Akidah dalam Islam merupakan fondasi utama dan paling fundamental bagi setiap Muslim. Kata "akidah" berasal dari bahasa Arab `عقيدة` (`aqidah`), yang secara etimologi berarti ikatan, simpul, perjanjian, atau keyakinan yang mengikat kuat. Dalam konteks syariat Islam, akidah merujuk pada keyakinan-keyakinan dasar yang menjadi pegangan hidup seorang Muslim, yang bersifat pasti dan tidak boleh diragukan sedikit pun. Ia adalah sistem kepercayaan yang membentuk pandangan dunia (worldview) seorang Muslim terhadap Allah, alam semesta, manusia, kehidupan, dan hari akhirat.
Pentingnya akidah tidak dapat dilebih-lebihkan. Ia adalah inti dari ajaran Islam, yang darinya semua aspek kehidupan, baik ibadah (`syariah`) maupun akhlak (`moralitas`), mengalir. Akidah yang benar adalah prasyarat mutlak untuk diterimanya amal perbuatan seseorang di sisi Allah. Tanpa akidah yang lurus, amal saleh apapun akan menjadi tidak berarti di akhirat, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Kahf (18):105: "Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan pertemuan dengan-Nya, maka sia-sialah amal-amal mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan untuk (menghitung) amal mereka pada hari Kiamat." Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa akidah yang menyimpang akan membatalkan seluruh amal.
Oleh karena itu, mempelajari, memahami, dan mengamalkan akidah yang benar adalah kewajiban setiap Muslim. Ia adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama karena membahas tentang Allah SWT, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hak-hak-Nya, serta hal-hal ghaib yang menjadi dasar keimanan. Akidah yang sahih akan membimbing individu menuju ketenangan jiwa, tujuan hidup yang jelas, dan jalan yang lurus.
Rukun Iman: Pilar Utama Akidah dalam Islam
Akidah dalam Islam dirangkum dalam enam pilar keimanan yang dikenal sebagai Rukun Iman. Keenam rukun ini termaktub dalam hadis Jibril yang masyhur, yang menjelaskan dasar-dasar agama Islam. Seorang Muslim tidak dikatakan sempurna imannya jika mengingkari salah satu dari rukun ini. Masing-masing rukun memiliki kedalaman makna dan implikasi yang besar bagi kehidupan seorang mukmin.
1. Iman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah adalah rukun iman yang paling dasar dan terpenting. Ini adalah inti dari seluruh akidah dalam Islam, yang menegaskan keesaan Allah sebagai satu-satunya Rabb yang berhak disembah dan diyakini. Keimanan ini mencakup tiga aspek utama yang tidak terpisahkan, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.
a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, Pemelihara, Pemberi Rezeki, dan Pengatur segala urusan alam semesta. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, yang mendatangkan manfaat dan mudarat. Ini berarti tidak ada satupun makhluk yang dapat melakukan hal-hal tersebut secara independen dari kehendak Allah. Alam semesta beserta seluruh isinya tunduk pada hukum-hukum-Nya.
Pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah ini bersifat fitrah, bahkan kebanyakan kaum musyrikin di masa Nabi Muhammad SAW pun mengakui bahwa Allah adalah Pencipta. Allah berfirman dalam Surah Az-Zukhruf (43):9: "Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?', niscaya mereka akan menjawab: 'Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui'." Namun, pengakuan ini saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang Muslim sejati jika tidak diikuti dengan Tauhid Uluhiyah dan Asma wa Sifat.
Implikasi dari Tauhid Rububiyah adalah seorang mukmin akan merasa kecil di hadapan kebesaran Allah, selalu bersyukur atas nikmat-Nya, dan menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Ini juga menumbuhkan rasa tawakkal (berserah diri) setelah melakukan ikhtiar, karena yakin bahwa hasil akhir ada di tangan Allah.
b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan dan pengamalan bahwa hanya Allah SWT saja satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi. Ini adalah inti dari kalimat syahadat "La ilaha illallah" (Tidak ada ilah/sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Segala bentuk ibadah, baik lahir maupun batin, seperti salat, puasa, zakat, haji, doa, tawakkal, nazar, kurban, istighatsah, istianah, dan mahabbah (cinta) harus ditujukan hanya kepada Allah SWT. Mengarahkan salah satu bentuk ibadah ini kepada selain Allah, meskipun kepada malaikat atau nabi, adalah perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Perjuangan para nabi dan rasul dari Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad SAW, intinya adalah menyeru kaumnya kepada Tauhid Uluhiyah ini. Mereka memerangi segala bentuk penyembahan kepada berhala, patung, pohon, batu, kuburan, orang saleh yang telah meninggal, atau apapun selain Allah. Allah berfirman dalam Surah An-Nahl (16):36: "Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut'." Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan ia harus dijauhi secara total.
