Hadits Kebahagiaan Dunia dan Akhirat: Jalan Menuju Ridha Ilahi

Buku Terbuka dan Cahaya Ilustrasi sebuah buku terbuka dengan cahaya yang memancar ke atas, melambangkan ilmu, petunjuk, dan kebahagiaan dari wahyu Ilahi. Ilmu

Kebahagiaan adalah salah satu tujuan universal umat manusia. Setiap individu, tanpa terkecuali, mendambakan kehidupan yang penuh sukacita, kedamaian, dan kepuasan. Namun, definisi dan jalan menuju kebahagiaan seringkali menjadi perdebatan yang tak berujung. Dalam ajaran Islam, kebahagiaan tidak hanya dipandang sebagai sensasi sesaat atau pencapaian materi semata, melainkan sebagai kondisi holistik yang melibatkan hati, jiwa, pikiran, dan raga, yang puncaknya adalah ridha Allah SWT. Nabi Muhammad ﷺ, sebagai teladan utama, telah mengajarkan melalui hadits-haditsnya tentang esensi kebahagiaan, baik di dunia yang fana ini maupun di akhirat yang kekal.

Artikel ini akan mengkaji secara mendalam hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ yang berkaitan dengan konsep kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, serta bagaimana keduanya saling terkait dan dapat dicapai oleh seorang muslim. Kita akan menelusuri berbagai dimensi kebahagiaan dari sudut pandang Islam, mulai dari kebahagiaan batin yang didasari iman, hingga kebahagiaan materi yang seimbang, serta puncak kebahagiaan yang dijanjikan di surga.

1. Memahami Konsep Kebahagiaan dalam Islam

Sebelum menyelami hadits-hadits tentang kebahagiaan, penting untuk memahami terlebih dahulu bagaimana Islam mendefinisikan dan memandang kebahagiaan. Dalam pandangan Islam, kebahagiaan sejati bukanlah semata-mata absennya penderitaan atau melimpahnya kenikmatan duniawi, melainkan sebuah kondisi hati yang tenang, damai, dan puas (qana'ah) dengan ketetapan Allah, serta senantiasa terhubung dengan-Nya. Kebahagiaan sejati bersumber dari iman yang kokoh dan amal saleh yang tulus.

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian yang paling tinggi bagi jiwa manusia, yaitu mengenal Allah dan mencintai-Nya. Kebahagiaan ini bersifat batiniah dan tidak tergoyahkan oleh pasang surut kehidupan dunia. Sementara kenikmatan duniawi bersifat sementara dan seringkali menipu.

1.1. Kebahagiaan Dunia: Anugerah yang Terbatas

Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati kebahagiaan duniawi, selama itu berada dalam koridor syariat dan tidak melalaikan kewajiban terhadap akhirat. Bahkan, beberapa hadits secara eksplisit menyebutkan elemen-elemen kebahagiaan duniawi yang patut disyukuri.

Dari Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Empat hal yang termasuk kebahagiaan: istri yang salihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban)

Hadits ini menyoroti beberapa aspek kebahagiaan yang sifatnya materi dan sosial, namun sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita bedah lebih lanjut:

  1. Istri/Pasangan yang Salihah: Kehadiran pasangan yang beriman, bertakwa, dan memahami hak serta kewajiban dalam rumah tangga adalah pilar kebahagiaan. Istri/suami yang salihah menjadi penenang jiwa, pendukung dalam kebaikan, dan penjaga kehormatan. Kebahagiaan dalam rumah tangga adalah fondasi masyarakat yang kuat.
  2. Tempat Tinggal yang Luas: Tempat tinggal yang nyaman dan lapang memberikan ketenangan batin, ruang untuk beribadah, mendidik anak, dan beristirahat. Luas di sini bisa berarti fisik dan juga "luas" dalam arti fungsional, yakni memenuhi kebutuhan penghuninya dengan baik. Ini juga menunjukkan bahwa Islam menghargai kenyamanan hidup.
  3. Tetangga yang Baik: Lingkungan sosial yang positif adalah sumber kebahagiaan. Tetangga yang baik adalah mereka yang menjaga hak-hak tetangga, saling membantu, tidak mengganggu, dan turut menciptakan suasana yang harmonis. Rasulullah ﷺ sangat menekankan hak tetangga.
  4. Kendaraan yang Nyaman: Kendaraan yang memudahkan mobilitas dan memenuhi kebutuhan transportasi adalah anugerah. Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai sarana transportasi yang memadai, memungkinkan seseorang untuk mencari rezeki, menunaikan ibadah, dan bersilaturahmi dengan mudah dan nyaman.

