Ilustrasi Konsep Kewajiban Sosial dalam Islam
Dalam ajaran Islam, terdapat sebuah prinsip fundamental yang menjadi tulang punggung peradaban dan moralitas umat, yaitu Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Secara harfiah, frasa Arab ini berarti 'mengajak kepada kebaikan' (Amar Ma'ruf) dan 'mencegah dari kemungkaran' (Nahi Munkar). Ini bukan sekadar anjuran moralitas individu, melainkan sebuah tanggung jawab kolektif yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada setiap Muslim.
Amar Ma'ruf mencakup seluruh spektrum tindakan positif. Kebaikan (Ma'ruf) di sini didefinisikan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan juga apa yang secara universal dianggap baik oleh akal sehat dan fitrah manusia. Ini meliputi segala bentuk nasihat yang membangun, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menegakkan keadilan, menolong yang lemah, menjaga persatuan, serta menunjukkan teladan akhlak mulia dalam setiap aspek kehidupan—mulai dari urusan domestik hingga urusan publik dan kenegaraan. Melaksanakan Amar Ma'ruf berarti menjadi agen perubahan positif, berupaya keras agar kebaikan tersebar dan mengakar dalam masyarakat.
Sementara itu, Nahi Munkar adalah sisi penjagaan. Munkar merujuk pada segala perbuatan, perkataan, atau kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan merusak tatanan sosial, moral, serta spiritual. Tugas Nahi Munkar bukan sekadar mencela secara pasif, melainkan melibatkan upaya pencegahan dan koreksi. Rasûlullah ﷺ mengajarkan bahwa cara mencegah kemungkaran harus bertahap, dimulai dari upaya hati, kemudian lisan (dengan nasihat yang bijaksana), dan jika memungkinkan, menggunakan kekuatan (tangan) untuk mengubah kemungkaran tersebut, sesuai dengan kapasitas dan posisi masing-masing individu.
Implementasi dari prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar tidaklah seragam. Islam memberikan kerangka kerja yang realistis tentang bagaimana tugas ini harus dilaksanakan. Para ulama mengklasifikasikannya menjadi tiga tingkatan berdasarkan kemampuan individu. Tingkat pertama adalah dengan hati, yaitu membenci kemungkaran di dalam diri dan mendoakan agar keburukan itu hilang. Tingkat kedua adalah dengan lisan, yakni memberikan peringatan, nasihat, dan kritik yang konstruktif dengan tutur kata yang baik dan argumentasi yang kuat.
Tingkat ketiga, yang paling tinggi dan membutuhkan otoritas serta ilmu yang memadai, adalah dengan tangan atau tindakan nyata. Ini berarti menggunakan sarana yang legal dan sah untuk menghentikan praktik yang jelas-jelas melanggar norma. Penting untuk digarisbawahi bahwa penegakan hukum (tingkat ketiga) berada di bawah otoritas pemerintah atau lembaga yang berwenang, sementara individu secara umum bertanggung jawab penuh pada dua tingkat pertama. Kesalahan dalam menerapkan tingkat ketiga tanpa kapasitas yang memadai justru dapat menimbulkan kekacauan sosial (fitnah) yang lebih besar daripada kemunkaran yang ingin dihilangkan.
Di tengah arus globalisasi dan informasi yang masif, prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar menjadi semakin vital. Media sosial dan ruang digital kini menjadi medan baru bagi penyebaran kebaikan maupun kemungkaran. Ketika berita bohong, ujaran kebencian, dan perilaku menyimpang menyebar dengan cepat, umat Islam didorong untuk aktif menyebarkan kebenaran, informasi yang kredibel (Ma'ruf), sekaligus melakukan 'sensor sosial' melalui klarifikasi dan penolakan terhadap hal-hal yang merusak (Munkar).
Menjadi seorang Muslim berarti menjadi pengingat. Kehidupan bermasyarakat yang harmonis bergantung pada kesadaran kolektif untuk saling mengingatkan akan nilai-nilai luhur. Mengabaikan kewajiban ini berarti membiarkan penyakit sosial merajalela tanpa ada yang berani membersihkannya. Oleh karena itu, Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah manifestasi nyata dari iman seseorang terhadap sesama manusia, menjadikannya salah satu penentu utama kualitas moral suatu peradaban.