Memahami dan mengamalkan Tauhid Uluhiyah akan membersihkan hati dari ketergantungan kepada makhluk, menumbuhkan rasa takut hanya kepada Allah, dan menjadikan ibadah lebih ikhlas dan bermakna. Ini adalah fondasi dari kebebasan sejati, membebaskan manusia dari perbudakan kepada sesama makhluk.
c. Tauhid Asma wa Sifat
Tauhid Asma wa Sifat adalah keyakinan bahwa Allah SWT memiliki nama-nama yang indah (`Asmaul Husna`) dan sifat-sifat yang sempurna, yang Dia sebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya. Keyakinan ini menuntut kita untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut bagi Allah tanpa:
- Ta'thil: Mengingkari atau meniadakan nama dan sifat Allah.
- Takhyil: Menggambarkan atau membayangkan bagaimana wujud sifat tersebut (misalnya, bagaimana bentuk tangan Allah).
- Tahrif: Mengubah makna dari nama atau sifat Allah.
- Tasybih: Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.
Contoh nama dan sifat Allah: Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Malik (Maha Merajai), Al-Quddus (Maha Suci), As-Sami' (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-'Alim (Maha Mengetahui), Al-Hayy (Maha Hidup), Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri). Memahami Asma wa Sifat ini akan menumbuhkan kekaguman, kecintaan, dan ketakutan yang mendalam kepada Allah, serta mendorong seseorang untuk meneladani sifat-sifat-Nya dalam batas kemampuan manusia (misalnya, bersifat pengasih, penyayang, pemaaf).
Memurnikan ketiga aspek tauhid ini adalah esensi dari akidah dalam Islam yang sahih. Penyimpangan dalam salah satu aspek ini dapat menjatuhkan seseorang ke dalam kesyirikan atau bid'ah yang membahayakan iman.
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
Iman kepada malaikat adalah rukun iman kedua dalam Islam. Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan Allah dari cahaya, tidak memiliki nafsu, selalu taat kepada perintah Allah, dan tidak pernah mendurhakai-Nya. Keberadaan mereka adalah hal yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, meskipun kita tidak dapat melihat mereka dengan mata telanjang. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2):285: "Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya..."
Iman kepada malaikat berarti meyakini:
- Keberadaan mereka: Mereka ada secara fisik, meskipun ghaib bagi kita.
- Nama-nama mereka yang diketahui: Seperti Jibril (penyampai wahyu), Mikail (pengatur hujan dan rezeki), Israfil (peniup sangkakala), Izrail (malaikat maut), Munkar dan Nakir (penanya di kubur), Raqib dan Atid (pencatat amal).
- Sifat-sifat mereka: Mereka tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak berjenis kelamin, memiliki sayap, dan dapat menjelma menjadi bentuk lain atas izin Allah.
- Tugas-tugas mereka: Setiap malaikat memiliki tugas khusus dari Allah, seperti menyampaikan wahyu, mencatat amal manusia, mengatur awan dan hujan, menjaga surga dan neraka, mencabut nyawa, dan lain sebagainya.
Pentingnya iman kepada malaikat adalah untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang alam ghaib, meningkatkan ketaatan, karena menyadari bahwa setiap perbuatan kita selalu diawasi dan dicatat. Ini juga menumbuhkan rasa syukur kepada Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk mulia ini untuk mengatur sebagian urusan dunia dan akhirat atas perintah-Nya.
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
Rukun iman ketiga adalah iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa (4):136: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya."
Kitab-kitab suci ini adalah kalamullah (firman Allah) yang berisi petunjuk, hukum, dan kabar gembira serta peringatan. Kitab-kitab utama yang wajib kita imani keberadaannya antara lain:
- Taurat: Diturunkan kepada Nabi Musa AS untuk Bani Israil.
- Zabur: Diturunkan kepada Nabi Daud AS.
- Injil: Diturunkan kepada Nabi Isa AS.
