Setiap kelahiran adalah anugerah tak ternilai dari Allah SWT, membawa kebahagiaan dan harapan baru bagi keluarga. Dalam Islam, momen sakral ini disambut dengan berbagai syariat dan sunnah yang mulia, salah satunya adalah aqiqah. Aqiqah merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba atas karunia anak yang telah diberikan-Nya, sekaligus upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun, seringkali muncul pertanyaan fundamental di kalangan umat Muslim: aqiqah hukumnya apa? Apakah wajib, sunnah, atau mubah? Bagaimana dalil-dalil yang mendasarinya, serta syarat dan tata cara pelaksanaannya yang benar sesuai syariat?
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk aqiqah, mulai dari pengertian, hukumnya menurut pandangan para ulama, dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, hikmah di baliknya, hingga panduan praktis mengenai syarat hewan, waktu, dan tata cara pelaksanaannya. Dengan pemahaman yang komprehensif ini, diharapkan umat Muslim dapat melaksanakan ibadah aqiqah dengan keyakinan, kemantapan hati, dan sesuai dengan tuntunan agama.
Sebelum mendalami aqiqah hukumnya apa, penting untuk memahami terlebih dahulu makna aqiqah itu sendiri.
Secara etimologi, kata "aqiqah" (العقيقة) berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna:
Namun, makna yang paling sering dikaitkan dalam konteks keagamaan adalah rambut yang tumbuh di kepala bayi yang baru lahir, yang kemudian dicukur sebagai bagian dari rangkaian ibadah aqiqah.
Dalam terminologi syariat Islam, aqiqah didefinisikan sebagai:
"Penyembelihan hewan (kambing, domba, sapi, atau unta) yang dilakukan pada hari ketujuh kelahiran seorang anak, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, bersamaan dengan mencukur rambut bayi dan pemberian nama."
Definisi ini mencakup beberapa elemen kunci: adanya penyembelihan hewan, waktu pelaksanaan yang spesifik (hari ketujuh), serta tujuan utamanya sebagai wujud syukur atas kelahiran anak.
Inilah inti dari pembahasan kita: aqiqah hukumnya apa dalam Islam? Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai status hukum aqiqah, meskipun mayoritas berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan mendekati wajib, yang jika ditinggalkan tanpa uzur syar'i akan merugi, namun tidak berdosa. Pendapat ini didasarkan pada banyak hadis Nabi Muhammad SAW.
"Bersama anak ada aqiqah, maka tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya (maksudnya cukur rambut)." (HR. Bukhari dan Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan anjuran kuat untuk melaksanakan aqiqah, namun redaksinya tidak menggunakan perintah yang tegas yang menunjukkan kewajiban mutlak.
"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa'i, dan Ahmad. Dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kata "tergadai" (رهينة - rahinah) dalam hadis ini menjadi poin penting perdebatan. Jumhur ulama menafsirkannya sebagai jaminan atau penjamin keberkahan dan syafaat anak. Jika aqiqah tidak dilaksanakan, bukan berarti anak tidak mendapat syafaat, tetapi syafaatnya bisa tertunda atau kurang sempurna. Ini menunjukkan pentingnya, namun tidak mutlak wajib.
"Nabi SAW mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri melaksanakan aqiqah, menunjukkan perbuatan ini sebagai sunnah.
"Dari Ummu Kurz Al-Ka'biyah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 'Untuk anak laki-laki dua kambing yang sepadan, dan untuk anak perempuan satu kambing.'" (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i, disahihkan oleh Al-Albani)
Hadis ini memperjelas ketentuan jumlah hewan aqiqah, namun tetap dalam konteks anjuran.
Ia berkata, "Jika seseorang tidak diaqiqahi dan ia meninggal dunia, maka ia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya." (Ini adalah penafsiran dari makna 'tergadai' yang populer di kalangan salaf, meskipun sebagian ulama lain tidak sampai pada kesimpulan kewajiban mutlak seperti itu).
Kesimpulannya, mayoritas ulama memahami bahwa aqiqah adalah ibadah yang sangat ditekankan karena banyak riwayat dan praktik Nabi SAW, namun bukan kewajiban yang jika ditinggalkan akan menyebabkan dosa.
