Pengantar: Memahami Hakikat Ijab dalam Pernikahan Islami
Pernikahan, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan sebuah ikrar suci, sebuah perjanjian agung yang disaksikan oleh Allah SWT dan makhluk-Nya. Inti dari perjanjian ini terletak pada proses ijab dan qabul, dua kata yang menjadi kunci sahnya sebuah pernikahan. Istilah "ijab" sendiri merujuk pada pernyataan penyerahan atau penawaran dari pihak wali wanita kepada calon mempelai pria, sedangkan "qabul" adalah pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria atas penawaran tersebut. Pertanyaan fundamental yang sering muncul adalah, "ijab diucapkan oleh siapa?" Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk ijab qabul, menyoroti peran sentral pihak-pihak yang terlibat, syarat-syarat sahnya, serta makna mendalam di balik setiap ucapan yang terlafal dalam momen sakral tersebut.
Ijab qabul merupakan rukun utama dalam akad nikah. Tanpa kehadiran dua elemen ini, pernikahan tidak dapat dianggap sah secara syariat. Proses ini bukan sekadar formalitas lisan, melainkan manifestasi dari kerelaan, persetujuan, dan komitmen yang mendalam. Dalam tradisi Islam, penyerahan dan penerimaan ini harus dilakukan dengan jelas, tanpa keraguan, dan di hadapan saksi-saksi yang memenuhi syarat. Dengan demikian, memahami secara komprehensif siapa yang bertanggung jawab mengucapkan ijab, bagaimana ia diucapkan, dan apa implikasinya, adalah esensial bagi setiap Muslim yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan.
Lebih dari sekadar prosedur, ijab qabul adalah sebuah deklarasi publik tentang dimulainya sebuah keluarga baru, yang bertujuan untuk mencapai sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Ia juga menjadi jembatan bagi terbentuknya hak dan kewajiban antara suami dan istri, serta antara keluarga besar kedua belah pihak. Oleh karena itu, setiap detail dalam pelaksanaan ijab qabul memiliki bobot syariat dan makna spiritual yang tidak bisa diabaikan. Mari kita selami lebih dalam.
Siapa yang Mengucapkan Ijab? Peran Krusial Wali Nikah
Dalam pernikahan Islami, jawaban atas pertanyaan "ijab diucapkan oleh siapa?" adalah **wali nikah** bagi pihak wanita. Wali adalah pihak yang memiliki kewenangan syar'i untuk menikahkan seorang perempuan. Kedudukan wali dalam pernikahan sangatlah fundamental, bahkan disebut sebagai salah satu rukun nikah yang tak terpisahkan. Tanpa kehadiran dan izin wali, pernikahan seorang perempuan dianggap tidak sah menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), kecuali dalam kondisi tertentu yang sangat jarang dan spesifik.
1. Definisi dan Pentingnya Wali Nikah
Wali nikah adalah seorang laki-laki yang memiliki hubungan kekerabatan dengan calon mempelai wanita, yang bertugas mewakili kepentingan syar'i wanita tersebut dalam akad pernikahan. Fungsi utama wali adalah menjaga kemaslahatan wanita, memastikan pernikahan dilakukan sesuai syariat, dan melindunginya dari potensi penipuan atau paksaan. Keberadaan wali menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah urusan pribadi semata antara dua individu, melainkan juga melibatkan persetujuan dan restu dari keluarga, khususnya pihak laki-laki yang bertanggung jawab atas perempuan tersebut.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang adil." (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hadis ini secara tegas menunjukkan urgensi wali dalam akad nikah. Oleh karena itu, ucapan ijab selalu menjadi hak dan kewajiban wali.
2. Urutan Prioritas Wali Nikah (Wali Mujbir dan Wali Nasab)
Terdapat hirarki dalam penentuan wali nikah. Urutan prioritas ini bertujuan untuk memastikan bahwa yang menjadi wali adalah orang yang paling dekat dan paling berhak menjaga kemaslahatan calon pengantin wanita. Urutan tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
- Ayah kandung: Beliau adalah wali paling utama dan memiliki otoritas penuh (wali mujbir), bahkan jika putrinya sudah dewasa. Namun, dalam praktik modern dan interpretasi yang lebih lunak, persetujuan putri tetap sangat ditekankan.
- Kakek dari pihak ayah (ayahnya ayah): Jika ayah sudah meninggal atau tidak mampu menjadi wali.
- Saudara laki-laki kandung: Jika tidak ada ayah dan kakek.
- Saudara laki-laki seayah: Jika tidak ada saudara kandung.