Penting untuk diingat bahwa kenikmatan duniawi ini, meskipun disebut sebagai kebahagiaan, bersifat relatif dan sementara. Keterikatan yang berlebihan padanya justru bisa menjadi penghalang menuju kebahagiaan yang lebih hakiki di akhirat. Islam mengajarkan kita untuk menikmati anugerah dunia tanpa menjadikannya sebagai tujuan akhir.

1.2. Kebahagiaan Batin: Pondasi Kebahagiaan Sejati

Selain aspek lahiriah, Islam sangat menekankan kebahagiaan batin, yang bersumber dari iman dan kedekatan dengan Allah. Kebahagiaan ini tidak tergantung pada kondisi eksternal.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)

Meskipun ini adalah ayat Al-Qur'an, konsep ini merupakan inti dari ajaran yang juga ditekankan dalam hadits-hadits Nabi. Hadits-hadits berikut memperkuat konsep ketenangan batin:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya. Dan ini tidak terjadi kecuali bagi seorang mukmin." (HR. Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa kebahagiaan seorang mukmin terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan segala kondisi hidup. Baik dalam suka maupun duka, seorang mukmin menemukan kebaikan dan ketenangan karena ia melihat semuanya dari perspektif iman. Syukur saat lapang dan sabar saat sempit adalah kunci ketenangan jiwa. Ini adalah wujud kebahagiaan batin yang sesungguhnya, yang tidak bisa direnggut oleh kesulitan dunia.

2. Kebahagiaan Hakiki di Akhirat: Puncak Impian Muslim

Bagi seorang muslim, puncak kebahagiaan adalah kebahagiaan di akhirat, yaitu masuk surga dan meraih ridha Allah SWT. Kebahagiaan dunia adalah jembatan menuju kebahagiaan abadi tersebut. Hadits-hadits tentang surga dan kenikmatannya adalah motivasi terbesar bagi umat Islam untuk beramal saleh.

2.1. Kenikmatan Surga yang Tak Terbayangkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Allah berfirman: 'Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di hati manusia'." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits Qudsi ini menggambarkan keagungan dan kemuliaan surga. Kenikmatan surga jauh melampaui imajinasi manusia. Ini bukan sekadar peningkatan dari kenikmatan dunia, melainkan kenikmatan dalam dimensi yang sama sekali berbeda, tanpa cacat, tanpa batas, dan tanpa akhir. Ini adalah janji kebahagiaan mutlak yang menjadi tujuan akhir setiap mukmin.

Kenikmatan ini meliputi segala aspek: makanan dan minuman yang lezat, pakaian sutra yang indah, istana-istana megah, bidadari-bidadari yang jelita, pemandangan yang menakjubkan, dan yang terpenting, kebahagiaan spiritual karena berada di sisi Allah SWT.

2.2. Melihat Wajah Allah: Kebahagiaan Tertinggi

Puncak dari segala kenikmatan dan kebahagiaan di surga adalah kemampuan untuk melihat wajah Allah SWT. Ini adalah anugerah terbesar yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan lainnya.