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa aqiqah hukumnya mubah (boleh) dan bukan sunnah muakkadah atau wajib. Bahkan, sebagian dari mereka menganggapnya sebagai kebiasaan jahiliah yang kemudian diizinkan oleh Islam, tetapi tidak sampai pada derajat sunnah muakkadah.
Menurut mereka, tidak ada hadis yang secara eksplisit dan tegas memerintahkan aqiqah dengan redaksi wajib. Hadis-hadis yang ada dianggap sebagai anjuran atau kebiasaan, bukan perintah wajib.
Mereka menafsirkan hadis "setiap anak tergadai dengan aqiqahnya" sebagai suatu makna metaforis, bukan harfiah. Mereka berpendapat bahwa makna "tergadai" bisa jadi adalah anak tidak dapat tumbuh sempurna secara fisik atau mental, atau tidak dapat memberikan manfaat spiritual tertentu, jika tidak diaqiqahi, namun ini bukan terkait dengan kewajiban syariat.
Mazhab Hanafi lebih mengutamakan kurban, dan mereka berpendapat bahwa aqiqah bukanlah bagian dari ibadah yang utama seperti kurban. Dalam pandangan mereka, jika seseorang memiliki kemampuan, lebih baik berkurban.
Meskipun demikian, pandangan mayoritas ulama tetap condong kepada sunnah muakkadah, mengingat begitu banyaknya riwayat yang menunjukkan praktik dan anjuran Nabi SAW serta para sahabatnya.
Ada sebagian kecil ulama, seperti Imam Dawud Az-Zhahiri (dari mazhab Zhahiri) dan sebagian ulama lainnya, yang berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib. Mereka mendasarkan pandangan ini pada hadis-hadis yang menunjukkan perintah kuat dari Nabi SAW dan penafsiran harfiah dari kata "tergadai".
Bagi mereka, makna "tergadai" dalam hadis Samurah bin Jundab adalah harfiah, yaitu anak tidak akan tumbuh dengan baik secara spiritual atau tidak akan mendapatkan syafaat di akhirat jika aqiqahnya tidak dilaksanakan. Ini menempatkan aqiqah sebagai sebuah "pembebasan" dari pegadaian tersebut, yang otomatis menjadikannya wajib.
Beberapa hadis yang menggunakan redaksi perintah dianggap oleh mereka sebagai perintah wajib, seperti hadis yang menyebutkan "tumpahkanlah darah untuknya".
Namun, pandangan ini kurang populer di kalangan ulama kontemporer dan mazhab fiqih yang dominan, yang lebih cenderung pada sunnah muakkadah.
Melihat ragam pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan yang paling kuat dan dianut oleh mayoritas ulama adalah bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. Ini berarti sangat dianjurkan bagi setiap orang tua yang mampu untuk melaksanakannya. Meninggalkannya tanpa uzur syar'i adalah sebuah kerugian, namun tidak menyebabkan dosa. Bagi mereka yang tidak mampu, syariat Islam tidak membebankan kewajiban yang di luar batas kemampuannya.
Di balik setiap syariat Islam, terdapat hikmah dan tujuan yang mendalam. Begitu pula dengan aqiqah. Pemahaman tentang hikmah ini akan semakin memperkuat keyakinan kita dalam melaksanakan ibadah ini, terlepas dari perdebatan aqiqah hukumnya apa.
Kelahiran seorang anak adalah nikmat dan amanah besar dari Allah SWT. Melaksanakan aqiqah adalah salah satu cara terbaik untuk mengungkapkan rasa syukur atas karunia tersebut. Ini adalah pengakuan bahwa anak adalah pemberian dari Sang Pencipta, bukan semata-mata hasil usaha manusia.
Hadis "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya" menjadi landasan hikmah ini. Para ulama menafsirkan "tergadai" dengan berbagai makna, di antaranya:
Dengan menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, aqiqah secara tidak langsung menjadi bentuk pengumuman resmi atas kelahiran seorang anak kepada keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. Ini menciptakan suasana kegembiraan dan kebersamaan, sekaligus mengenalkan nama bayi kepada khalayak.
Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat. Aktivitas ini secara otomatis memperkuat tali silaturahmi antar anggota masyarakat. Ini adalah momen berbagi kebahagiaan dan kepedulian sosial, yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat rambut tersebut adalah bagian dari rangkaian aqiqah. Ini disimbolkan sebagai pembersihan fisik dan spiritual bagi anak yang baru lahir, menghilangkan kotoran dan hal-hal negatif yang mungkin menempel padanya sejak dalam kandungan.
Bagi orang tua, aqiqah adalah pelajaran tentang pentingnya berkorban dan bersedekah di jalan Allah. Ini juga menanamkan nilai-nilai ketaatan sejak dini dalam kehidupan keluarga Muslim, bahwa setiap nikmat harus diiringi dengan syukur dan pengorbanan.
Setelah memahami aqiqah hukumnya apa dan hikmahnya, hal penting berikutnya adalah mengetahui syarat-syarat hewan yang boleh disembelih untuk aqiqah. Syarat-syarat ini mirip dengan hewan kurban.
Hewan yang sah untuk aqiqah adalah hewan ternak yang halal, yaitu:
Namun, yang paling utama adalah kambing atau domba, karena itulah yang secara eksplisit disebutkan dalam banyak hadis mengenai aqiqah.
Jumlah hewan aqiqah dibedakan berdasarkan jenis kelamin anak:
Ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz Al-Ka'biyah yang telah disebutkan di atas. Jika tidak mampu dua ekor untuk anak laki-laki, sebagian ulama membolehkan satu ekor, meskipun dua lebih utama.
Hewan aqiqah harus memenuhi syarat umur minimal, sama seperti hewan kurban:
Hewan aqiqah harus sehat, tidak cacat, dan gemuk, bebas dari aib atau kekurangan yang fatal yang dapat mengurangi kualitas daging atau menyakiti hewan tersebut. Cacat yang tidak membolehkan hewan untuk aqiqah antara lain:
Intinya, hewan harus dalam kondisi terbaik, layak untuk dipersembahkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Mengetahui aqiqah hukumnya apa juga berarti memahami kapan waktu terbaik untuk melaksanakannya. Waktu pelaksanaan aqiqah memiliki beberapa tingkatan:
Mayoritas ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama (afdal) untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Ini didasarkan pada hadis Samurah bin Jundab:
"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama."
Penghitungan hari ketujuh dimulai dari hari kelahiran. Jika bayi lahir pada hari Senin, maka hari ketujuhnya adalah hari Ahad. Jika lahir pada malam hari, maka hari itu tidak dihitung, dan hari berikutnya dihitung sebagai hari pertama.
Jika orang tua tidak mampu melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, maka disunnahkan untuk melaksanakannya pada hari keempat belas. Jika masih belum mampu, bisa ditunda hingga hari kedua puluh satu.
Dalil untuk ini adalah hadis dari Aisyah RA:
"Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, jika tidak (mampu) maka hari keempat belas, jika tidak (mampu) maka hari kedua puluh satu." (HR. Al-Baihaqi, meskipun sebagian ulama menganggap hadis ini dhaif namun diamalkan oleh banyak ulama).
Pendapat ini memberikan kelonggaran bagi orang tua yang mungkin memiliki kendala pada hari ketujuh.
Apabila hingga hari ke-21 orang tua masih belum mampu melaksanakannya, maka aqiqah tetap bisa dilaksanakan kapan saja sebelum anak mencapai usia baligh. Para ulama berpendapat bahwa sunnah aqiqah tidak gugur begitu saja setelah melewati hari ke-21, selama anak belum baligh.
Ini menunjukkan fleksibilitas dalam syariat Islam, di mana kemudahan selalu diutamakan bagi umatnya.
Bagaimana jika orang tua tidak mampu beraqiqah untuk anaknya hingga sang anak mencapai usia baligh? Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat:
Pendapat yang lebih banyak diikuti di Indonesia (yang mayoritas berafiliasi ke Syafi'i) adalah bahwa anak boleh mengaqiqahi dirinya sendiri setelah baligh jika orang tuanya belum sempat.
Jika seorang anak meninggal dunia sebelum sempat diaqiqahi, maka sunnah aqiqah bagi orang tuanya gugur. Tidak ada kewajiban atau sunnah untuk mengaqiqahi anak yang telah meninggal dunia, meskipun sebagian kecil ulama membolehkan jika anak meninggal pada hari ketujuh atau setelahnya namun sebelum baligh, sebagai wujud kasih sayang orang tua.