- Anak laki-laki dari saudara kandung (keponakan laki-laki dari saudara kandung): dan seterusnya ke bawah mengikuti garis keturunan laki-laki.
- Paman dari pihak ayah (saudara kandung ayah):
- Anak laki-laki dari paman dari pihak ayah (sepupu laki-laki dari pihak ayah):
- Dan seterusnya, mengikuti urutan `ashabah (kerabat laki-laki dari garis ayah).
Jika tidak ada satupun dari wali nasab (wali dari garis keturunan) yang memenuhi syarat atau keberadaannya tidak memungkinkan, maka perwalian beralih kepada Wali Hakim (atau Wali Sultan/Qadi). Di Indonesia, Wali Hakim adalah kepala Kantor Urusan Agama (KUA) atau petugas yang ditunjuk, yang diwakili oleh Penghulu. Situasi ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti wali nasab meninggal dunia, tidak diketahui keberadaannya, hilang, menolak tanpa alasan syar'i, atau berlainan agama.
3. Syarat-syarat Menjadi Wali Nikah
Seorang wali nikah harus memenuhi beberapa syarat agar ijab yang diucapkannya sah:
- Muslim: Wali harus beragama Islam. Seorang non-Muslim tidak bisa menjadi wali bagi wanita Muslimah.
- Laki-laki: Hanya laki-laki yang dapat menjadi wali nikah.
- Baligh (dewasa): Telah mencapai usia dewasa.
- Berakal sehat: Tidak gila atau dalam kondisi tidak sadar.
- Merdeka: Bukan seorang budak.
- Adil: Tidak dikenal sebagai pelaku dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil. Meskipun syarat keadilan ini menjadi perdebatan di kalangan ulama, secara umum yang dimaksud adalah tidak fasik.
- Tidak sedang ihram haji atau umrah: Karena orang yang sedang ihram dilarang menikah atau menikahkan.
Ketika wali mengucapkan ijab, ia bertindak sebagai perwakilan sah dari calon mempelai wanita. Oleh karena itu, penting bagi calon mempelai wanita untuk memberikan persetujuannya kepada walinya. Meskipun wali mujbir (ayah atau kakek) memiliki hak perwalian yang kuat, dalam Islam modern, persetujuan mutlak dari calon pengantin wanita adalah hal yang sangat ditekankan, tidak ada paksaan dalam pernikahan.
Dengan demikian, peran wali bukan hanya sekadar juru bicara, melainkan penjamin sahnya sebuah pernikahan dan pelindung kehormatan serta hak-hak wanita. Proses ijab diucapkan oleh wali, memastikan bahwa ikatan suci ini dibangun atas dasar prinsip-prinsip syariat yang kokoh.
Ijab dan Qabul: Pilar Utama Sahnya Pernikahan
Setelah memahami siapa yang mengucapkan ijab, mari kita selami lebih jauh tentang ijab dan qabul itu sendiri sebagai rukun fundamental. Keduanya adalah esensi dari akad nikah, yang menandakan terjadinya perjanjian suci antara kedua belah pihak.
1. Sighat Ijab: Ungkapan Penyerahan dari Wali
Sighat ijab adalah kalimat atau frasa yang diucapkan oleh wali nikah yang berisi penyerahan atau penawaran menikahkan putrinya kepada calon mempelai pria. Ucapan ini harus jelas, tegas, dan tidak mengandung keraguan atau syarat yang meragukan. Contoh sighat ijab yang umum adalah:
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau (nama calon suami) dengan putri saya (nama calon istri) dengan mahar (jumlah/bentuk mahar) tunai/dibayar hutang."
Atau variasi lain:
"Wahai (nama calon suami), saya serahkan pernikahan putri saya (nama calon istri) kepadamu dengan mahar (jumlah/bentuk mahar) tunai."
Penting untuk dicatat bahwa ucapan ijab ini harus dilakukan secara langsung oleh wali, bukan melalui perwakilan jika walinya hadir dan mampu berbicara. Jika wali tidak bisa berbahasa Indonesia, ia bisa mengucapkan ijab dalam bahasa aslinya, atau menggunakan penerjemah yang adil dan terpercaya, selama makna dan tujuannya jelas.
2. Sighat Qabul: Ungkapan Penerimaan dari Calon Suami
Sighat qabul adalah kalimat atau frasa yang diucapkan oleh calon mempelai pria sebagai bentuk penerimaan atas penawaran ijab dari wali. Ucapan ini juga harus jelas, tegas, dan tidak mengandung keraguan atau syarat yang bertentangan dengan syariat. Qabul harus diucapkan segera setelah ijab, menunjukkan kesinambungan dan kesepakatan langsung.
