Dalam pencarian abadi manusia akan makna dan kebahagiaan, Islam menawarkan sebuah peta jalan yang komprehensif, di mana ilmu pengetahuan menempati posisi sentral sebagai panduan utama. Kebahagiaan, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar ketiadaan penderitaan atau akumulasi kekayaan materi, melainkan sebuah kondisi hati yang damai, jiwa yang tenteram, serta tercapainya ridha Allah SWT. Kebahagiaan ini bersifat holistik, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi secara simultan dan berkesinambungan. Fondasi utama untuk meraih kebahagiaan yang hakiki ini tidak lain adalah ilmu. Ilmu memungkinkan manusia untuk memahami dirinya, alam semesta, penciptanya, serta tujuan keberadaannya. Tanpa ilmu, manusia ibarat pelaut yang berlayar tanpa kompas, tersesat di samudra luas tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam bagaimana hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menyoroti urgensi ilmu sebagai kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kita akan menyelami berbagai dimensi ilmu, baik ilmu agama (ulum syar'iyyah) maupun ilmu umum (ulum kauniyyah), dan bagaimana keduanya saling melengkapi untuk membentuk pribadi muslim yang utuh, yang mampu meraih keseimbangan hidup yang penuh berkah. Dari pemahaman hadits-hadits ini, kita diharapkan dapat menemukan motivasi dan inspirasi untuk senantiasa menuntut ilmu, menjadikannya prioritas utama dalam setiap lini kehidupan.
Sebelum membahas peran ilmu, penting untuk memahami terlebih dahulu apa sebenarnya definisi kebahagiaan dalam perspektif Islam. Kebahagiaan (Sa'adah) dalam Islam jauh melampaui konsep kebahagiaan materialistik yang seringkali menjadi standar di dunia modern. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak harta yang dimiliki, seberapa tinggi jabatan yang diduduki, atau seberapa populer seseorang di mata manusia. Kebahagiaan sejati adalah ketenangan jiwa, kepuasan hati, dan rasa syukur atas segala karunia Allah SWT, serta keyakinan yang teguh akan janji-janji-Nya di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28). Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan bukan berasal dari luar diri manusia, melainkan dari kedalaman imannya dan kedekatannya dengan Sang Pencipta. Mengingat Allah bukan hanya berarti berzikir lisan, tetapi juga memahami keagungan-Nya, mentadaburi ayat-ayat-Nya, dan mengamalkan syariat-Nya. Semua ini tidak mungkin terwujud tanpa ilmu.
Kebahagiaan di dunia adalah jembatan menuju kebahagiaan di akhirat. Seorang muslim diajarkan untuk tidak melupakan bagiannya di dunia, namun juga tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok." Hadits ini mengajarkan keseimbangan yang sempurna antara kehidupan dunia dan akhirat. Ilmu adalah alat yang memampukan kita menavigasi kedua ranah ini dengan bijak, memastikan bahwa setiap langkah di dunia membawa kita lebih dekat kepada kebahagiaan abadi di akhirat.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang "kebahagiaan dengan ilmu," kita tidak hanya merujuk pada kesuksesan akademis atau profesional, tetapi pada transformasi batin yang dihasilkan oleh pemahaman yang mendalam tentang eksistensi, tujuan hidup, dan hubungan kita dengan Allah SWT serta sesama makhluk-Nya. Ilmu, dalam konteks ini, adalah cahaya yang menerangi jalan menuju ketenangan, kedamaian, dan ridha Ilahi, baik di alam fana maupun di alam baqa.
Banyak orang keliru mengira bahwa ilmu hanya relevan untuk urusan akhirat semata. Padahal, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu untuk kemaslahatan hidup di dunia. Ilmu pengetahuan adalah kunci untuk membangun peradaban, meningkatkan kualitas hidup, menyelesaikan masalah, dan mencapai kesejahteraan material yang halal, yang pada gilirannya dapat mendukung upaya ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT.
Ilmu pengetahuan membantu kita memahami hukum alam, cara kerja tubuh kita, psikologi manusia, dan dinamika sosial. Dengan memahami ini, kita dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam hidup sehari-hari. Misalnya, ilmu kesehatan mengajarkan kita tentang nutrisi, olahraga, dan pencegahan penyakit, yang semuanya berkontribusi pada kesehatan fisik yang baik—syarat dasar untuk beraktivitas dan beribadah secara optimal. Orang yang berilmu akan lebih mampu menjaga kesehatannya, memilih makanan yang baik, dan menghindari kebiasaan buruk yang merusak. Ini bukan hanya tentang umur panjang, tetapi tentang kualitas hidup yang lebih baik, bebas dari penderitaan penyakit yang dapat mengganggu kekhusyukan ibadah dan produktivitas.