- Al-Qur'an: Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kitab penyempurna dan terakhir, untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Kita juga meyakini adanya suhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada para nabi sebelum Musa, seperti suhuf Ibrahim dan Musa.
Iman kepada kitab-kitab ini mencakup:
- Meyakini keberadaannya: Bahwa Allah memang menurunkan kitab-kitab tersebut.
- Meyakini isinya (secara umum): Bahwa semua kitab Allah berisi ajaran tauhid dan kebenaran, meskipun perincian syariatnya berbeda.
- Meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab terakhir dan penyempurna: Al-Qur'an membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menghapuskan hukum-hukum yang ada di dalamnya.
- Mengamalkan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang terjaga keasliannya hingga hari kiamat, tidak seperti kitab-kitab sebelumnya yang telah mengalami perubahan atau penyelewengan oleh tangan manusia. Oleh karena itu, kita wajib membaca, memahami, dan mengamalkan seluruh ajaran Al-Qur'an.
Pentingnya iman kepada kitab-kitab ini adalah untuk menyadari bahwa Allah tidak pernah membiarkan manusia tanpa petunjuk. Kitab-kitab ini adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan, membedakan antara yang hak dan yang batil, serta membawa manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Iman kepada Rasul-rasul Allah
Rukun iman keempat adalah iman kepada rasul-rasul Allah yang diutus untuk membimbing manusia menuju jalan kebenaran. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2):285: "Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya."
Seorang rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberikan wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya. Allah telah mengutus banyak rasul sepanjang sejarah, dan kita wajib mengimani semuanya, baik yang namanya disebutkan dalam Al-Qur'an (seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad) maupun yang tidak disebutkan. Kita tidak membeda-bedakan antara mereka dan tidak mengingkari risalah salah satu dari mereka.
Iman kepada rasul mencakup:
- Meyakini bahwa mereka benar-benar utusan Allah: Mereka adalah manusia pilihan yang bersih dari sifat-sifat tercela dan dosa besar, meskipun mereka adalah manusia biasa yang bisa salah dalam hal-hal duniawi atau mendapatkan teguran dari Allah.
- Meyakini bahwa mereka telah menyampaikan risalah sepenuhnya: Mereka tidak menyembunyikan atau mengubah sedikit pun wahyu yang Allah turunkan kepada mereka.
- Meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul: Tidak ada nabi atau rasul setelah beliau. Syariat beliau adalah syariat terakhir dan berlaku untuk seluruh alam semesta.
- Mentaati dan mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW: Sebagai umat Nabi Muhammad, kita wajib mencintai beliau, memuliakan beliau, dan mengikuti petunjuk serta sunah-sunah beliau dalam segala aspek kehidupan.
Para rasul adalah teladan terbaik bagi umat manusia. Kisah-kisah mereka memberikan pelajaran berharga tentang kesabaran, keteguhan, dan perjuangan dalam menegakkan kebenaran. Iman kepada rasul menguatkan keyakinan bahwa Allah selalu peduli kepada hamba-hamba-Nya dengan mengutus para pembawa kabar gembira dan peringatan.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab:21)
5. Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir adalah rukun iman kelima yang wajib diyakini setiap Muslim. Hari akhir adalah hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan, dan hari pembalasan amal perbuatan manusia di dunia. Keyakinan ini sangat penting karena ia membentuk pandangan hidup, mendorong seseorang untuk beramal saleh, dan menjauhi maksiat, karena menyadari bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
Iman kepada hari akhir mencakup meyakini:
- Terjadinya Kiamat: Hari di mana alam semesta dihancurkan, seluruh makhluk mati, dan kemudian dibangkitkan kembali.
- Tanda-tanda Kiamat: Ada tanda-tanda kecil (seperti merebaknya kebodohan agama, banyak terjadi pembunuhan, minuman keras merajalela) dan tanda-tanda besar (seperti munculnya Dajjal, turunnya Nabi Isa, keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, terbitnya matahari dari barat).
- Kehidupan di Alam Barzakh: Alam kubur, di mana manusia akan merasakan nikmat kubur atau azab kubur sesuai amal perbuatannya, sembari menunggu hari kebangkitan.
- Hari Kebangkitan (Yaumul Ba'ats): Hari di mana semua manusia dari awal hingga akhir zaman dibangkitkan dari kubur mereka untuk dihisab.
- Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) dan Penimbangan Amal (Mizan): Setiap perbuatan manusia akan dihitung dan ditimbang dengan seadil-adilnya.
- Jembatan Shirath: Jembatan yang dibentangkan di atas neraka menuju surga, yang harus dilewati setiap manusia. Kecepatan dan keberhasilan melewati shirath tergantung pada amal seseorang.
- Surga dan Neraka: Surga adalah tempat balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, penuh dengan kenikmatan abadi. Neraka adalah tempat balasan bagi orang-orang kafir dan pendosa, penuh dengan siksa yang pedih. Keduanya adalah kekal.
Keyakinan akan hari akhir memberikan motivasi luar biasa untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Ia menjadikan hidup lebih bermakna karena ada tujuan akhir yang jelas. Seseorang yang meyakini hari akhir akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan dan perkataannya, karena tahu bahwa semua akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
6. Iman kepada Qada dan Qadar (Takdir)
Rukun iman keenam adalah iman kepada qada dan qadar, yaitu takdir baik dan buruk yang ditetapkan Allah. Ini adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik kebaikan maupun keburukan, telah diketahui, dicatat, dikehendaki, dan diciptakan oleh Allah SWT. Allah berfirman dalam Surah Al-Qamar (54):49: "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."
Iman kepada qada dan qadar meliputi empat tingkatan:
- Ilmu (Pengetahuan): Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sebelum hal itu terjadi, dan setelah terjadi. Pengetahuan Allah adalah sempurna dan tidak terbatas.
- Kitabah (Pencatatan): Allah telah mencatat segala sesuatu yang akan terjadi di Lauhul Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara) sebelum menciptakan langit dan bumi.
- Masyi'ah (Kehendak): Tidak ada satu pun kejadian di alam semesta ini yang terjadi tanpa kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.
- Khalq (Penciptaan): Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba-Nya. Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dalam artian Allah menciptakan potensi dan kapasitas manusia untuk berkehendak dan bertindak, dan Allah juga menciptakan perbuatan itu sendiri ketika manusia melakukannya dengan kehendaknya.
Penting untuk dipahami bahwa iman kepada takdir tidak berarti meniadakan ikhtiar (usaha) manusia. Manusia diberikan akal, kehendak, dan kemampuan untuk memilih. Kita diperintahkan untuk berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin, dan hasil akhirnya kita serahkan kepada Allah. Menggantungkan diri sepenuhnya pada takdir tanpa usaha adalah kesalahpahaman yang keliru. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang diciptakan untuknya." Ini menunjukkan pentingnya usaha.
Manfaat iman kepada takdir adalah:
- Ketenangan jiwa: Tidak berlebihan dalam bersukacita atas keberhasilan dan tidak putus asa atas kegagalan, karena menyadari semua datang dari Allah.
- Kesabaran: Mampu bersabar menghadapi musibah dan kesulitan, karena yakin itu adalah ketetapan Allah yang memiliki hikmah.
- Motivasi untuk beramal: Tidak menjadikan takdir sebagai alasan untuk bermalas-malasan, tetapi sebaliknya, termotivasi untuk melakukan yang terbaik karena itu adalah bagian dari perintah Allah.
Sumber Akidah dalam Islam
Akidah dalam Islam bukanlah hasil pemikiran filosofis atau spekulasi manusia, melainkan bersumber dari wahyu Ilahi yang murni. Sumber utama dan satu-satunya yang sahih untuk akidah adalah:
a. Al-Qur'an Al-Karim
Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Setiap ayat dalam Al-Qur'an adalah kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2):2: "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." Al-Qur'an menjelaskan tentang keesaan Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tentang malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, qada dan qadar, serta berbagai prinsip fundamental lainnya. Setiap Muslim wajib merujuk kepada Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam memahami akidah.
b. As-Sunnah An-Nabawiyah
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'l), maupun persetujuan (taqrir) beliau. Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an. Banyak rincian akidah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sunnahnya. Allah berfirman dalam Surah An-Nahl (16):44: "...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka memikirkan."
Pentingnya sunnah dalam akidah adalah karena ia merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur'an, dan Nabi SAW adalah penjelas Al-Qur'an yang paling otoritatif. Mentaati sunnah berarti mentaati Allah, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa (4):80: "Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah." Oleh karena itu, penolakan terhadap sunnah adalah penolakan terhadap bagian penting dari akidah Islam.
c. Ijma' Salafus Shalih
Ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kalangan sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in (generasi awal Islam) dalam suatu hukum syar'i. Kesepakatan mereka dalam masalah akidah memiliki kedudukan yang tinggi karena mereka adalah generasi terbaik yang hidup di masa Nabi SAW dan paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah secara langsung. Ijma' ini bukan sumber independen, melainkan merupakan manifestasi dari pemahaman yang benar terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.
