Kajian mendalam mengenai konsep rezeki telah menjadi salah satu pilar utama dalam filsafat tasawuf, khususnya yang termaktub dalam kitab-kitab hikmah para sufi besar, salah satunya adalah Kitab Al Hikam karya Syekh Ahmad bin Atha'illah as-Sakandari. Ajaran Al Hikam senantiasa mengajak hamba untuk mengubah perspektif dari mencari secara lahiriah menjadi memahami alur ketetapan (qadha) dan takdir (qadar) Allah SWT terkait penghidupan.
Dalam pandangan umum, rezeki sering kali disamakan dengan hasil kerja keras. Namun, Al Hikam mengajarkan bahwa usaha (ikhtiar) hanyalah sebuah wasilah, sebuah sebab yang diperintahkan oleh Tuhan untuk menunjukkan kepatuhan seorang hamba. Rezeki yang sejati, hakiki, adalah apa yang telah ditetapkan oleh Sang Khaliq, tanpa menambah atau mengurangi walau setitik debu pun. Jika seorang hamba terlalu fokus pada hasil usahanya, ia akan terjerat dalam rasa cemas dan khawatir (al-ghamm) ketika hasil tidak sesuai ekspektasi.
Inti dari pemikiran Al Hikam tentang rezeki terletak pada konsep Tawakkal yang otentik. Tawakkal bukan berarti pasif menunggu di rumah sambil menutup mata. Tawakkal yang benar adalah melakukan usaha maksimal sesuai perintah agama dan akal sehat, kemudian melepaskan hasil akhir sepenuhnya kepada Allah. Ketika hati terikat pada hasil, maka kegagalan kecil pun akan terasa seperti bencana besar. Sebaliknya, ketika hati terikat pada Kehendak Allah, maka setiap keputusan-Nya, baik berupa kelimpahan atau kekurangan, akan diterima sebagai bagian dari hikmah yang agung.
Seringkali, rezeki yang kita cari berupa materi (uang, jabatan, harta benda). Akan tetapi, Al Hikam mengingatkan bahwa ada jenis rezeki yang jauh lebih berharga namun sering terabaikan, yaitu rezeki spiritual. Rezeki ini meliputi ketenangan hati, ilmu yang bermanfaat, kesehatan jiwa, dan kemudahan dalam menjalankan ibadah. Rezeki jenis inilah yang menjadi penentu kebahagiaan sejati (sa'adah).
Ketika seseorang mendahulukan ketaatan, rezeki materi seringkali datang sebagai bonus yang tidak terduga. Ayat-ayat hikmah mengajarkan bahwa Allah membenci hamba-Nya yang hanya fokus mengejar dunia, namun Dia menyukai hamba yang mencari ridha-Nya. Ketika ridha Allah telah didapat, maka segala kebutuhan duniawi akan dimudahkan sesuai dengan kadar kebutuhan, bukan kadar keserakahan. Ini adalah janji Ilahi yang termaktub dalam banyak kutipan hikmah.
Seorang sufi harus memiliki prinsip yang jelas dalam mencari rezeki. Prinsipnya adalah menjaga Qana'ah (merasa cukup) dan menghindari sifat tamak. Jika rezeki yang datang terasa berlebihan dari kebutuhan pokok, seorang hamba yang bijak akan menggunakannya sebagai sarana untuk beribadah dan bersedekah, bukan sebagai alat untuk menimbun dan berbangga diri. Rezeki yang ditimbun adalah ujian terselubung; ia menjadi beban hisab di akhirat.
Syekh Ibnu Atha’illah menekankan bahwa segala sesuatu yang menjauhkanmu dari Allah adalah kemelaratan, meskipun berbentuk kekayaan melimpah. Sebaliknya, segala sesuatu yang mendekatkanmu kepada-Nya adalah kekayaan sejati, meskipun engkau hidup dalam kesederhanaan. Memahami rezeki dari sudut pandang Al Hikam adalah memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Sumber (Al-Mughni), dan segala yang kita terima hanyalah manifestasi dari sifat Kedermawanan-Nya yang tak terbatas. Tugas kita hanyalah bersyukur (syukur) atas apa yang telah diberikan dan ikhlas (ikhlas) dalam setiap proses pencarian.