Dari Shuhaib radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman: 'Apakah kalian ingin Aku tambahkan sesuatu?' Mereka menjawab: 'Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?' Lalu disingkapkanlah hijab (penghalang), dan mereka tidak diberikan sesuatu pun yang lebih mereka cintai daripada memandang wajah Rabb mereka." (HR. Muslim)

Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa puncak kebahagiaan di akhirat bukanlah semata-mata kenikmatan fisik surga, melainkan kenikmatan spiritual tertinggi berupa memandang wajah Allah SWT. Momen ini digambarkan sebagai sesuatu yang paling dicintai dan paling membahagiakan bagi penghuni surga, melebihi segala nikmat lain yang telah mereka rasakan. Ini adalah esensi dari ridha Ilahi yang paripurna, tujuan utama penciptaan manusia.

Kebahagiaan ini bersifat abadi dan tidak akan pernah sirna. Ia mengisi hati dengan ketenangan, kekaguman, dan cinta yang tak terbatas kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, seluruh amal ibadah dan perjuangan di dunia adalah untuk mencapai kebahagiaan puncak ini.

3. Keseimbangan Hidup: Menghubungkan Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Islam mengajarkan konsep keseimbangan (wasatiyyah) dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam meraih kebahagiaan. Seorang muslim diharapkan tidak sepenuhnya meninggalkan dunia dan hanya fokus pada akhirat, atau sebaliknya, terlalu tenggelam dalam urusan dunia hingga melupakan akhirat. Keduanya harus berjalan seiring.

3.1. Bekerja untuk Dunia dan Akhirat

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Beramal lah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beramal lah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok." (HR. Ibnu Asakir, Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman. Meskipun sanadnya diperbincangkan, maknanya banyak dipegang ulama)

Hadits ini, meskipun status sanadnya membutuhkan kajian lebih lanjut, mengandung makna yang sangat dalam dan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Ini mengajarkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak dunia, seperti bekerja keras, menuntut ilmu, dan membangun peradaban, seolah-olah kita memiliki waktu tak terbatas untuk melakukannya. Pada saat yang sama, kita harus memiliki kesadaran akhirat yang tinggi, dengan beribadah dan beramal saleh seolah-olah kematian sudah di ambang pintu. Keseimbangan inilah yang menghasilkan kebahagiaan sejati.

Seorang muslim yang bahagia adalah ia yang mampu menyeimbangkan antara mencari rezeki halal di dunia, menjaga kesehatan, menjalin silaturahmi, sambil tidak pernah lalai dari kewajiban shalat, puasa, zakat, membaca Al-Qur'an, dan berzikir. Dunia adalah ladang untuk menanam benih kebaikan yang akan dipanen di akhirat.

3.2. Zuhud yang Benar: Bukan Meninggalkan Dunia

Konsep zuhud seringkali disalahpahami sebagai meninggalkan dunia secara total. Padahal, zuhud yang diajarkan dalam Islam adalah tidak menjadikan dunia di dalam hati, melainkan di tangan. Artinya, dunia dimanfaatkan sebagai sarana, bukan tujuan.

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Bukanlah zuhud di dunia itu mengharamkan yang halal dan membuang harta, akan tetapi zuhud di dunia itu adalah engkau lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan engkau lebih menyukai pahala musibah daripada tetap tidak tertimpa musibah." (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menjelaskan bahwa zuhud sejati adalah tentang keyakinan kepada Allah, kebergantungan hati kepada-Nya, dan kesiapan menerima takdir-Nya. Ini adalah kebahagiaan batin yang muncul dari kemerdekaan hati dari belenggu dunia. Dengan zuhud yang benar, seseorang akan merasakan kebahagiaan meskipun hidup dalam kesederhanaan, karena hatinya kaya dengan iman.

4. Pilar-Pilar Kebahagiaan dalam Ajaran Islam

Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, Islam menawarkan pilar-pilar kokoh yang jika ditegakkan dengan sungguh-sungguh akan membawa individu pada ketenangan dan kedamaian sejati.

