Dalam kehidupan sehari-hari, kata rezeki Allah seringkali diucapkan sebagai ungkapan rasa syukur atau harapan. Namun, lebih dari sekadar kata-kata, memahami konsep rezeki dari perspektif ilahi adalah kunci untuk mencapai ketenangan batin dan menjalani hidup yang lebih bermakna. Rezeki bukanlah semata-mata akumulasi harta benda; ia adalah segala sesuatu yang mendatangkan manfaat dan kebermanfaatan bagi kehidupan kita, baik secara materi maupun spiritual, yang semuanya bersumber dan diatur oleh Sang Pencipta.
Ilustrasi: Sumber rezeki yang tak terduga.
Melampaui Batasan Materi
Seringkali, ketika kita membicarakan rezeki, pikiran kita langsung tertuju pada uang, jabatan, atau aset fisik lainnya. Memang, hal-hal materiil adalah bagian dari rezeki Allah. Namun, jika hanya sebatas itu, definisi rezeki menjadi sangat sempit. Kesehatan yang prima, keluarga yang harmonis, teman yang suportif, bahkan udara bersih yang kita hirup—semua ini adalah bentuk rezeki yang nilainya seringkali baru terasa ketika kita kehilangannya. Rezeki Allah mencakup karunia kesehatan, ketenangan jiwa, ilmu yang bermanfaat, hingga kesempatan untuk beribadah.
Memahami cakupan rezeki yang luas ini mengubah cara pandang kita. Kita tidak lagi hanya fokus pada "mendapatkan" dalam bentuk uang, melainkan mulai bersyukur atas "memiliki" dalam berbagai bentuk anugerah yang sudah tercurah. Ini adalah pergeseran paradigma dari materialisme menuju kesadaran spiritual.
Ketentuan dan Usaha Manusia
Dalam Islam, terdapat keseimbangan antara keyakinan penuh terhadap Qada dan Qadar Allah (ketentuan-Nya) dan kewajiban manusia untuk berusaha (ikhtiar). Rezeki itu sudah ditetapkan, namun jalan untuk mencapainya membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh. Seseorang yang menganggur dan hanya berdoa tanpa mencari pekerjaan, meskipun meyakini rezeki dari Allah, cenderung akan mengalami kesulitan. Allah memerintahkan kita untuk menjadi sebab datangnya rezeki tersebut. Ikhtiar adalah bentuk penghormatan kita terhadap karunia akal dan fisik yang telah diberikan.
Usaha yang dilakukan haruslah berada di jalur yang diridai-Nya. Rezeki yang didapatkan melalui cara-cara yang haram, meskipun terlihat melimpah, sejatinya bukanlah rezeki yang berkah dan membawa kebahagiaan sejati. Keberkahan inilah yang membedakan rezeki halal yang sedikit dengan rezeki haram yang banyak. Rezeki yang berkah akan menuntun pelakunya pada ketaatan dan ketenangan, bukan keserakahan dan kegelisahan.
Kunci Membuka Pintu Rezeki
Selain ikhtiar, terdapat beberapa kunci utama yang senantiasa ditekankan dalam ajaran agama untuk membuka pintu rezeki yang lebih luas. Taqwa (ketakwaan) adalah fondasi utamanya. Allah berfirman bahwa siapa pun yang bertakwa kepada-Nya, niscaya akan Dia jadikan jalan keluar dari kesulitannya dan Dia beri rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ketakwaan ini terwujud dalam ketaatan pada perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Kunci kedua adalah sedekah (infaq). Konsep sedekah adalah investasi akhirat yang juga berdampak langsung pada duniawi. Ketika seseorang mengeluarkan hartanya di jalan Allah, ia sedang menanamkan benih yang akan dipanen dalam bentuk keberkahan dan pertambahan rezeki. Sedekah mengajarkan keikhlasan dan membersihkan hati dari sifat kikir, yang seringkali menjadi penghalang datangnya kelimpahan.
Kunci ketiga adalah memohon ampun (Istighfar) dan memperkuat silaturahmi. Dosa dan maksiat dapat menghalangi rezeki, sementara istighfar membersihkan penghalang tersebut. Sementara itu, menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama keluarga dan kerabat, diyakini menjadi sebab panjangnya umur dan meluasnya rezeki.
Bersyukur Sebagai Pengunci Rezeki
Setelah rezeki datang, tantangan berikutnya adalah menjaganya agar tidak hilang, yaitu dengan rasa syukur. Syukur adalah pengakuan tulus bahwa semua nikmat berasal dari Allah semata. Rasa syukur tidak hanya diungkapkan dengan lisan ("Alhamdulillah"), tetapi juga dibuktikan dengan perbuatan—yaitu menggunakan rezeki tersebut untuk kebaikan dan ketaatan. Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya: "Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Mengimani bahwa rezeki Allah itu luas, pasti, dan selalu menyertai dengan usaha yang benar serta diiringi ketakwaan dan syukur, akan membebaskan hati dari rasa cemas berlebihan (ghibta). Kita bekerja bukan karena takut lapar besok, melainkan sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab, sambil tetap yakin bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Pemberi rezeki.