Mengikuti pemahaman `salafus shalih` (generasi terbaik umat ini) dalam masalah akidah sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." Oleh karena itu, dalam memahami teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah yang berkaitan dengan akidah, kita wajib merujuk pada bagaimana para sahabat dan generasi setelahnya memahami dan mengamalkannya.
Sumber-sumber ini harus dipahami dengan metodologi yang benar, jauh dari takwil (penafsiran yang menyimpang), tahrif (perubahan makna), tasybih (penyerupaan), atau ta'thil (peniadaan) sifat-sifat Allah. Kemurnian akidah sangat bergantung pada kesahihan sumber dan metodologi pemahamannya.
Penyimpangan Akidah: Bentuk-bentuk Kesesatan dalam Islam
Sejarah Islam menunjukkan bahwa akidah adalah bidang yang rentan terhadap penyimpangan jika tidak dijaga kemurniannya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang dipahami oleh `salafus shalih`. Penyimpangan akidah dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling berat seperti syirik, hingga yang lebih halus seperti bid'ah atau pemikiran sesat. Memahami bentuk-bentuk penyimpangan ini adalah bagian penting dari menjaga akidah yang benar.
a. Syirik (Menyekutukan Allah)
Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam dan merupakan kebalikan dari tauhid. Syirik berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain dalam aspek Rububiyah, Uluhiyah, atau Asma wa Sifat-Nya. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa (4):48: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki."
Jenis-jenis Syirik:
- Syirik Akbar (Besar): Mengeluarkan pelakunya dari Islam. Contohnya:
- Menyembah berhala, patung, pohon, kuburan, atau makhluk lain.
- Memohon kepada selain Allah dalam hal-hal yang hanya Allah yang mampu melakukannya (misalnya, memohon rezeki kepada kuburan wali).
- Mempercayai bahwa ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta selain Allah.
- Bersumpah atas nama selain Allah dengan mengagungkan makhluk tersebut seperti mengagungkan Allah.
- Cinta kepada selain Allah seperti mencintai Allah (cinta yang mengandung pengagungan dan penghinaan diri).
- Takut kepada selain Allah dalam hal-hal yang hanya Allah yang mampu mendatangkan bahaya (misalnya, takut kepada jin yang bisa mencelakai tanpa izin Allah).
- Syirik Ashghar (Kecil): Tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, tetapi merupakan dosa besar dan dapat mengarah pada syirik akbar. Contohnya:
- Riya' (pamer amal): Melakukan suatu ibadah atau perbuatan baik agar dilihat dan dipuji manusia, bukan karena Allah.
- Sum'ah (memperdengarkan amal): Menceritakan amal baik kepada orang lain agar didengar dan dipuji.
- Bersumpah atas nama selain Allah (misalnya, "Demi Rasulullah", "Demi Ka'bah"), jika tidak disertai pengagungan seperti Allah.
- Mengucapkan kalimat yang menunjukkan bergantung kepada selain Allah (misalnya, "Kalau bukan karena Allah dan si Fulan").
- Menggantungkan jimat atau memakai azimat karena meyakini dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudarat.
Menghindari syirik, baik besar maupun kecil, adalah prioritas utama dalam menjaga akidah yang benar. Karena syirik adalah kezaliman terbesar dan dosa yang tidak terampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan syirik tanpa bertaubat.
b. Bid'ah (Inovasi dalam Agama)
Bid'ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam syariat, bid'ah adalah menciptakan atau melakukan sesuatu dalam urusan agama yang tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, dengan keyakinan bahwa itu adalah ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini (agama Islam) sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak."
Jenis-jenis Bid'ah:
- Bid'ah Hakikiyah: Mengadakan suatu ibadah baru yang tidak ada asalnya sama sekali dalam syariat (misalnya, shalat dengan tata cara baru yang tidak diajarkan).
- Bid'ah Idhafiyah: Mengkhususkan suatu ibadah yang asalnya disyariatkan, tetapi dikerjakan dengan cara atau waktu yang tidak disyariatkan (misalnya, membaca Al-Qur'an secara berjamaah dengan irama tertentu yang diyakini lebih afdal).
