Visualisasi: Pondasi yang menopang kerangka penelitian.
Dalam setiap kegiatan ilmiah, mulai dari penelitian sederhana hingga proyek sains yang kompleks, selalu terdapat fondasi tak terlihat yang menopangnya: **anggapan dasar penelitian**, atau yang sering disebut asumsi penelitian. Asumsi ini adalah pernyataan yang diterima sebagai benar tanpa perlu pembuktian dalam konteks penelitian spesifik tersebut. Tanpa anggapan dasar yang jelas, kerangka berpikir penelitian bisa menjadi goyah dan kesimpulan yang ditarik menjadi kurang valid.
Anggapan dasar berfungsi sebagai titik awal logika. Dalam dunia yang penuh variabel dan ketidakpastian, peneliti harus menetapkan batasan-batasan pasti agar proses pengujian hipotesis dapat berjalan secara terstruktur. Jika suatu peneliti melakukan survei opini publik, ia mungkin mengasumsikan bahwa responden menjawab jujur atau bahwa sampel yang diambil mewakili populasi secara acak. Tanpa asumsi ini, peneliti harus terlebih dahulu membuktikan sifat dasar kejujuran manusia atau metode sampling yang digunakan, yang akan jauh melampaui fokus penelitian utamanya.
Anggapan dasar membantu membatasi ruang lingkup penelitian. Mereka menyingkirkan variabel-variabel yang dianggap tidak relevan atau yang terlalu rumit untuk dikontrol dalam studi tersebut. Dengan demikian, peneliti dapat memfokuskan energi dan sumber daya untuk menguji hubungan sebab-akibat yang spesifik.
Anggapan dasar yang baik harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, ia harus **masuk akal** dalam konteks disiplin ilmu yang diteliti. Misalnya, dalam fisika klasik, mengasumsikan bahwa hukum gravitasi berlaku adalah hal yang wajar. Kedua, asumsi haruslah **dinyatakan secara eksplisit**. Menetapkan asumsi secara tersirat dapat menyebabkan kebingungan atau kritik metodologis di kemudian hari. Peneliti yang baik selalu transparan mengenai premis yang mereka gunakan.
Ketiga, asumsi haruslah **terkendali**. Artinya, meskipun tidak dibuktikan, peneliti yakin bahwa asumsi tersebut tidak secara drastis mendistorsi hasil akhir jika ternyata sedikit menyimpang. Jika sebuah asumsi sangat sensitif dan berpotensi besar membatalkan seluruh temuan jika terbukti salah, maka asumsi tersebut seharusnya diubah menjadi variabel yang perlu diuji, bukan sekadar asumsi.
Dalam penelitian kuantitatif, asumsi sering kali berkaitan dengan sifat data. Misalnya, dalam analisis regresi, peneliti sering mengasumsikan bahwa data terdistribusi secara normal (normalitas), bahwa varian data homogen (homoskedastisitas), dan bahwa tidak ada multikolinearitas antar variabel independen. Mengabaikan asumsi-asumsi statistik ini dapat menyebabkan model statistik memberikan hasil yang bias atau tidak dapat diandalkan.
Sementara itu, dalam penelitian kualitatif, anggapan dasar mungkin lebih bersifat filosofis atau epistemologis. Misalnya, seorang peneliti etnografi mengasumsikan bahwa subjeknya memiliki pemahaman yang valid mengenai dunia sosial mereka (interpretivisme), dan bahwa peneliti mampu menangkap pandangan tersebut melalui observasi mendalam. Meskipun fokusnya berbeda, perlunya landasan premis tetap sama.
Penting untuk membedakan antara anggapan dasar (asumsi) dan batasan penelitian (limitations). Asumsi adalah hal-hal yang *dianggap benar* agar penelitian bisa dimulai. Batasan, di sisi lain, adalah kelemahan atau kendala yang diakui peneliti yang mungkin memengaruhi cakupan atau generalisasi temuan. Ketika sebuah asumsi terbukti sangat salah, hal itu sering kali menjadi batasan utama dari penelitian tersebut. Oleh karena itu, identifikasi yang cermat terhadap anggapan dasar sejak awal perencanaan adalah langkah krusial dalam menjaga integritas metodologis sebuah riset.
Menghargai dan mengartikulasikan anggapan dasar secara jujur adalah ciri khas dari penelitian yang matang dan bertanggung jawab. Anggapan adalah peta yang menunjukkan di mana peneliti memulai perjalanan mereka, dan pemahaman yang kuat tentang peta tersebut memastikan bahwa setiap langkah selanjutnya memiliki landasan yang kokoh.