Pelaksanaan aqiqah tidak hanya sekadar menyembelih hewan, tetapi juga melibatkan beberapa rangkaian ibadah lain yang disunnahkan. Berikut adalah tata cara aqiqah secara lengkap:
Niat adalah pondasi utama setiap ibadah. Niat aqiqah dilakukan di dalam hati saat akan menyembelih hewan atau saat mewakilkan penyembelihan. Niatnya adalah untuk beraqiqah sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak.
Contoh niat (dalam hati): "Saya niat menyembelih hewan ini untuk aqiqah anak saya (sebutkan nama anak) karena Allah Ta'ala."
Proses penyembelihan hewan aqiqah harus dilakukan sesuai syariat Islam, sama seperti penyembelihan hewan kurban atau hewan sembelihan lainnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
Ada perbedaan tradisi dalam pembagian daging aqiqah:
Bersamaan dengan penyembelihan hewan, disunnahkan untuk mencukur rambut bayi hingga bersih (gundul). Ini merupakan simbol pembersihan dan kesucian. Rambut yang dicukur kemudian ditimbang, dan orang tua bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut tersebut. Jika tidak ada perak, bisa diganti dengan uang senilai perak tersebut.
Dalilnya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib RA:
"Rasulullah SAW beraqiqah untuk Hasan dan Husain dengan seekor kambing, dan beliau bersabda kepada Fatimah: 'Cukurlah rambutnya dan sedekahkan perak seberat rambutnya'." (HR. Tirmidzi)
Memberi nama yang baik dan islami juga merupakan bagian dari sunnah yang dilakukan pada hari ketujuh kelahiran. Nama yang baik diharapkan menjadi doa dan identitas positif bagi anak sepanjang hidupnya. Nabi SAW menganjurkan nama-nama yang memiliki makna baik, seperti Abdullah, Abdurrahman, atau nama-nama para nabi dan sahabat.
Dalilnya adalah hadis Samurah bin Jundab yang menyebutkan "dan diberi nama."
Meskipun tidak ada doa spesifik yang wajib dibaca untuk aqiqah selain basmalah saat menyembelih, namun orang tua dianjurkan untuk banyak berdoa memohon keberkahan bagi anak, agar menjadi anak yang saleh/salehah, berbakti kepada orang tua, berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
Mengingat keduanya melibatkan penyembelihan hewan, seringkali muncul pertanyaan mengenai perbedaan antara aqiqah dan kurban. Memahami perbedaannya penting, terutama saat mempertimbangkan aqiqah hukumnya apa dibandingkan dengan kurban.
Tabel Perbandingan Aqiqah dan Kurban
| Aspek | Aqiqah | Kurban |
|---|---|---|
| Hukum | Sunnah Muakkadah (mayoritas ulama) | Sunnah Muakkadah (mayoritas ulama), ada pendapat wajib bagi yang mampu (Mazhab Hanafi) |
| Tujuan | Syukur atas kelahiran anak, tebusan bagi anak | Mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan syiar Nabi Ibrahim AS |
| Waktu Pelaksanaan | Hari ke-7 kelahiran (utama), boleh hari ke-14, ke-21, hingga sebelum baligh | Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan Hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) |
| Jumlah Hewan | 2 kambing/domba untuk laki-laki, 1 kambing/domba untuk perempuan | 1 ekor kambing/domba untuk 1 orang, 1 ekor sapi/unta untuk 7 orang |
| Pembagian Daging | Dianjurkan dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan | Dianjurkan dibagikan dalam keadaan mentah |
| Penerima Daging | Fakir miskin, tetangga, kerabat, orang tua dan keluarga boleh makan | Fakir miskin, tetangga, kerabat, shahibul kurban boleh makan sepertiga bagian |
| Pelengkap Ibadah | Mencukur rambut bayi, memberi nama, bersedekah perak | Tidak ada amalan pelengkap khusus |
Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa meskipun sama-sama melibatkan penyembelihan hewan, aqiqah dan kurban memiliki tujuan, waktu, dan tata cara yang berbeda. Keduanya adalah ibadah yang mulia dan memiliki kedudukan tersendiri dalam syariat Islam.