Demikian pula, ilmu sosiologi dan psikologi membantu kita memahami interaksi antar manusia. Dengan ilmu ini, kita dapat membangun hubungan yang harmonis dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Kita belajar tentang empati, komunikasi efektif, resolusi konflik, dan bagaimana membangun komunitas yang kuat dan saling mendukung. Konflik dan kesalahpahaman seringkali timbul karena kurangnya pemahaman tentang perspektif orang lain atau kurangnya keterampilan dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Ilmu memberikan kita alat untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, menciptakan lingkungan yang lebih damai dan penuh kasih sayang, yang pada gilirannya membawa kebahagiaan kolektif.
Ilmu pengetahuan alam, seperti fisika, kimia, dan biologi, membuka mata kita akan keajaiban penciptaan Allah SWT. Dengan mempelajari alam semesta, kita semakin takjub akan kekuasaan, kebijaksanaan, dan kebesaran Allah. Ini memperkuat iman dan keyakinan kita, menjadikan setiap penemuan ilmiah sebagai bukti keesaan dan kemahatahuan-Nya. Rasa takjub ini memicu rasa syukur yang mendalam, salah satu pilar utama kebahagiaan dalam Islam. Semakin banyak kita memahami tentang ciptaan-Nya, semakin dekat kita merasa dengan Sang Pencipta, dan semakin damai hati kita.
Ilmu adalah pendorong inovasi dan kemajuan. Dari pertanian modern, teknologi komunikasi, hingga kedokteran canggih, semua adalah buah dari ilmu. Dengan ilmu, kita dapat menemukan cara-cara baru untuk memproduksi makanan, menyediakan air bersih, membangun tempat tinggal yang layak, dan menciptakan lapangan kerja. Ini semua berkontribusi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan ekonomi. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, manusia memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk mengejar tujuan spiritual dan sosial.
Misalnya, seorang insinyur yang berilmu dapat merancang bangunan yang aman dan efisien, seorang petani yang berilmu dapat meningkatkan hasil panennya, seorang dokter yang berilmu dapat menyembuhkan penyakit. Karya-karya mereka bukan hanya menghasilkan pendapatan pribadi, tetapi juga memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Ilmu ekonomi, misalnya, membantu individu dan negara mengelola sumber daya dengan bijak, menghindari kemiskinan, dan menciptakan distribusi kekayaan yang lebih adil. Semua ini adalah bentuk kebahagiaan duniawi yang diizinkan dan bahkan dianjurkan dalam Islam, selama tidak melalaikan kewajiban kepada Allah.
Selain itu, ilmu juga memberikan kemandirian. Orang yang berilmu memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup, lebih mudah beradaptasi dengan perubahan, dan lebih resilien menghadapi tantangan. Mereka tidak mudah tertipu atau dieksploitasi karena memiliki pemahaman yang kuat tentang berbagai aspek kehidupan. Kemandirian ini membebaskan mereka dari ketergantungan yang berlebihan pada orang lain, memberikan mereka martabat dan rasa percaya diri, yang merupakan komponen penting dari kebahagiaan individu.
Ilmu tidak hanya tentang pengetahuan eksternal, tetapi juga tentang pengenalan diri. Dengan ilmu, kita dapat memahami kekuatan dan kelemahan diri, mengelola emosi, dan mengembangkan karakter yang baik. Ilmu akhlak mengajarkan kita nilai-nilai seperti kesabaran, kejujuran, keadilan, dan kasih sayang. Menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari akan menciptakan kedamaian batin dan hubungan sosial yang harmonis, yang merupakan fondasi kebahagiaan.
Pengambilan keputusan yang bijak adalah hasil dari pemikiran yang terinformasi dan terarah, yang hanya dapat dicapai dengan ilmu. Baik dalam urusan personal, keluarga, maupun profesional, ilmu membimbing kita untuk menimbang pro dan kontra, mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang, dan memilih jalan yang paling bermanfaat dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tanpa ilmu, keputusan seringkali didasarkan pada emosi sesaat, prasangka, atau informasi yang tidak akurat, yang dapat membawa penyesalan dan ketidakbahagiaan.