Contoh sighat qabul yang umum adalah:
"Saya terima nikah dan kawinnya (nama calon istri) dengan mahar tersebut tunai/dibayar hutang."
Atau variasi lain:
"Saya terima pernikahan (nama calon istri) dengan mahar yang telah disebutkan."
Calon suami harus mengucapkan qabul ini dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Tidak boleh ada paksaan atau tekanan. Keselarasan antara ijab dan qabul adalah kunci. Artinya, apa yang ditawarkan dalam ijab harus persis sama dengan apa yang diterima dalam qabul, terutama mengenai identitas calon istri dan jumlah/bentuk mahar.
3. Syarat-syarat Sah Ijab dan Qabul
Agar ijab dan qabul sah, beberapa syarat harus dipenuhi:
- Jelas dan Tegas (Sarih): Ucapan ijab dan qabul harus menggunakan kata-kata yang secara eksplisit menunjukkan maksud pernikahan, tidak ambigu, dan tidak multitafsir. Contohnya menggunakan kata "nikah" atau "kawin".
- Saling Bersambung (Itishal): Antara ijab dan qabul harus ada kesinambungan tanpa jeda yang terlalu lama atau diselingi dengan ucapan lain yang tidak relevan. Jika ada jeda, jeda tersebut harus singkat dan tidak memutus maksud dari ijab qabul.
- Kesesuaian Makna: Isi ijab dan qabul harus saling sesuai. Apa yang diucapkan oleh wali dalam ijab harus sama dengan apa yang diterima oleh calon suami dalam qabul, khususnya mengenai identitas mempelai wanita dan mahar.
- Dapat Didengar dan Dipahami: Kedua belah pihak (wali, calon suami, dan saksi) harus dapat mendengar dan memahami ucapan ijab dan qabul.
- Tidak Bersyarat: Pernikahan harus terjadi secara mutlak tanpa syarat yang menggantung atau membatalkan hakikat pernikahan. Misalnya, tidak boleh mengucapkan, "Saya nikahkan kamu jika anak saya lulus sekolah," atau "Saya terima nikahnya jika nanti saya dapat pekerjaan."
- Dilakukan di Hadapan Saksi: Ijab dan qabul harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi laki-laki Muslim yang adil dan memenuhi syarat.
Proses ijab qabul adalah momen yang sangat sakral, di mana dua jiwa disatukan dalam ikatan yang direstui oleh Allah. Karena ijab diucapkan oleh wali dan qabul diucapkan oleh calon suami, keduanya memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap kata yang terucap memenuhi syarat syariat dan membawa berkah.
Rukun Nikah Selain Ijab dan Qabul: Mengapa Setiap Elemen Penting
Selain ijab dan qabul, terdapat rukun-rukun lain yang wajib dipenuhi agar pernikahan dianggap sah secara syariat. Memahami seluruh rukun ini akan memberikan gambaran lengkap tentang betapa komprehensifnya Islam dalam mengatur ikatan suci ini. Kelengkapan rukun ini memastikan validitas dan keberkahan pernikahan. Dengan demikian, meskipun pertanyaan inti adalah "ijab diucapkan oleh siapa?", konteks rukun lainnya tidak bisa dikesampingkan.
1. Adanya Calon Suami dan Calon Istri
Tentu saja, pernikahan tidak akan terjadi tanpa adanya dua individu yang akan menikah. Kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar pernikahan mereka sah:
- Islam: Keduanya harus beragama Islam. Seorang wanita Muslimah tidak sah menikah dengan pria non-Muslim. Namun, pria Muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) meskipun dalam konteks Indonesia biasanya diarahkan untuk Muslimah saja.
- Bukan Mahram: Keduanya bukan mahram satu sama lain, baik karena hubungan darah (nasab), persusuan (radha'ah), maupun ikatan pernikahan (mushaharah). Misalnya, tidak boleh menikah dengan ibu kandung, saudara perempuan, ibu mertua, anak tiri, dll.
- Tidak dalam Ikatan Pernikahan Lain: Calon suami tidak boleh memiliki istri lebih dari empat pada saat bersamaan, dan calon istri tidak boleh sedang dalam ikatan pernikahan dengan pria lain, atau dalam masa iddah (masa tunggu) setelah perceraian/kematian suami sebelumnya.
- Tidak sedang Ihram Haji/Umrah: Keduanya tidak sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah.
- Saling Ridha (setuju): Harus ada kerelaan dari kedua belah pihak, terutama dari calon pengantin wanita. Islam melarang pernikahan yang didasarkan pada paksaan.
