Di tengah arus modernisasi, warisan budaya tak benda dari tanah Sunda, khususnya dalam bentuk Jangjawokan Sunda, masih memegang peranan penting bagi sebagian masyarakat. Jangjawokan, secara harfiah berarti 'doa' atau 'mantera' yang diucapkan dengan bahasa leluhur, seringkali mengandung petuah, nasihat spiritual, dan permohonan agar hidup selalu dilimpahi berkah dan rezeki. Konsep penarik rezeki dalam konteks ini tidak hanya berarti kekayaan materi, tetapi juga keseimbangan hidup, ketenangan batin, dan kesuburan alam.
Jangjawokan adalah cerminan dari filosofi Sunda Wiwitan yang sangat menghargai harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta (Gusti Nu Maha Suci), alam semesta, dan sesama makhluk hidup. Ketika seseorang mengucapkan jangjawokan yang berkaitan dengan rizki (rezeki), ia sebenarnya sedang melakukan sinkronisasi niat, batin, dan tindakan agar selaras dengan hukum alam dan kehendak ilahi. Hal ini dipercaya membuka pintu kemudahan dalam mencari nafkah.
Keunikan jangjawokan terletak pada pemilihan katanya. Bahasa Sunda kuno yang digunakan memiliki resonansi vibrasi tertentu. Pengucapan yang benar, disertai dengan penghayatan penuh (rasa), dianggap mampu memengaruhi energi positif di sekitar pembaca. Salah satu aspek fundamental dalam menarik rezeki menurut tradisi ini adalah kejujuran dan kerja keras. Jangjawokan bukanlah jalan pintas instan, melainkan penguat spiritual bagi usaha yang telah dilakukan.
"Mugi Gusti nangtayungan, rezeki ngocor lir cai walungan. Tina usaha nu halal, hate nu bersih, tiasa kéboheun sawaréh, tiasa nyukcruk sawaréh."
(Semoga Tuhan melindungi, rezeki mengalir seperti air sungai. Dari usaha yang halal, hati yang bersih, bisa berlimpah sebagian, bisa mencukupi sebagian.)Jangjawokan penarik rezeki seringkali mengandung permohonan agar usaha dagang laris, panen melimpah, atau mendapatkan pekerjaan yang baik. Ini adalah doa yang dibungkus dalam untaian kata-kata yang indah dan penuh makna filosofis. Misalnya, doa sering memohon agar rezeki datang dari arah yang tak terduga namun tetap dalam koridor kebaikan.
Dalam budaya Sunda, rezeki paling murni berasal dari bumi—dari sawah, kebun, dan mata air. Oleh karena itu, banyak jangjawokan yang menyertakan metafora alam. Memohon agar tanah subur (rezeki pertanian) atau agar laut memberikan tangkapan (rezeki nelayan). Ini menekankan bahwa sumber kemakmuran sejati adalah alam yang dijaga dengan baik. Jika alam dirusak, maka jangjawokan sebagus apapun sulit mendatangkan hasil yang maksimal.
Sebagai contoh, sebelum menanam padi, para petani Sunda kerap mengucapkan doa khusus. Doa ini bukan hanya meminta hasil panen yang melimpah, tetapi juga berterima kasih atas anugerah yang ada. Sikap syukur (nuhun) ini dianggap sebagai magnet penarik keberkahan lebih lanjut. Tanpa rasa syukur, rezeki yang datang dianggap cepat hilang.
Meskipun tantangan hidup kini didominasi oleh teknologi digital, semangat jangjawokan tetap relevan. Bagi pebisnis modern di Jawa Barat, jangjawokan bisa diinterpretasikan sebagai afirmasi positif yang diucapkan sebelum memulai rapat penting, meluncurkan produk baru, atau menghadapi negosiasi sulit. Intinya adalah membangun mentalitas kemakmuran yang didasari oleh integritas.
Menguasai jangjawokan bukan berarti meninggalkan logika bisnis. Sebaliknya, ini adalah upaya mengintegrasikan kekuatan spiritual dengan strategi praktis. Ini adalah cara masyarakat Sunda menjaga akar budaya mereka sambil tetap berusaha keras dalam mengejar kesejahteraan materi. Jangjawokan adalah pengingat bahwa kekayaan sejati adalah keseimbangan antara usaha lahiriah (kerja keras) dan usaha batiniah (doa dan niat suci). Dengan demikian, warisan lisan ini terus hidup sebagai pilar spiritual dalam pencarian rezeki yang berkah dan langgeng.