Mengingat kompleksitas dan keindahan syariat aqiqah, ada beberapa pertanyaan umum yang sering muncul di benak umat Muslim. Berikut adalah beberapa di antaranya, yang dapat melengkapi pemahaman kita tentang aqiqah hukumnya apa dan detail pelaksanaannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini:
Untuk kehati-hatian dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat), sebaiknya dilaksanakan secara terpisah jika mampu. Jika sangat terpaksa karena keterbatasan, mengikuti pandangan yang membolehkan mungkin bisa menjadi solusi, namun tetap yang utama adalah memisahkan keduanya.
Seperti yang telah dijelaskan, aqiqah hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib. Oleh karena itu, bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk melaksanakan aqiqah, maka kewajiban atau sunnah tersebut gugur. Islam tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
Namun, jika suatu saat kemampuan itu datang, orang tua boleh melaksanakannya di kemudian hari selama anak belum baligh, atau anak tersebut boleh mengaqiqahi dirinya sendiri setelah baligh.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak lembaga amil atau organisasi Islam yang menawarkan jasa pelaksanaan aqiqah secara online atau diwakilkan. Ini diperbolehkan dan sah secara syariat, selama lembaga tersebut terpercaya dan melaksanakan seluruh rukun serta syarat aqiqah sesuai tuntunan. Orang tua dapat mewakilkan penyembelihan, pengolahan, dan pendistribusian daging kepada lembaga tersebut.
Yang terpenting adalah niat yang tulus dari orang tua dan memastikan bahwa pelaksanaan aqiqah dilakukan secara syar'i.
Sangat dianjurkan. Mengundang kerabat, tetangga, dan fakir miskin untuk makan bersama daging aqiqah adalah salah satu cara untuk menyebarkan kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi. Ini juga menjadi bentuk syiar Islam dan pengumuman kelahiran anak secara sosial.
Rambut bayi yang dicukur saat aqiqah bisa dibersihkan dan kemudian ditanam di tanah (dikuburkan) atau dibuang ke tempat yang layak. Tidak ada ketentuan khusus yang melarang atau mewajibkan cara pembuangan tertentu, yang penting adalah memperlakukan dengan hormat karena itu adalah bagian dari manusia.
Untuk anak yang lahir cacat, aqiqah tetap disunnahkan jika orang tua mampu, karena kelahiran itu sendiri adalah nikmat yang patut disyukuri. Cacat fisik tidak mengurangi statusnya sebagai manusia dan karunia dari Allah. Adapun anak yang meninggal setelah lahir (misalnya pada hari ke-3 atau ke-5), maka sunnah aqiqah gugur bagi orang tuanya.
Jika seseorang memiliki anak yang belum diaqiqahi dan ia juga ingin berkurban, namun dana terbatas sehingga hanya bisa memilih salah satu, maka para ulama berbeda pendapat:
Untuk amannya, jika waktu kurban tiba dan orang tua belum beraqiqah untuk anaknya yang belum baligh, dan ia mampu untuk kurban, maka kurban didahulukan. Kemudian, ia bisa mengaqiqahi anaknya setelah itu, di waktu yang lain ketika memiliki rezeki kembali. Prioritas utama adalah memastikan kewajiban dan sunnah yang memiliki waktu terbatas tidak terlewatkan.
Meskipun tidak secara langsung bagian dari rangkaian aqiqah, adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang baru lahir adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Ini adalah kalimat tauhid pertama yang diperdengarkan kepada bayi, sebagai bentuk pengenalan Islam sejak dini.
Dari pembahasan panjang lebar di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan penting mengenai aqiqah hukumnya apa dan seluruh aspek terkaitnya:
Sebagai umat Muslim, memahami dan mengamalkan syariat aqiqah adalah wujud ketaatan dan rasa syukur kita kepada Allah SWT atas karunia seorang anak. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan kemampuan bagi kita semua untuk melaksanakan sunnah-sunnah Nabi-Nya yang mulia. Dengan demikian, setiap kelahiran bukan hanya menjadi kebahagiaan duniawi, tetapi juga ladang pahala dan keberkahan yang berkelanjutan hingga akhirat kelak.