Angciu, sebuah minuman fermentasi yang sering dikaitkan dengan budaya Tionghoa, kerapkali menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Muslim. Apakah minuman ini termasuk kategori yang dihalalkan atau diharamkan dalam syariat Islam? Perdebatan ini muncul karena proses pembuatannya yang melibatkan fermentasi, yang secara umum dapat menghasilkan kadar alkohol. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu meninjau landasan hukum Islam mengenai minuman keras (khamr) dan bagaimana Angciu diklasifikasikan.
Prinsip dasar dalam Islam mengenai konsumsi zat yang memabukkan sangat jelas. Al-Qur'an secara tegas melarang segala jenis minuman yang mengandung alkohol dalam kadar yang dapat menghilangkan akal (mabuk). Dasar hukum utama adalah firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan anak panah untuk mengundi nasib adalah najis dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma'idah: 90).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan khamr adalah segala sesuatu yang berasal dari anggur atau sejenisnya yang difermentasi dan dapat memabukkan. Namun, lingkupnya berkembang mencakup semua minuman yang memiliki efek memabukkan, meskipun dibuat dari bahan selain anggur, seperti beras, buah-buahan, atau madu. Kunci penentu keharamannya adalah sifat memabukkan (muskir). Jika suatu zat, terlepas dari sumbernya, mampu menyebabkan hilangnya kesadaran atau mabuk, maka ia haram dikonsumsi dalam jumlah yang signifikan.
Angciu (sering juga disebut Arak Merah atau Tuak Beras Merah) adalah minuman tradisional yang dibuat melalui proses fermentasi beras merah. Proses ini menghasilkan etanol (alkohol). Permasalahannya terletak pada kadar alkohol yang dihasilkan.
Mayoritas ulama kontemporer dan lembaga fatwa terkemuka cenderung bersikap tegas terhadap minuman yang secara historis dan proses pembuatannya dikategorikan sebagai minuman beralkohol, terlepas dari apakah konsumennya memilih untuk meminum sedikit atau banyak. Argumentasinya adalah:
Oleh karena itu, meskipun Angciu mungkin dikonsumsi dalam tradisi tertentu tanpa tujuan memabukkan, mayoritas fatwa kontemporer mengharamkannya karena ia termasuk dalam rumpun minuman keras yang mengandung etanol hasil fermentasi. Kehati-hatian (wara') menuntut umat Islam untuk menjauhi segala sesuatu yang memiliki potensi atau klasifikasi sebagai khamr.