Seorang yang berilmu tidak mudah panik menghadapi masalah. Ia akan mencari solusi berdasarkan data, fakta, dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari. Ia memiliki kapasitas untuk menganalisis situasi kompleks dan merumuskan strategi yang efektif. Kemampuan ini bukan hanya membawa kesuksesan material, tetapi juga ketenangan batin karena ia merasa lebih mampu mengendalikan nasibnya (dengan izin Allah) dan tidak mudah terombang-ambing oleh ketidakpastian. Ini adalah bentuk kebahagiaan yang sangat berharga di dunia yang serba cepat dan penuh tantangan ini.
Jika ilmu berperan vital dalam mencapai kebahagiaan di dunia, maka perannya dalam meraih kebahagiaan abadi di akhirat jauh lebih krusial. Ilmu adalah cahaya yang membimbing seorang mukmin meniti jalan menuju ridha Allah SWT, surga-Nya, dan keselamatan dari siksa neraka.
Pilar utama kebahagiaan akhirat adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT. Tauhid tidak hanya sekadar mengucapkan syahadat, tetapi memahami dengan mendalam siapa Allah, sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna, nama-nama-Nya yang Maha Indah, serta kekuasaan-Nya atas segala sesuatu. Ilmu akidah (tauhid) mengajarkan kita tentang ini. Tanpa ilmu, pengenalan kita terhadap Allah akan dangkal, mudah tergoyahkan oleh keraguan, dan rentan terhadap kesyirikan.
Semakin dalam ilmu seseorang tentang Allah, semakin kuat imannya, semakin besar rasa cinta, takut, dan harapnya kepada-Nya. Rasa cinta kepada Allah ini adalah puncak dari segala kebahagiaan spiritual. Dengan ilmu, kita memahami bahwa setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, adalah bagian dari takdir dan hikmah Allah. Pemahaman ini melahirkan ketenangan batin (sakinah) dan keikhlasan dalam menerima segala ketentuan-Nya, yang merupakan inti kebahagiaan seorang hamba.
Demikian pula, ilmu sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad SAW) dan hadits membantu kita mengenal Rasulullah SAW, teladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu, kita memahami akhlak beliau yang mulia, perjuangan beliau dalam menyebarkan Islam, dan cara beliau menjalani hidup. Mengenal beliau akan menumbuhkan rasa cinta dan kerinduan, serta motivasi untuk meneladani sunnah-sunnah beliau. Mengikuti sunnah Nabi adalah bentuk ketaatan kepada Allah, dan ketaatan adalah jalan menuju surga.
Ibadah adalah jembatan antara hamba dengan Penciptanya. Agar ibadah diterima oleh Allah dan membuahkan pahala, ia harus dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat. Ilmu fikih (hukum Islam) mengajarkan kita tentang tata cara shalat, puasa, zakat, haji, muamalah (interaksi sosial dan ekonomi), dan berbagai aspek ibadah lainnya. Tanpa ilmu, ibadah kita bisa jadi tidak sah, atau bahkan keliru, sehingga tidak mendatangkan manfaat yang diharapkan dan justru bisa menjadi bumerang.
Misalnya, shalat adalah tiang agama. Namun, shalat yang tidak sesuai rukun dan syaratnya tidak akan diterima. Ilmu fikih mengajarkan kita syarat sah shalat, rukun shalat, sunnah-sunnahnya, serta hal-hal yang membatalkan shalat. Dengan ilmu, kita bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk dan benar, merasakan kedekatan dengan Allah, dan memetik buah spiritualnya berupa ketenangan hati dan penghapusan dosa. Kebahagiaan seorang mukmin terletak pada keyakinan bahwa ibadahnya diterima dan dia berada di jalur yang benar menuju ridha Allah.
Demikian pula dengan zakat, puasa, dan haji. Setiap rukun Islam ini memiliki aturan dan ketentuan yang harus dipahami. Ilmu juga membantu kita membedakan antara halal dan haram dalam segala aspek kehidupan, mulai dari makanan, minuman, pakaian, hingga transaksi bisnis. Menjauhi yang haram dan memilih yang halal adalah bentuk ketaatan yang mendatangkan berkah dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Orang yang berilmu akan merasa aman dan nyaman karena tahu bahwa ia menjalani hidup sesuai petunjuk Ilahi.
Ilmu adalah pupuk yang menyuburkan keimanan dan ketakwaan. Dengan ilmu tafsir Al-Qur'an dan ilmu hadits, kita dapat memahami makna ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasulullah SAW secara mendalam. Pemahaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga menyentuh hati, membangkitkan rasa takut kepada azab Allah dan harapan akan rahmat-Nya. Ini adalah esensi dari ketakwaan: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Misalnya, ketika kita membaca Al-Qur'an tanpa ilmu tafsir, kita mungkin hanya memahami terjemahan literalnya. Namun, dengan ilmu tafsir, kita akan memahami konteks turunnya ayat, asbabun nuzul, makna-makna tersembunyi, dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Ini akan membuat bacaan Al-Qur'an menjadi lebih hidup, lebih bermakna, dan lebih menginspirasi. Hati akan menjadi lebih lembut, jiwa akan merasa lebih dekat dengan Kalamullah, dan keimanan akan semakin kokoh.