Bahaya bid'ah adalah:
- Menganggap sempurna ajaran Islam yang sebenarnya sudah sempurna.
- Menyebabkan seseorang jauh dari sunnah Nabi SAW.
- Berpotensi merusak akidah dan mengarah pada kesyirikan.
- Amal bid'ah tidak diterima oleh Allah.
c. Kesesatan Pemikiran dan Sekte-sekte Menyimpang
Sepanjang sejarah Islam, muncul berbagai aliran dan sekte yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah (akidah yang mengikuti Al-Qur'an, Sunnah, dan pemahaman para sahabat). Beberapa di antaranya:
- Khawarij: Mengkafirkan Muslim yang melakukan dosa besar, memandang darah Muslim halal, dan memberontak terhadap pemimpin yang sah.
- Murji'ah: Menganggap iman hanya di hati dan tidak memandang penting amal perbuatan, serta menunda vonis dosa besar ke hari kiamat.
- Qadariyah: Mengingkari takdir Allah, meyakini manusia memiliki kehendak mutlak yang independen dari Allah.
- Jabariyah: Kebalikannya dari Qadariyah, meyakini manusia tidak memiliki kehendak sama sekali, semua dipaksa oleh Allah.
- Mu'tazilah: Menganut rasionalisme ekstrem, menafikan sifat-sifat Allah, dan meyakini Al-Qur'an adalah makhluk.
- Sufisme yang Menyimpang (Wihdatul Wujud): Memiliki konsep kesatuan wujud antara Tuhan dan makhluk, yang bertentangan dengan tauhid.
- Syi'ah Rafidhah: Mengagungkan para imam melebihi nabi, mencaci maki sahabat, dan memiliki banyak praktik ritual yang bid'ah.
Penting bagi seorang Muslim untuk mewaspadai pemahaman dan ajaran dari sekte-sekte ini agar tidak terjerumus dalam penyimpangan akidah. Akidah yang benar adalah akidah yang teguh berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah sesuai pemahaman `salafus shalih`, jauh dari takwil yang batil dan bid'ah.
Manfaat dan Dampak Akidah yang Benar
Akidah yang lurus dan kokoh memiliki dampak yang sangat besar dan positif bagi kehidupan seorang Muslim, baik di dunia maupun di akhirat. Ia adalah sumber kebahagiaan, ketenangan, dan kekuatan yang tak terbatas. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari akidah yang benar:
1. Ketenangan Jiwa dan Kedamaian Hati
Ketika seseorang memiliki akidah yang benar, hatinya akan dipenuhi dengan keyakinan kepada Allah SWT. Ia tahu bahwa segala sesuatu diatur oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Keyakinan ini menghilangkan kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan yang sering menghantui manusia. Ia menyadari bahwa rezeki telah ditetapkan, ajal telah ditentukan, dan segala musibah datang dengan izin Allah. Hal ini menumbuhkan rasa tawakkal (berserah diri) setelah berusaha, yang pada gilirannya membawa ketenangan dan kedamaian hati yang hakiki. Tidak ada lagi ketergantungan kepada makhluk, hanya kepada Sang Pencipta.
"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd:28)
2. Tujuan Hidup yang Jelas dan Terarah
Akidah yang benar memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia: Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup? Ke mana kita akan pergi setelah mati? Dengan memahami bahwa kita diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya dan bahwa kehidupan dunia adalah ujian menuju kehidupan abadi di akhirat, tujuan hidup menjadi sangat jelas. Setiap tindakan, perkataan, dan keputusan akan diarahkan untuk mencapai ridha Allah, sehingga hidup menjadi bermakna dan tidak sia-sia.
3. Motivasi Kuat untuk Beramal Saleh
Keyakinan akan adanya hari perhitungan, surga, dan neraka, serta balasan dari Allah, menjadi pendorong utama bagi seorang Muslim untuk senantiasa melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Rasa takut kepada azab Allah dan harapan akan pahala-Nya mendorong seseorang untuk rajin beribadah, berakhlak mulia, dan berbuat baik kepada sesama. Akidah yang benar mengubah amal saleh dari sekadar kewajiban menjadi ekspresi cinta dan ketaatan kepada Allah, yang dilakukan dengan penuh keikhlasan.