4.1. Iman dan Taqwa

Iman adalah fondasi utama kebahagiaan. Taqwa (ketakwaan) adalah manifestasi dari iman yang membuahkan amal saleh dan menjauhkan diri dari maksiat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Meskipun hadits ini secara langsung membahas akhlak, namun ia merupakan salah satu buah dari iman dan taqwa yang mendalam. Orang yang beriman akan menjaga lisannya, dan lisan yang terjaga adalah sumber ketenangan batin, menghindari pertikaian, dan menciptakan harmoni sosial. Ketenteraman ini adalah bagian dari kebahagiaan duniawi, dan dijaganya lisan dari keburukan adalah jalan menuju kebahagiaan akhirat.

Iman yang kuat memberikan makna pada kehidupan, menumbuhkan harapan, dan memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan. Dengan iman, seorang muslim percaya bahwa ada hikmah di balik setiap peristiwa dan bahwa pertolongan Allah selalu dekat. Ini adalah sumber kebahagiaan yang tak tergantikan.

4.2. Ibadah yang Khusyuk

Ibadah bukan sekadar kewajiban, melainkan juga sarana komunikasi langsung dengan Allah, sumber kedamaian dan kebahagiaan. Shalat, puasa, zakat, haji, doa, dan dzikir adalah jalan untuk mengisi hati dengan ketenangan.

4.2.1. Shalat: Penyejuk Hati

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Dijadikan kesenanganku (kebahagiaanku) di dunia ini pada wanita dan wangi-wangian, dan dijadikan penyejuk mataku (kebahagiaanku) dalam shalat." (HR. Nasa'i, Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bagaimana shalat menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan jiwa bagi Nabi Muhammad ﷺ. Shalat adalah waktu untuk bermunajat, mengadu, dan berserah diri kepada Allah. Dalam shalat, seorang hamba merasakan kedekatan yang istimewa dengan Penciptanya, melupakan sejenak hiruk pikuk dunia, dan mengisi kembali energi spiritualnya. Ini adalah kebahagiaan batin yang mendalam, yang juga menjadi bekal kebahagiaan akhirat.

4.2.2. Dzikir dan Doa

Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang sebaik-baik amal kalian, dan yang paling suci di sisi Tuhan kalian, dan yang paling tinggi derajatnya, dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik bagi kalian daripada bertemu musuh lalu kalian tebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?" Para sahabat menjawab, "Tentu." Beliau bersabda, "Dzikir kepada Allah." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dzikir (mengingat Allah) adalah salah satu amalan yang paling dicintai Allah dan memiliki keutamaan luar biasa. Dengan dzikir, hati menjadi tenang, jiwa merasa tenteram, dan pikiran menjadi jernih. Ini adalah kebahagiaan spiritual yang mudah diakses kapan pun dan di mana pun. Doa adalah senjata mukmin, media untuk mencurahkan segala harapan dan kekhawatiran kepada Allah, yang pada akhirnya membawa ketenangan hati.

4.3. Akhlak Mulia

Akhlak yang baik adalah cerminan iman dan sumber kebahagiaan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang keji dan kasar lisannya." (HR. Tirmidzi)

Meskipun secara langsung berbicara tentang timbangan amal di akhirat, hadits ini secara implisit menunjukkan bahwa akhlak mulia adalah kunci kebahagiaan. Orang yang berakhlak mulia (seperti jujur, amanah, pemaaf, ramah, dermawan) akan disenangi manusia dan diridhai Allah, sehingga hidupnya di dunia akan lebih harmonis dan penuh berkah. Kehidupan yang harmonis dan penuh berkah adalah bentuk kebahagiaan duniawi, dan akhlak mulia adalah jalan menuju surga.

Pribadi yang berakhlak mulia cenderung tidak memiliki permusuhan, tidak menyimpan dendam, dan selalu berprasangka baik. Kondisi mental dan sosial semacam ini menciptakan lingkungan yang positif bagi kebahagiaan pribadi dan kolektif. Ia adalah sumber kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang di sekelilingnya.