Ilmu juga membantu kita memurnikan niat (ikhlas) dalam setiap amal perbuatan. Kita belajar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan hendaknya hanya untuk mencari ridha Allah, bukan pujian manusia atau keuntungan duniawi semata. Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal dan sumber kebahagiaan sejati, karena ia membebaskan hati dari belenggu ekspektasi manusia dan fokus pada hubungan dengan Sang Pencipta.
Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Tujuan akhir seorang mukmin adalah kebahagiaan abadi di akhirat, di surga Allah. Ilmu adalah bekal utama untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan setelah mati. Ilmu tentang hari kiamat, surga, neraka, hisab (perhitungan amal), dan mizan (timbangan amal) akan memotivasi kita untuk beramal shaleh sebanyak-banyaknya dan menjauhi maksiat.
Dengan ilmu, kita menyadari bahwa setiap perbuatan kecil di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Kesadaran ini memunculkan rasa mawas diri dan kehati-hatian dalam setiap langkah. Kita menjadi lebih bertanggung jawab atas ucapan, tindakan, dan bahkan pikiran kita. Orang yang berilmu akan selalu berusaha menumpuk amal kebaikan, bertobat dari dosa, dan berinvestasi pada hal-hal yang kekal. Ini adalah bentuk persiapan terbaik untuk akhirat.
Sebaliknya, orang yang lalai dan tidak berilmu mungkin akan menghabiskan hidupnya dengan sia-sia, mengejar fatamorgana dunia yang menipu, dan melupakan tujuan akhir penciptaannya. Ketika kematian datang menjemput, barulah ia menyadari kesalahannya, namun penyesalan di saat itu tidak lagi berguna. Ilmu adalah karunia yang menyelamatkan kita dari penyesalan abadi di akhirat, dan ini adalah kebahagiaan terbesar yang bisa diraih seorang hamba.
Rasulullah SAW, sebagai teladan sempurna dan pembawa risalah kebenaran, telah banyak menyampaikan sabda-sabda mulia yang menginspirasi umatnya untuk menuntut ilmu. Hadits-hadits ini bukan hanya sekadar anjuran, melainkan penegasan akan posisi krusial ilmu dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Hadits ini adalah salah satu motivasi terbesar bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW dengan tegas menghubungkan upaya mencari ilmu dengan kemudahan menuju surga. Kata "jalan" (thariq) di sini tidak hanya berarti perjalanan fisik ke tempat belajar, tetapi juga mencakup segala bentuk usaha dan pengorbanan yang dilakukan demi ilmu: waktu, tenaga, harta, pikiran, dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan belajar. Mengapa Allah memudahkan jalan ke surga bagi penuntut ilmu?
Penjelasannya adalah bahwa ilmu adalah penerang yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Ilmu agama mengajarkan kita tentang tauhid, syariat, akhlak, dan tata cara ibadah yang benar, sehingga amal ibadah kita diterima oleh Allah. Dengan ilmu, seorang hamba memahami apa yang diridhai Allah dan apa yang dimurkai-Nya. Ia akan mampu membedakan antara yang haq dan yang batil, antara petunjuk dan kesesatan. Pemahaman ini akan mengarahkan dia untuk melakukan amal saleh, menjauhi dosa, dan senantiasa berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan. Semua ini adalah bekal utama untuk meraih surga.
Bukan hanya itu, ilmu juga membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, lebih sabar, dan lebih bermanfaat bagi sesama. Sifat-sifat mulia ini adalah cerminan dari akhlak Rasulullah SAW, yang sangat dicintai Allah. Dengan ilmu, seseorang juga akan lebih menghargai nikmat Allah, lebih bersyukur, dan lebih qana'ah (merasa cukup). Hati yang dipenuhi ilmu dan iman akan menjadi hati yang tenang, damai, dan bersih dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, dan sombong. Ketenangan dan kebersihan hati inilah yang menjadi salah satu kunci masuk surga.
