Dalam kerangka ajaran Islam, terdapat dua kategori utama amalan: ibadah fardhu (wajib) dan ibadah sunnah. Jika ibadah fardhu adalah tiang utama yang wajib ditegakkan—seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan zakat—maka ibadah sunnah adalah pelengkap vital yang menyempurnakan dan mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya.
Ibadah sunnah sering diartikan sebagai amalan yang dianjurkan, bukan diwajibkan. Namun, memandang remeh kedudukan sunnah adalah sebuah kekeliruan. Para ulama sepakat bahwa amalan sunnah berfungsi sebagai "lem" perekat yang menambal kekurangan yang mungkin terjadi pada ibadah fardhu yang dilaksanakan. Jika shalat wajib kita kurang sempurna karena kelalaian, pahala dari shalat sunnah (seperti rawatib atau tahajud) dapat menutupi kekurangan tersebut, berdasarkan banyak hadis sahih.
Keberadaan ibadah sunnah dalam kehidupan seorang Muslim memiliki beberapa fungsi krusial. Pertama, ia adalah sarana utama untuk mencapai tingkatan ihsan—beribadah seolah melihat Allah, dan jika tidak bisa melihat-Nya, maka yakin bahwa Allah melihat kita. Amalan sunnah melatih konsistensi dan disiplin spiritual di luar tuntutan kewajiban.
Kedua, sunnah adalah cerminan cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah SAW. Melaksanakan apa yang dicontohkan beliau, seperti shalat dhuha di pagi hari atau bersedekah secara rutin, adalah bentuk nyata mengikuti jejak beliau. Hal ini secara langsung meningkatkan kecintaan kepada Nabi dan memperkuat ikatan spiritualitas kita.
Terdapat berbagai jenis ibadah sunnah yang dapat diintegrasikan ke dalam rutinitas harian tanpa memberatkan. Salah satu yang paling populer adalah Shalat Rawatib, yaitu shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu. Melaksanakan 12 rakaat rawatib dalam sehari, misalnya, dijanjikan akan dibangunkan sebuah istana di surga.
Kemudian, ada Shalat Tahajud. Melakukan shalat ini di sepertiga malam terakhir memiliki keistimewaan luar biasa. Waktu tersebut adalah waktu mustajab untuk berdoa, di mana Allah SWT turun ke langit dunia. Mengorbankan kenyamanan tidur demi bermunajat kepada-Nya menunjukkan tingkat prioritas tertinggi seorang hamba kepada Penciptanya.
Selain ritual ibadah spesifik, terdapat pula muamalah yang bernilai sunnah. Contohnya adalah senyum kepada sesama, memberikan pertolongan, dan menjaga lisan dari ghibah. Rasulullah SAW bersabda bahwa senyum adalah sedekah. Ini menunjukkan bahwa ranah ibadah tidak terbatas pada masjid atau sajadah, melainkan meliputi seluruh aspek interaksi sosial kita.
Tantangan terbesar dalam menjalankan ibadah sunnah adalah konsistensi. Seringkali, semangat awal membuat kita melakukan banyak sunnah, namun semangat itu memudar ketika kesibukan dunia datang. Kunci keberhasilannya terletak pada prinsip "sedikit tapi istiqamah" (konsisten). Lebih baik melaksanakan satu sunnah secara rutin daripada sepuluh sunnah secara sporadis.
Mulailah dengan sunnah yang paling ringan dan mudah dijaga, misalnya berwudhu sebelum tidur atau membaca dzikir pagi dan petang. Ketika hati telah terbiasa dengan amalan-amalan kecil ini, secara bertahap kita akan menemukan kekuatan spiritual untuk menapaki tingkatan sunnah yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ibadah sunnah adalah investasi jangka panjang; ia menumbuhkan rasa syukur, meningkatkan kesabaran, dan menjadi penolong sejati di hari perhitungan kelak.
Dengan menyadari urgensi dan keindahan ibadah sunnah, seorang Muslim sesungguhnya sedang membangun fondasi spiritual yang kokoh, memastikan bahwa hubungan mereka dengan Allah SWT tidak hanya sekadar memenuhi kewajiban, tetapi juga dipenuhi dengan cinta, kerinduan, dan kedekatan yang tulus.