4.4. Ilmu yang Bermanfaat

Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebahagiaan. Dengan ilmu, seseorang dapat mengenal Allah, memahami syariat-Nya, dan membedakan antara yang baik dan buruk.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Mencari ilmu, terutama ilmu agama, adalah salah satu jalan termudah menuju surga, yaitu puncak kebahagiaan akhirat. Namun, ilmu juga membawa kebahagiaan di dunia. Dengan ilmu, seseorang bisa memahami tujuan hidupnya, mengatasi masalah dengan bijak, dan mengembangkan potensi dirinya. Ilmu memberikan kedalaman berpikir dan kebijaksanaan, yang menghasilkan ketenangan batin dan kebahagiaan intelektual. Ini adalah kebahagiaan yang berkelanjutan dan memberikan dampak positif dalam setiap aspek kehidupan.

4.5. Silaturahmi dan Kebaikan kepada Sesama

Islam sangat menganjurkan untuk menjaga hubungan baik dengan kerabat dan berbuat baik kepada sesama manusia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini secara eksplisit mengaitkan silaturahmi dengan kebahagiaan duniawi berupa kelapangan rezeki dan panjang umur. Tentu saja, "panjang umur" di sini bisa diartikan sebagai umur yang berkah, penuh manfaat, dan berkualitas. Menjaga silaturahmi menciptakan ikatan sosial yang kuat, dukungan moral, dan kasih sayang yang mendalam, semuanya adalah elemen penting bagi kebahagiaan manusia. Berbuat baik kepada sesama juga akan membuahkan pahala di akhirat, sehingga menghubungkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kebaikan kepada sesama, seperti bersedekah, membantu yang membutuhkan, tersenyum, atau berkata yang baik, tidak hanya mendatangkan pahala tapi juga kebahagiaan batin yang mendalam. Rasa saling berbagi dan peduli menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana setiap individu merasa dihargai dan dicintai. Ini adalah kebahagiaan sosial yang sangat penting dalam Islam.

5. Penghalang Kebahagiaan Sejati dan Cara Mengatasinya

Meskipun Allah telah menyediakan jalan menuju kebahagiaan, seringkali manusia terhalang oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Islam juga memberikan peringatan tentang hal-hal yang dapat merampas kebahagiaan.

5.1. Cinta Dunia yang Berlebihan

Salah satu penghalang terbesar adalah keterikatan hati yang berlebihan pada dunia.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Janganlah kamu menjadi hamba dunia, janganlah kamu menjadi hamba dinar dan dirham, dan janganlah kamu menjadi hamba pakaian yang bagus. Jika diberikan (sesuatu dari dunia) ia senang, dan jika tidak diberikan ia marah." (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menjelaskan bahaya cinta dunia yang berlebihan. Orang yang hatinya terpaut kuat pada materi akan selalu merasa kurang, tidak pernah puas, dan mudah kecewa. Kebahagiaannya sangat tergantung pada hal-hal fana yang mudah sirna. Kondisi ini jauh dari kebahagiaan sejati. Untuk mengatasinya, seorang muslim harus senantiasa menguatkan iman, memperbanyak syukur, dan menyadari bahwa dunia adalah sementara.

5.2. Hasad (Iri Hati) dan Dengki

Perasaan hasad adalah penyakit hati yang dapat merusak kebahagiaan pribadi dan sosial.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Jauhilah hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR. Abu Daud)

Hasad adalah perasaan tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat atau kebaikan. Perasaan ini hanya akan menimbulkan kegelisahan, kesedihan, dan amarah dalam hati pelakunya, merampas kedamaian batinnya. Orang yang hasad tidak akan pernah merasa bahagia dengan dirinya sendiri atau dengan apa yang dimilikinya. Mengatasinya adalah dengan ikhlas menerima takdir Allah, bersyukur atas nikmat yang ada, dan mendoakan kebaikan bagi orang lain.