Selain itu, ilmu umum juga bisa menjadi jalan menuju surga. Misalnya, ilmu kedokteran yang digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, ilmu teknik yang dipakai untuk membangun fasilitas publik yang bermanfaat, atau ilmu pertanian yang meningkatkan ketahanan pangan. Jika ilmu-ilmu duniawi ini diniatkan untuk kemaslahatan umat, membantu meringankan beban sesama, dan sebagai wujud syukur atas karunia Allah, maka setiap langkah dalam menuntut dan mengamalkannya akan bernilai ibadah dan berpotensi membuka pintu surga.
"Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits ini menempatkan para ulama pada posisi yang sangat tinggi dan mulia. Mereka bukanlah pewaris harta benda atau kekuasaan, melainkan pewaris ilmu kenabian. Ini menunjukkan bahwa warisan paling berharga yang ditinggalkan oleh para nabi adalah ilmu, yaitu ilmu tentang tauhid, syariat, dan petunjuk hidup dari Allah SWT. Ulama yang sejati adalah mereka yang mempelajari, memahami, mengamalkan, dan menyebarkan ilmu tersebut.
Makna "pewaris" di sini bukan hanya sekadar menerima, tetapi juga mengemban amanah. Amanah untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, membimbing umat, dan menjelaskan kebenaran. Ulama berfungsi sebagai lentera bagi umat, penerang di tengah kegelapan kebodohan dan kesesatan. Melalui mereka, ajaran Nabi Muhammad SAW tetap hidup dan relevan di setiap zaman. Dengan ilmu yang diwarisi, para ulama dapat memecahkan problematika umat, memberikan fatwa, dan membimbing masyarakat menuju jalan yang benar.
Pengambilan "bagian yang banyak" (hadhzhan wafiran) menunjukkan betapa besarnya pahala dan kemuliaan bagi penuntut ilmu, khususnya ilmu agama. Mereka yang menuntut ilmu agama dan menjadi ulama akan mendapatkan kehormatan di dunia dan di akhirat. Di dunia, mereka dihormati karena kedalaman pengetahuannya dan dijadikan rujukan oleh masyarakat. Di akhirat, mereka akan diganjar dengan pahala yang berlimpah dan derajat yang tinggi di sisi Allah, karena telah mengemban tugas para nabi dalam membimbing umat.
Hadits ini juga secara implisit mengajak kita untuk menghormati ulama dan menjadikan mereka sebagai sumber ilmu. Namun, penghormatan ini harus dilandasi oleh kualitas ilmu dan ketakwaan ulama tersebut. Umat Islam perlu cerdas dalam memilih ulama, yaitu mereka yang beraqidah lurus, berakhlak mulia, dan senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.
"Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Hadits ini mengungkapkan salah satu keistimewaan luar biasa dari ilmu yang bermanfaat: ia merupakan amal jariyah (amal yang pahalanya terus mengalir) bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Ini adalah investasi abadi yang jauh lebih berharga daripada harta benda. Ketika seseorang wafat, pintu amal sebagian besar tertutup, kecuali untuk tiga jenis amal ini. Ilmu yang bermanfaat menempati posisi sentral.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diajarkan kepada orang lain, yang diamalkan oleh pemiliknya, atau yang menjadi dasar bagi penemuan dan inovasi yang memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Contohnya, seorang guru yang mendidik murid-muridnya, seorang penulis yang menghasilkan buku-buku islami yang mencerahkan, seorang ilmuwan yang menemukan obat penyakit, atau seorang insinyur yang menciptakan teknologi ramah lingkungan. Setiap kali ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain, setiap kali ada orang yang mendapatkan manfaat dari penemuan tersebut, pahala akan terus mengalir kepada sang pemilik ilmu di alam kuburnya.
Hal ini memberikan motivasi yang sangat kuat untuk tidak hanya menuntut ilmu tetapi juga untuk menyebarkannya. Menyebarkan ilmu adalah bentuk sedekah yang paling utama. Seorang muslim yang berilmu hendaknya tidak pelit dengan ilmunya, melainkan berusaha keras untuk menyampaikannya kepada sebanyak mungkin orang dengan cara yang baik dan bijaksana. Kebahagiaan di akhirat sangat ditentukan oleh investasi amal jariyah ini. Memiliki ilmu yang bermanfaat yang terus mengalirkan pahala adalah jaminan kebahagiaan yang tidak ternilai harganya.
Konsep ini juga mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, baik agama maupun umum. Selama ilmu tersebut membawa manfaat bagi kehidupan manusia dan tidak bertentangan dengan syariat, maka ia berpotensi menjadi amal jariyah. Seorang yang menguasai ilmu komputer, misalnya, lalu menciptakan aplikasi yang memudahkan umat dalam beribadah atau belajar agama, ia telah mengamalkan ilmu bermanfaat yang pahalanya akan terus mengalir.
