Memahami Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim

Dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat berbagai disiplin ilmu yang saling terkait, salah satunya adalah ilmu yang berhubungan dengan tata bahasa Arab. Salah satu karya klasik yang sangat penting dalam konteks ini adalah sebuah risalah yang dikenal dengan nama Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim. Judul ini sendiri, jika diterjemahkan secara harfiah, berarti "Pengingat bagi yang Mendengar dan yang Berbicara," yang mengindikasikan fokusnya pada komunikasi efektif dan etika berbahasa.

Meskipun sering dikaitkan erat dengan studi tata bahasa (Nahwu dan Sharaf), Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim sejatinya melampaui sekadar aturan gramatikal. Karya ini lebih menekankan pada aspek adab (etika) dalam menggunakan lisan dan pendengaran, baik dalam konteks keilmuan maupun pergaulan sehari-hari. Di era modern, di mana informasi menyebar begitu cepat melalui berbagai media, prinsip-prinsip yang terkandung dalam kitab ini menjadi relevan untuk mengingatkan kita akan pentingnya berbicara yang benar dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Pendengaran & Ucapan

Ilustrasi keseimbangan antara mendengarkan dan berbicara.

Fokus Utama: Etika Berbicara (Al-Mutakallim)

Bagi seorang Mutakallim (pembicara), Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim memberikan rambu-rambu penting. Ini bukan hanya tentang kebenaran gramatikal sebuah kalimat, tetapi juga tentang waktu (waqt), tempat (makan), dan sasaran audiens (muqathab). Seorang yang berilmu dituntut untuk berbicara sesuai kadar pemahaman lawan bicaranya. Berbicara dengan bahasa yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi pendengar seringkali dianggap sebagai bentuk ketidaksempurnaan dalam adab berkomunikasi.

Risalah ini mengajarkan bahwa kata-kata yang diucapkan haruslah mengandung manfaat. Menjauhi laghw (perkataan sia-sia) adalah prinsip dasar. Dalam konteks diskusi keilmuan, pembicara harus mengedepankan objektivitas, menghindari kesombongan intelektual, dan siap menerima koreksi. Penggunaan bahasa yang santun dan terukur menjadi kunci agar pesan tersampaikan dengan baik tanpa menimbulkan perpecahan atau kesalahpahaman.

Peran Pendengar (As-Saami)

Di sisi lain, As-Saami (pendengar) memegang peranan yang tidak kalah krusial. Ilmu ini menekankan bahwa mendengarkan adalah pintu gerbang menuju pengetahuan. Tanpa kemampuan mendengar yang baik, mustahil seseorang dapat menyerap ilmu secara utuh. Etika mendengarkan mencakup fokus total saat orang lain berbicara, menahan diri dari memotong pembicaraan, dan berusaha memahami maksud pembicara sebelum menyusun sanggahan atau tanggapan.

Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim sering menyoroti bahaya mendengarkan secara pasif atau hanya menunggu giliran untuk berbicara. Pendengar yang baik haruslah pendengar yang aktif—ia mencerna informasi, menganalisisnya, dan hanya merespons setelah pemahaman yang memadai tercapai. Sikap ini mencerminkan penghormatan terhadap pembicara dan urgensi terhadap ilmu yang sedang disampaikan.

Relevansi Kontemporer

Mengapa sebuah karya klasik tentang etika komunikasi ini masih relevan di zaman digital? Jawabannya terletak pada sifat dasar manusia yang tidak berubah. Meskipun medium komunikasi telah berubah dari majelis ilmu tatap muka menjadi ruang virtual, kebutuhan akan komunikasi yang beretika, jelas, dan bermanfaat tetap sama. Fenomena seperti hoax, ujaran kebencian, dan perdebatan yang tidak produktif seringkali berakar dari kegagalan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar yang diajarkan dalam kitab seperti Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim.

Dengan mempelajari dan menginternalisasi ajaran di dalamnya, seorang muslim atau siapa pun yang mencari kebaikan dalam komunikasi dapat menjadi pribadi yang lebih bijaksana dalam berbicara dan lebih mendalam dalam menyerap pengetahuan. Ini adalah panduan abadi tentang bagaimana lisan dapat menjadi penuntun menuju kebaikan atau sebaliknya, menjadi sumber fitnah jika tidak dikelola dengan baik. Tadzkiratus Saami Wal Mutakallim adalah pengingat konstan untuk menggunakan anugerah berbahasa secara bertanggung jawab.

🏠 Homepage