5.3. Ghibah (Menggunjing) dan Namimah (Mengadu Domba)

Perilaku buruk ini tidak hanya merusak hubungan antarmanusia tetapi juga merampas kebahagiaan batin pelakunya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)

Meskipun ini ayat Al-Qur'an, larangan ini juga ditekankan dalam banyak hadits. Menggunjing atau mengadu domba akan membuat hati tidak tenang, penuh dengan kecurigaan, dan menciptakan permusuhan. Kebahagiaan sejati hanya bisa dirasakan dalam hati yang bersih dari sifat-sifat tercela ini. Menjaga lisan adalah kunci ketenangan dan kebahagiaan.

5.4. Melalaikan Kewajiban kepada Allah

Melalaikan shalat, enggan membayar zakat, atau meninggalkan ibadah lainnya akan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah, yang merupakan sumber utama kebahagiaan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an (yang juga menjadi inti dari banyak ajaran Nabi ﷺ):

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)

Kehidupan yang sempit, meskipun secara materi berlimpah, adalah gambaran ketidakbahagiaan batin. Hati yang kosong dari dzikir dan ketaatan kepada Allah tidak akan pernah menemukan kedamaian sejati. Ini adalah penghalang terbesar menuju kebahagiaan hakiki. Solusinya adalah kembali kepada Allah, bertobat, dan istiqamah dalam menjalankan perintah-Nya.

6. Kisah-Kisah Inspiratif dari Hadits tentang Kebahagiaan

Banyak hadits yang tidak hanya berisi perintah atau larangan, tetapi juga kisah-kisah yang menginspirasi tentang bagaimana para sahabat Nabi ﷺ meraih kebahagiaan dalam hidup mereka, baik di tengah kemudahan maupun kesulitan.

6.1. Kebahagiaan dalam Qana'ah (Merasa Cukup)

Konsep qana'ah adalah pilar kebahagiaan yang sangat kuat dalam Islam. Merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, tanpa terus-menerus mengejar yang lebih.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberinya sifat qana'ah (merasa cukup) terhadap apa yang diberikan kepadanya." (HR. Muslim)

Hadits ini secara jelas menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada tiga hal: Islam sebagai agama, rezeki yang cukup (bukan berlimpah, tapi memenuhi kebutuhan), dan yang terpenting, sifat qana'ah. Qana'ah adalah kekayaan hati yang membuat seseorang bahagia dengan sedikit, dan tidak serakah terhadap yang banyak. Ini adalah resep kebahagiaan yang ampuh di dunia, karena membebaskan hati dari belenggu keinginan yang tak terbatas. Dengan qana'ah, seseorang akan terhindar dari stres, kecemasan, dan iri hati.

6.2. Kebahagiaan dalam Memberi dan Berkorban

Islam mengajarkan bahwa memberi lebih membahagiakan daripada menerima, dan berkorban di jalan Allah mendatangkan kebahagiaan yang abadi.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)

Mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri adalah puncak dari kebaikan. Ini mendorong seseorang untuk berempati, membantu, dan berkorban untuk saudaranya. Kebahagiaan yang didapatkan dari melihat orang lain bahagia karena uluran tangan kita adalah kebahagiaan yang tulus dan murni. Ini adalah kebahagiaan yang terhubung langsung dengan pahala di akhirat.