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadalah: 11)
Meskipun ayat ini bukan hadits, ia seringkali dirujuk bersama hadits-hadits tentang keutamaan ilmu karena relevansinya yang sangat kuat. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Kenaikan derajat ini berlaku di dunia maupun di akhirat.
Di dunia, orang yang berilmu akan dihormati, dihargai, dan dijadikan panutan. Mereka memiliki wawasan yang luas, kemampuan memecahkan masalah, dan seringkali menduduki posisi-posisi penting dalam masyarakat. Kepemimpinan yang bijaksana membutuhkan ilmu. Keputusan-keputusan penting dalam pemerintahan, ekonomi, dan sosial seringkali diserahkan kepada para ahli di bidangnya. Ini adalah bentuk pengangkatan derajat di dunia, di mana ilmu memberikan kehormatan dan pengaruh yang positif.
Namun, pengangkatan derajat yang paling penting adalah di sisi Allah SWT di akhirat. Orang-orang yang beriman dan berilmu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di surga. Allah lebih mencintai hamba-Nya yang berilmu karena mereka dapat memahami keagungan-Nya, mentadaburi ayat-ayat-Nya, dan beribadah dengan lebih sempurna. Ilmu membuat iman mereka lebih kokoh dan takwa mereka lebih kuat. Semakin tinggi derajat ilmu seseorang yang dibarengi dengan keimanan dan amal shaleh, semakin tinggi pula kedudukannya di sisi Allah.
Penting untuk diingat bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang membawa kepada ketakwaan, bukan ilmu yang membuat seseorang sombong atau menjauh dari agama. Ilmu yang hakiki akan menumbuhkan rasa rendah hati, karena semakin banyak seseorang belajar, ia akan menyadari betapa sedikitnya pengetahuannya dibandingkan dengan ilmu Allah yang tak terbatas. Pengangkatan derajat ini adalah karunia dan kebahagiaan besar dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang berilmu dan beriman.
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini merupakan fondasi dasar yang menegaskan urgensi ilmu dalam Islam. Kata "kewajiban" (faridhah) menunjukkan bahwa menuntut ilmu bukanlah sekadar anjuran atau pilihan, melainkan sebuah perintah agama yang harus dilaksanakan oleh setiap individu muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Kewajiban ini mencakup ilmu-ilmu fardhu 'ain, yaitu ilmu-ilmu dasar yang wajib diketahui oleh setiap muslim untuk menunaikan ibadah dan menjalani hidup sesuai syariat. Contohnya adalah ilmu tentang tauhid, tata cara shalat, puasa, zakat (jika memiliki harta yang wajib dizakati), dan haji (jika mampu), serta ilmu tentang halal dan haram dalam makanan, minuman, dan interaksi sehari-hari. Tanpa ilmu ini, seseorang tidak bisa menjadi muslim yang benar dan tidak bisa melaksanakan kewajibannya kepada Allah dengan sempurna. Ketidaktahuan dalam hal-hal ini bisa berakibat fatal bagi kebahagiaan akhiratnya.
Selain fardhu 'ain, ada juga ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang wajib ada di tengah umat, namun cukup diwakilkan oleh sebagian orang. Ini mencakup ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, dan berbagai ilmu umum lainnya yang dibutuhkan untuk kemajuan dan kemaslahatan umat. Jika tidak ada satu pun orang muslim yang menguasai ilmu-ilmu ini, maka seluruh umat bisa berdosa dan tertinggal. Kewajiban fardhu kifayah ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menghendaki umatnya fokus pada ilmu agama, tetapi juga pada ilmu duniawi yang esensial untuk membangun peradaban yang kuat dan mandiri.
Hadits ini menempatkan ilmu sebagai prasyarat utama kebahagiaan. Bagaimana bisa seseorang bahagia jika ia tidak tahu cara beribadah yang benar, tidak tahu apa yang halal dan haram, atau tidak bisa berkontribusi pada kemaslahatan umat? Dengan menunaikan kewajiban menuntut ilmu, seorang muslim tidak hanya meraih pahala, tetapi juga membuka gerbang menuju pemahaman yang lebih baik tentang hidup, tujuan, dan jalan menuju kebahagiaan sejati di kedua alam.
