhadap ibadah fardhu, kedermawanan dalam berinfak, sikap zuhud yang tidak terikat pada harta meskipun memilikinya, serta penggunaan waktu yang bijak adalah pilar-pilar penting dalam menjaga keseimbangan ini.
Kisah-kisah teladan dari Nabi Muhammad ﷺ, para sahabat, dan ulama salaf menunjukkan bahwa mencapai keseimbangan ini bukan hanya idealisme, tetapi sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang sukses di dunia dan mulia di akhirat, karena mereka memahami peran dunia sebagai ladang amal dan akhirat sebagai tujuan akhir.
Marilah kita senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menganugerahi kita hikmah untuk memahami hakikat dunia dan akhirat, serta kekuatan untuk menjalani hidup yang seimbang. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang produktif di dunia, namun hati dan langkahnya senantiasa tertuju pada kebahagiaan abadi di sisi-Nya. Jangan biarkan dunia menipu kita dengan gemerlapnya yang fana, dan jangan biarkan akhirat terabaikan karena kesibukan yang tiada akhir. Jadikanlah setiap hembusan napas sebagai ibadah, setiap langkah sebagai jejak kebaikan, dan setiap amal sebagai investasi untuk kehidupan yang kekal.
Semoga artikel ini memberikan pencerahan dan motivasi bagi kita semua untuk selalu menata prioritas dan menjalani hidup sesuai dengan tuntunan ilahi, meraih keberuntungan di dunia dan kebahagiaan sejati di akhirat.