6.3. Kebahagiaan Bersama Keluarga

Keluarga yang harmonis adalah sumber kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

"Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling baik akhlaknya. Beliau paling banyak tersenyum, tidak berbicara kecuali dengan yang bermanfaat, tidak pernah mencela makanan, dan paling banyak bergaul dengan keluarganya." (Riwayat singkat, maknanya terdapat dalam berbagai hadits tentang akhlak Nabi di rumah)

Meskipun bukan hadits tunggal yang berfokus pada kebahagiaan, esensinya menunjukkan bahwa kebahagiaan juga ditemukan dalam interaksi yang baik dengan keluarga. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah teladan dalam hal ini. Berinteraksi dengan lemah lembut, penuh kasih sayang, dan perhatian kepada anggota keluarga adalah kunci menciptakan suasana rumah yang bahagia. Keluarga yang bahagia adalah fondasi masyarakat yang kuat dan merupakan bagian dari kebahagiaan dunia yang menuntun pada kebahagiaan akhirat melalui pendidikan anak-anak yang saleh.

6.4. Kebahagiaan dalam Kesabaran Menghadapi Musibah

Musibah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, seorang mukmin dapat menemukan kebahagiaan bahkan dalam kesabaran menghadapi musibah.

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya. Dan ini tidak terjadi kecuali bagi seorang mukmin." (HR. Muslim)

Hadits ini telah disebutkan sebelumnya, namun penting untuk ditekankan kembali dalam konteks menghadapi musibah. Kebahagiaan dalam Islam bukanlah absennya masalah, melainkan kemampuan untuk menyikapi masalah dengan hati yang tenang dan iman yang teguh. Ketika seorang mukmin bersabar dalam musibah, ia tidak hanya mendapatkan pahala yang besar di akhirat, tetapi juga merasakan ketenangan batin karena meyakini bahwa semua berasal dari Allah dan akan ada hikmah di baliknya. Ini adalah kebahagiaan yang melampaui rasa sakit fisik atau kesedihan sementara, karena ia berakar pada hubungan dengan Sang Pencipta.

7. Meraih Kebahagiaan Abadi: Praktik Nyata

Setelah memahami berbagai dimensi kebahagiaan dari hadits-hadits Nabi ﷺ, langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa praktik nyata yang dapat membantu meraih kebahagiaan dunia dan akhirat:

7.1. Memperkuat Tauhid dan Keimanan

Fondasi utama kebahagiaan adalah tauhid yang murni, yaitu mengesakan Allah SWT dalam segala hal, baik dalam keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Keimanan yang kuat kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadha serta qadar akan memberikan ketenangan jiwa yang tidak tergoyahkan. Keimanan yang kokoh akan menjadikan seseorang tidak mudah putus asa, senantiasa berbaik sangka kepada Allah, dan yakin akan pertolongan-Nya.

Contoh nyata: Selalu memulai setiap aktivitas dengan menyebut nama Allah (Basmalah), mengakhiri dengan hamdalah (pujian kepada Allah), dan senantiasa merasa diawasi oleh-Nya.

7.2. Menjaga Shalat Lima Waktu dengan Khusyuk

Shalat adalah tiang agama dan penghubung antara hamba dengan Rabb-nya. Melaksanakan shalat tepat waktu dengan khusyuk akan mendatangkan ketenangan batin dan menjauhkan dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat adalah "mi'raj" bagi mukmin, momen untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia dan menemukan kedamaian.

Contoh nyata: Berusaha untuk memahami makna bacaan shalat, tidak terburu-buru dalam melaksanakannya, dan membayangkan sedang berbicara langsung dengan Allah.

7.3. Memperbanyak Dzikir dan Membaca Al-Qur'an

Dzikir adalah mengingat Allah, baik dengan lisan maupun hati. Membaca Al-Qur'an adalah berinteraksi langsung dengan kalamullah. Keduanya adalah sumber ketenangan dan penawar hati yang gelisah. Semakin banyak seseorang berdzikir dan membaca Al-Qur'an, semakin dekat ia dengan Allah, dan semakin bahagia hatinya.

Contoh nyata: Mengalokasikan waktu khusus setiap hari untuk membaca Al-Qur'an, meskipun hanya beberapa ayat, serta membiasakan dzikir pagi dan petang, atau dzikir harian seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir.

