Angciu, atau yang lebih dikenal sebagai 'arak masak' dalam konteks kuliner Asia, seringkali menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat Muslim: apakah penggunaannya diperbolehkan dalam hidangan sehari-hari? Perdebatan ini muncul karena bahan dasar angciu umumnya adalah hasil fermentasi beras yang mengandung kadar alkohol. Dalam Islam, konsumsi zat yang memabukkan (khamr) jelas diharamkan. Namun, ketika angciu diolah menjadi bumbu masak, status kehalalannya menjadi abu-abu dan memerlukan kajian mendalam.
Angciu adalah produk fermentasi beras yang telah didistilasi, serupa dengan konsep arak beras. Dalam proses pembuatannya, kadar alkoholnya bisa bervariasi. Bagi seorang Muslim, titik kritisnya adalah ketika produk tersebut memasuki kategori khamr. Para ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang dapat menyebabkan mabuk dalam jumlah tertentu adalah haram dikonsumsi secara langsung.
Namun, dapur adalah laboratorium. Ketika angciu digunakan sebagai bumbu masak—misalnya dalam proses menumis, marinasi, atau membuat kaldu—proses pemanasan intensif akan dilakukan. Pemanasan ini memiliki efek signifikan terhadap komponen alkohol di dalamnya. Apakah alkoholnya menguap sepenuhnya, ataukah masih menyisakan residu yang signifikan? Inilah inti dari perdebatan mengenai 'Angciu Halal'.
Berbagai penelitian dan fatwa telah membahas isu ini. Secara umum, proses memasak dengan suhu tinggi (mendekati atau di atas titik didih alkohol, yaitu sekitar 78°C) dapat mengurangi kadar alkohol secara drastis. Jika proses memasak dilakukan cukup lama, sebagian besar atau seluruh etanol akan menguap. Namun, tidak semua resep memasak melibatkan pemanasan setinggi itu secara konsisten.
Inilah mengapa muncul konsep "Angciu Halal" yang diperdagangkan di pasaran. Angciu jenis ini adalah produk yang telah melalui proses pengolahan tambahan atau diformulasikan ulang, sehingga dipastikan tidak mengandung etanol sama sekali, atau kadarnya berada di bawah ambang batas yang ditetapkan sebagai khamr (umumnya di bawah 0.5% mengikuti standar internasional untuk produk non-alkohol).
Untuk memastikan kehalalan saat memasak, umat Islam dianjurkan untuk berpegang pada prinsip kehati-hatian (wara'). Ada beberapa jalur yang bisa ditempuh terkait penggunaan angciu di dapur:
Keputusan untuk mengonsumsi atau menghindari angciu memiliki dampak sosial dan ekonomi. Di negara dengan populasi Muslim mayoritas, permintaan akan bumbu masak yang terjamin halal sangat tinggi. Produsen yang responsif terhadap kebutuhan ini telah berinovasi menciptakan pengganti yang aman. Hal ini menunjukkan bagaimana prinsip agama dapat mendorong inovasi dalam industri pangan.
Bagi koki Muslim, kehati-hatian ini bukan hanya soal kepatuhan ritual, tetapi juga tentang menjaga integritas makanan yang disajikan kepada keluarga dan komunitas. Jika keraguan sekecil apa pun muncul mengenai kandungan alkohol dalam bumbu masak yang digunakan, pilihan terbaik adalah menghindarinya atau mencari substitusi yang terjamin kebersihannya dari unsur haram.
Secara ringkas, angciu tradisional yang mengandung etanol tetap masuk dalam kategori haram untuk dikonsumsi secara langsung. Jika digunakan sebagai bumbu masak, kehalalannya bergantung pada seberapa efektif proses pemanasan menghilangkan alkohol. Untuk kepastian mutlak dan ketenangan batin, konsumen Muslim disarankan untuk memilih produk yang secara tegas dilabeli sebagai "Angciu Halal" atau menggunakan pengganti yang 100% bebas alkohol. Selalu periksa label dan, jika ragu, konsultasikan dengan sumber rujukan keagamaan terpercaya. Kehati-hatian dalam urusan konsumsi adalah bentuk ketaatan yang mulia.