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah fahamkan ia dalam agama." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa pemahaman yang mendalam tentang agama (tafaqquh fiddin) adalah tanda kebaikan yang dikehendaki Allah bagi seorang hamba. "Faham dalam agama" bukan hanya berarti tahu, tetapi memiliki pemahaman yang komprehensif, mendalam, dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Pemahaman inilah yang menjadi kunci kebahagiaan sejati.
Orang yang difahamkan dalam agama akan memiliki kriteria yang jelas untuk membedakan antara kebenaran (haq) dan kebatilan (bathil), antara petunjuk dan kesesatan. Di dunia yang penuh dengan informasi, ideologi, dan ajaran yang bermacam-macam, kemampuan untuk memfilter dan memilih yang benar adalah anugerah yang sangat besar. Tanpa pemahaman agama yang mendalam, seseorang mudah terombang-ambing oleh syubhat (keraguan) dan syahwat (hawa nafsu), yang pada akhirnya menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan.
Kebahagiaan yang didapat dari pemahaman agama yang mendalam adalah ketenangan batin, karena ia merasa berada di jalan yang lurus. Ia tidak mudah goyah oleh kritikan atau godaan, karena ia memiliki argumen dan keyakinan yang kuat berdasarkan dalil-dalil syar'i. Pemahaman ini juga membimbingnya untuk melakukan amal yang terbaik, baik dalam ibadah maupun muamalah. Ia tahu kapan harus sabar, kapan harus bersyukur, kapan harus berjuang, dan kapan harus tawakal. Semua ini adalah komponen penting dari kehidupan yang bahagia dan bermakna.
Hadits ini juga mengandung motivasi untuk berdoa agar Allah memudahkan kita dalam memahami agama-Nya. Karena pemahaman ini adalah anugerah dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Dengan ilmu, kita tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa kita melakukannya, dan apa tujuan akhirnya. Ini memberikan dimensi spiritual yang mendalam pada setiap tindakan, mengubah rutinitas menjadi ibadah, dan menghadirkan kebahagiaan yang hakiki.
"Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu." (HR. Al-Hakim)
Meskipun hadits ini tidak secara spesifik menyebut "ilmu," namun ia secara kuat menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan waktu dan kesempatan yang diberikan Allah, termasuk untuk menuntut ilmu. Di antara lima perkara yang disebutkan, "masa mudamu sebelum masa tuamu" sangat relevan dengan pencarian ilmu.
Masa muda adalah masa keemasan untuk menuntut ilmu. Pada masa ini, daya tangkap otak masih sangat kuat, energi masih berlimpah, dan tanggung jawab hidup belum seberat masa dewasa. Membangun fondasi ilmu yang kokoh di masa muda akan sangat menentukan arah dan kualitas hidup seseorang di masa depan, baik di dunia maupun akhirat. Orang yang memanfaatkan masa mudanya untuk belajar akan menuai hasilnya di kemudian hari, berupa kematangan berpikir, kebijaksanaan dalam bertindak, dan kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup.
Sebaliknya, menyia-nyiakan masa muda dengan hal-hal yang tidak bermanfaat akan mendatangkan penyesalan di masa tua. Fisik yang renta, pikiran yang lambat, dan waktu yang terbatas akan menjadi penghalang besar untuk menuntut ilmu secara efektif. Oleh karena itu, kebahagiaan jangka panjang sangat bergantung pada bagaimana seseorang menginvestasikan masa mudanya. Ilmu yang diperoleh di masa muda akan menjadi modal abadi yang tidak akan pernah habis, bahkan terus bertambah nilainya seiring waktu.
Demikian pula, "sehatmu sebelum sakitmu" mengingatkan bahwa ilmu harus dicari saat tubuh masih sehat dan mampu. "Waktu luangmu sebelum sibukmu" mendorong kita untuk mengisi waktu luang dengan belajar sebelum kesibukan dunia menghimpit. Dan puncaknya, "hidupmu sebelum matimu" adalah peringatan untuk mempersiapkan bekal akhirat selama masih ada kesempatan hidup di dunia, dan ilmu adalah bekal terbaik untuk itu. Mengamalkan hadits ini dengan serius akan membawa kebahagiaan yang berkelanjutan karena setiap fase kehidupan akan dimanfaatkan secara optimal untuk kebaikan.
Dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi atau pemisahan mutlak antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Keduanya saling berkaitan, saling melengkapi, dan sama-sama penting untuk mencapai kebahagiaan yang utuh. Ilmu dunia (ulum kauniyyah) yang mempelajari alam semesta, teknologi, sosial, dan manusia, jika diniatkan untuk kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah, akan menjadi bagian dari ibadah dan membuka gerbang pemahaman tentang kekuasaan Sang Pencipta. Sebaliknya, ilmu agama (ulum syar'iyyah) tidak hanya tentang ritual, tetapi juga memberikan pedoman etika, moral, dan prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam kehidupan duniawi.