7.4. Bersyukur dalam Segala Keadaan

Syukur adalah kunci kebahagiaan. Orang yang bersyukur akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak mengeluh, dan selalu melihat sisi positif dalam setiap situasi. Syukur akan menarik lebih banyak nikmat dari Allah.

Contoh nyata: Membuat jurnal syukur harian, menyebutkan setidaknya tiga hal yang patut disyukuri setiap hari, bahkan dalam kesulitan sekalipun.

7.5. Sabar Menghadapi Ujian dan Musibah

Hidup tidak akan lepas dari ujian. Kesabaran adalah kunci untuk melewati setiap ujian dengan hati yang tenang. Sabar bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima takdir Allah setelah berusaha, dan berharap pahala dari-Nya.

Contoh nyata: Ketika menghadapi masalah, mengambil nafas dalam-dalam, beristighfar, dan mencoba mencari solusi sambil bertawakal kepada Allah. Mengingat hadits "semua urusan mukmin itu baik".

7.6. Berakhlak Mulia kepada Sesama

Perlakuan baik kepada orang tua, pasangan, anak-anak, kerabat, tetangga, dan bahkan semua makhluk adalah ibadah yang mendatangkan kebahagiaan. Dengan berakhlak mulia, seseorang akan disenangi oleh manusia dan dicintai oleh Allah.

Contoh nyata: Tersenyum, mengucapkan salam, membantu yang membutuhkan, memaafkan kesalahan orang lain, menahan amarah, dan tidak berbicara kotor.

7.7. Mencari Rezeki Halal dan Berinfak

Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban. Namun, harta yang halal akan menjadi berkah dan sumber kebahagiaan jika digunakan di jalan Allah, termasuk untuk berinfak dan bersedekah. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah tidak akan berkurang, melainkan akan kembali berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat.

Contoh nyata: Berusaha bekerja dengan jujur, membayar zakat, dan secara rutin menyisihkan sebagian harta untuk sedekah atau membantu orang lain.

7.8. Menuntut Ilmu Syar'i

Ilmu agama adalah penerang jalan. Dengan ilmu, seseorang dapat beribadah dengan benar, memahami tujuan hidupnya, dan terhindar dari kesesatan. Ilmu juga membimbing kita pada kebahagiaan sejati.

Contoh nyata: Menghadiri majelis ilmu, membaca buku-buku agama yang sahih, atau mempelajari Al-Qur'an dan Hadits secara mendalam.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa kebahagiaan dalam Islam adalah sebuah konsep yang komprehensif, mencakup dimensi duniawi dan ukhrawi. Hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ memberikan panduan yang sangat jelas tentang bagaimana meraih kebahagiaan sejati yang tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga abadi.

Kebahagiaan duniawi, seperti pasangan yang salihah, tempat tinggal yang nyaman, tetangga yang baik, dan kendaraan yang memadai, adalah anugerah yang patut disyukuri. Namun, kebahagiaan hakiki terletak pada ketenangan batin yang bersumber dari iman yang kuat, ibadah yang khusyuk, akhlak yang mulia, serta hubungan yang harmonis dengan Allah SWT dan sesama manusia.

Puncak dari segala kebahagiaan adalah kebahagiaan di akhirat, yaitu masuk surga dan mendapatkan anugerah tertinggi berupa memandang wajah Allah SWT. Untuk mencapainya, seorang muslim harus menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, tidak terlalu terikat pada dunia, dan senantiasa beramal saleh.

Dengan menerapkan pilar-pilar kebahagiaan dalam Islam—mulai dari memperkuat iman, menjaga shalat, memperbanyak dzikir, bersyukur, sabar, berakhlak mulia, mencari rezeki halal dan berinfak, hingga menuntut ilmu—setiap muslim dapat meniti jalan menuju ridha Ilahi, yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan yang sempurna dan abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang berbahagia.

🏠 Homepage