4. Pembentukan Karakter dan Akhlak Mulia
Akidah yang benar secara langsung membentuk karakter dan akhlak seseorang. Seorang yang beriman kepada Allah dengan Tauhid Asma wa Sifat-Nya akan berusaha meneladani sifat-sifat Allah yang mulia, seperti kasih sayang, kesabaran, keadilan, kedermawanan, dan pemaaf. Keyakinan akan pengawasan malaikat pencatat amal membuat seseorang lebih berhati-hati dalam setiap tindakan. Iman kepada rasul-rasul Allah memberikan teladan terbaik dalam kehidupan. Akhirnya, akidah yang kuat akan menghasilkan pribadi yang jujur, amanah, bertanggung jawab, rendah hati, dan peduli terhadap lingkungan sosial.
5. Persatuan Umat Islam
Akidah adalah tali pengikat yang paling kuat di antara sesama Muslim. Ketika umat Islam memiliki akidah yang sama, yaitu tauhid yang murni, mereka akan bersatu di atas dasar yang kokoh. Perbedaan mazhab dalam fikih atau pandangan dalam masalah-masalah furu' (cabang) tidak akan memecah belah jika akidah mereka satu. Akidah yang benar mendorong persaudaraan, saling tolong-menolong, dan kerja sama dalam kebaikan, karena semua Muslim adalah hamba Allah yang memiliki tujuan yang sama.
6. Keberanian dan Keteguhan dalam Menghadapi Tantangan
Seorang Muslim yang memiliki akidah yang kokoh tidak akan mudah goyah menghadapi berbagai cobaan, tekanan, atau ancaman. Ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, dan pertolongan Allah selalu menyertai hamba-Nya yang beriman. Keyakinan ini menumbuhkan keberanian untuk membela kebenaran, menentang kezaliman, dan tetap teguh di atas jalan Allah meskipun harus menghadapi kesulitan yang berat. Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah pahlawan yang teguh karena kekuatan akidah mereka.
7. Kebebasan Sejati
Akidah tauhid membebaskan manusia dari perbudakan kepada selain Allah. Manusia tidak lagi menjadi budak hawa nafsu, harta, pangkat, jabatan, atau sesama manusia. Ia hanya menghamba kepada Allah semata. Ini adalah kebebasan yang hakiki, membebaskan jiwa dari segala bentuk ketergantungan yang merendahkan martabat manusia, dan mengangkatnya menjadi makhluk yang mulia di hadapan Penciptanya.
Dengan demikian, akidah yang benar adalah kunci kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan, kompas yang menunjukkan arah, dan benteng yang melindungi dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan. Oleh karena itu, menjaga kemurnian akidah adalah kewajiban terpenting bagi setiap Muslim.
Kesimpulan
Akidah dalam Islam adalah fondasi yang tak tergantikan, pilar utama yang menopang seluruh bangunan agama seorang Muslim. Ia adalah keyakinan yang mengikat kuat hati dan pikiran, menegaskan keesaan Allah (`tauhid`) dalam segala aspek-Nya sebagai Pencipta, Penguasa, dan satu-satunya yang berhak diibadahi. Akidah yang benar, yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman `salafus shalih`, memberikan kejelasan tujuan hidup, ketenangan jiwa, motivasi beramal, serta membentuk karakter dan akhlak mulia.
Pentingnya menjaga kemurnian akidah tidak hanya terbatas pada keimanan individu, tetapi juga memiliki implikasi luas bagi keutuhan dan persatuan umat Islam. Penyimpangan dalam akidah, baik dalam bentuk syirik, bid'ah, maupun pemikiran-pemikiran sesat, adalah ancaman serius yang dapat merusak iman dan menyesatkan dari jalan yang lurus. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib mempelajari akidah yang sahih, memahaminya secara mendalam, dan mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan akidah yang kokoh, seorang Muslim akan mampu menghadapi berbagai tantangan zaman, godaan dunia, dan fitnah-fitnah yang menyesatkan. Ia akan memiliki benteng pertahanan spiritual yang kuat, yang melindunginya dari keraguan, kesesatan, dan ketergantungan kepada selain Allah. Fondasi keimanan yang kokoh ini adalah kunci keselamatan dan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT.
Marilah kita senantiasa berpegang teguh pada akidah yang murni, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dipahami oleh generasi terbaik umat ini. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga akidah kita dan mengampuni segala kekhilafan kita.