Seorang muslim yang berilmu sejati adalah ia yang mampu mengintegrasikan kedua jenis ilmu ini. Ia seorang dokter yang menjalankan profesinya dengan integritas islami, seorang insinyur yang membangun dengan memperhatikan dampak lingkungan dan sosial, seorang pebisnis yang berdagang secara jujur dan adil. Mereka semua adalah individu yang mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan profesionalnya, sehingga pekerjaan duniawi mereka pun bernilai ibadah dan mendatangkan berkah.
Integrasi ilmu ini melahirkan kebahagiaan ganda: kebahagiaan di dunia karena mampu menjalani hidup dengan produktif, harmonis, dan bermanfaat bagi sesama; serta kebahagiaan di akhirat karena setiap amal duniawi diniatkan lillahi ta'ala dan sesuai dengan tuntunan syariat. Pemisahan antara keduanya seringkali menjadi penyebab disfungsi dalam masyarakat muslim, di mana ilmu agama dianggap eksklusif untuk para ulama, dan ilmu dunia dianggap sekuler dan tidak berhubungan dengan spiritualitas. Padahal, justru sinergi keduanya yang melahirkan peradaban Islam yang gemilang di masa lalu.
Kebahagiaan yang dicari adalah kebahagiaan yang seimbang, yang memenuhi hak tubuh dan jiwa, hak dunia dan akhirat. Dan keseimbangan ini hanya bisa dicapai melalui ilmu yang komprehensif, yang memandang seluruh aspek kehidupan sebagai ladang ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ilmu menjadikan kita manusia yang utuh, yang mampu menghadapi tantangan dunia dengan hikmah dan mempersiapkan diri untuk akhirat dengan penuh keyakinan.
Menuntut ilmu bukanlah perjalanan yang mudah. Ia membutuhkan kesabaran, ketekunan, pengorbanan, dan keikhlasan. Tantangan bisa datang dari berbagai arah: kemalasan diri sendiri, lingkungan yang tidak mendukung, keterbatasan waktu atau finansial, hingga godaan duniawi yang melalaikan. Namun, di balik setiap tantangan, terdapat janji pahala dan keutamaan yang tak terhingga.
Motivasi terbesar bagi seorang muslim untuk menuntut ilmu adalah janji Allah SWT dan Rasul-Nya berupa kemuliaan di dunia, derajat yang tinggi di sisi Allah, serta kebahagiaan abadi di surga. Mengingat hadits-hadits tentang keutamaan ilmu dapat membangkitkan semangat saat semangat mulai melemah. Selain itu, niat yang tulus (ikhlas karena Allah) adalah kunci utama untuk mempertahankan motivasi. Ketika ilmu dicari semata-mata untuk mencari ridha Allah, maka segala kesulitan akan terasa ringan dan setiap langkah akan terasa diberkahi.
Mencari lingkungan yang kondusif, memiliki guru yang membimbing, dan senantiasa berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam menuntut ilmu juga merupakan faktor penting. Rasulullah SAW sering berdoa, "Ya Allah, berilah manfaat kepadaku dengan apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah kepadaku apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah ilmu kepadaku." (HR. Tirmidzi). Doa ini menunjukkan bahwa ilmu adalah karunia dari Allah, dan hanya dengan pertolongan-Nya kita dapat meraihnya.
Dari uraian panjang ini, menjadi jelas bahwa ilmu adalah fondasi, kunci, dan penerang bagi kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW secara konsisten menegaskan posisi istimewa ilmu dalam Islam, menjadikannya sebuah kewajiban, warisan kenabian, dan jalan yang memudahkan menuju surga. Ilmu tidak hanya memberikan pemahaman tentang alam semesta dan kehidupan, tetapi juga membimbing kita untuk mengenal Allah SWT, melaksanakan syariat-Nya, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi.
Kebahagiaan yang dihasilkan oleh ilmu adalah kebahagiaan yang komprehensif: ketenangan batin, keberkahan hidup, kemuliaan di mata manusia, dan yang terpenting, ridha Allah SWT. Marilah kita jadikan menuntut ilmu sebagai gaya hidup, memanfaatkannya untuk kebaikan diri, keluarga, dan seluruh umat manusia, sehingga kita termasuk golongan orang-orang yang meraih kebahagiaan paripurna di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah diri mereka sendiri, dan perubahan itu dimulai dengan ilmu.