Simbolisasi Cinta Universal Hz Rumi
Jalaluddin Muhammad Rumi, atau yang lebih dikenal sebagai Hz Rumi, adalah salah satu tokoh spiritual dan puitis paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam. Lahir di Balkh (sekarang di Afghanistan modern) pada abad ke-13, warisan pemikirannya telah melampaui batas geografis dan waktu, menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia dengan pesan-pesan cinta, kebijaksanaan, dan pencarian kebenaran ilahi. Rumi bukanlah sekadar penyair; ia adalah seorang mistikus, ahli hukum Islam (Faqih), dan guru spiritual yang ajarannya menjadi fondasi utama tarekat sufi Mevlevi.
Kehidupan awal Rumi dipenuhi dengan studi keagamaan dan hukum Islam. Ayahnya, Bahauddin Walad, seorang ulama terkemuka, memimpin keluarganya bermigrasi menjauhi invasi Mongol, hingga akhirnya menetap di Konya (kini di Turki). Di sana, Rumi meneruskan peran ayahnya sebagai guru agama yang disegani. Namun, titik balik dramatis dalam hidupnya terjadi ketika ia bertemu dengan Shams-i Tabrizi, seorang darwis pengembara yang misterius.
Pertemuan dengan Shams-i Tabrizi mengubah total fokus Rumi. Dari seorang cendekiawan yang terikat pada teks-teks, ia bertransformasi menjadi seorang pecinta ilahi yang mabuk ekstase. Shams mengajarkan Rumi tentang pentingnya pengalaman langsung (dzawq) dan cinta tanpa syarat sebagai jalan utama menuju Tuhan, bukan hanya melalui ritual semata. Hubungan spiritual yang intens ini menginspirasi karya-karya puitisnya yang paling mendalam, meskipun perpisahan menyakitkan dengan Shams kemudian mendorong Rumi untuk menuangkan kerinduannya ke dalam bait-bait puisi yang kini terkenal di dunia.
Kontribusi terbesar Hz Rumi bagi literatur dunia adalah karyanya yang monumental. Yang paling utama adalah Matsnawi Ma'nawi (Pasangan Spiritual), sebuah epik yang terdiri dari enam jilid, berisi sekitar 25.000 bait syair. Matsnawi berfungsi sebagai ensiklopedia spiritual Sufisme, memuat cerita-cerita alegoris, nasihat filosofis, dan tafsir mendalam mengenai Al-Qur'an. Tujuan utama Matsnawi adalah memandu pembaca melalui tahapan-tahapan spiritual menuju penyatuan dengan Sang Kekasih (Tuhan).
Karya agung lainnya adalah Diwan Syams-i Tabrizi (Kumpulan Puisi Syams dari Tabriz), sebuah koleksi ghazal (puisi cinta) yang ditulis dalam kondisi ekstase. Diwan ini lebih personal dan emosional, berfokus pada tema kerinduan yang membara, keindahan alam semesta sebagai cerminan keindahan Ilahi, dan pentingnya membuang ego (nafs) untuk mencapai kesatuan.
Mengapa ajaran Hz Rumi tetap relevan ribuan tahun kemudian? Jawabannya terletak pada universalitas pesannya. Rumi menekankan bahwa Tuhan tidak terbatas pada satu agama atau ritual tertentu. "Datanglah, datanglah, siapa pun kamu," adalah undangan abadi yang ia tawarkan. Baginya, cinta adalah bahasa universal yang menghubungkan semua makhluk dan merupakan inti dari seluruh keberadaan.
Dalam pandangan Rumi, dunia material hanyalah bayangan dari realitas abadi. Pencarian spiritual sejati melibatkan proses "menjadi kosong" dari keterikatan duniawi sehingga ruang batin dapat diisi oleh cahaya Ilahi. Ritual tarian Darwis (Sema), yang menjadi ciri khas ajaran Mevlevi, adalah visualisasi fisik dari upaya jiwa untuk memutar diri dalam orbit cinta, melepaskan diri dari gravitasi duniawi menuju pusat kosmik kebenaran.
Ajaran Hz Rumi mengajak kita untuk melihat melampaui perbedaan permukaan—ras, agama, status—dan mengakui percikan ilahi yang sama dalam diri setiap manusia. Filosofinya tentang penerimaan tanpa syarat, kerendahan hati, dan kekuatan transformatif dari cinta sejati menjadikannya salah satu guru kebijaksanaan terbesar yang pernah ada, seorang mercusuar bagi mereka yang mencari makna terdalam dalam kehidupan.