Kehadiran dan kesiapan kedua calon mempelai adalah fondasi awal sebelum proses ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh calon suami.
2. Adanya Wali Nikah
Sebagaimana telah dijelaskan secara mendalam, wali nikah adalah rukun yang sangat penting. Peran wali adalah sebagai pihak yang sah secara syariat untuk menikahkan perempuan. Dialah yang mengucapkan ijab. Tanpa wali, pernikahan seorang perempuan Muslimah tidak sah menurut mayoritas ulama. Fungsi wali adalah untuk melindungi hak-hak wanita dan memastikan bahwa pernikahan dilakukan demi kemaslahatannya dan sesuai syariat. Kehadiran fisik wali (atau perwakilannya yang sah seperti wali hakim) saat akad adalah wajib.
3. Adanya Dua Orang Saksi
Saksi-saksi memegang peranan krusial dalam akad nikah. Kehadiran mereka memastikan transparansi dan keabsahan pernikahan di mata masyarakat. Tujuan adanya saksi adalah untuk menghindari fitnah, perselisihan, dan sebagai bukti jika suatu saat terjadi sengketa. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil."
Syarat-syarat saksi nikah:
- Muslim: Keduanya harus beragama Islam.
- Laki-laki: Keduanya harus laki-laki. Tidak sah jika hanya wanita atau campuran.
- Baligh (dewasa): Telah mencapai usia dewasa.
- Berakal sehat: Tidak gila atau dalam kondisi tidak sadar.
- Adil: Artinya tidak dikenal sebagai pelaku dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil. Mereka harus orang-orang yang bisa dipercaya kesaksiannya.
- Mendengar dan Memahami Ijab dan Qabul: Kedua saksi harus mendengar secara langsung proses ijab dan qabul serta memahami maknanya.
- Tidak sedang Ihram Haji/Umrah: Sama seperti calon mempelai dan wali.
Saksi memastikan bahwa ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh calon suami dilakukan dengan benar dan sah.
4. Adanya Mahar (Maskawin)
Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai bentuk penghargaan, penghormatan, dan kesungguhan pria untuk menikahi wanita tersebut. Mahar bukanlah harga beli atau imbalan, melainkan hak penuh istri. Besarannya disepakati bersama, dan tidak ada batasan minimal atau maksimal dalam syariat, asalkan memiliki nilai dan bermanfaat. Mahar bisa berupa uang, emas, perak, barang berharga, hafalan Al-Qur'an, jasa, atau apapun yang memiliki nilai. Mahar wajib disebutkan dalam ijab dan qabul.
Meskipun mahar bukan syarat sahnya ijab qabul dalam arti ucapan, namun ia merupakan rukun nikah yang wajib ada dan disebutkan saat akad berlangsung. Jika lupa disebutkan, pernikahan tetap sah, namun suami wajib membayarkan mahar mitsil (mahar setara dengan wanita sepertinya). Oleh karena itu, dalam praktik, mahar selalu menjadi bagian integral yang disebut ketika ijab diucapkan oleh wali.
Kelima rukun ini (calon suami, calon istri, wali, saksi, dan ijab-qabul yang mencakup mahar) adalah fondasi sahnya sebuah pernikahan dalam Islam. Mengabaikan salah satunya akan membuat pernikahan menjadi tidak sah dan tidak diberkahi.
Implikasi Hukum dan Sosial Setelah Ijab Diucapkan Oleh Wali
Momen setelah ijab diucapkan oleh wali dan dijawab dengan qabul oleh calon suami bukanlah sekadar akhir dari sebuah seremoni, melainkan awal dari perubahan status hukum dan sosial yang mendalam bagi kedua belah pihak. Deklarasi suci ini memiliki implikasi yang luas, baik dalam perspektif syariat Islam maupun hukum positif negara, khususnya di Indonesia.
1. Perubahan Status Hukum dan Pembentukan Keluarga
Saat ijab qabul telah terucap dengan sah, secara hukum Islam, pria dan wanita tersebut resmi menjadi suami istri. Ini berarti:
- Halalnya Hubungan Suami Istri: Hubungan seksual yang sebelumnya haram menjadi halal dan bahkan dianjurkan sebagai ibadah.
- Terbentuknya Hak dan Kewajiban: Suami memiliki kewajiban menafkahi istri (sandang, pangan, papan, kesehatan), memberikan perlindungan, dan memperlakukannya dengan baik. Istri memiliki kewajiban menaati suami dalam hal kebaikan, menjaga kehormatan diri dan harta suami, serta mengurus rumah tangga.
- Hubungan Kekerabatan Baru: Terbentuknya hubungan mahram antara suami dengan ibu mertua dan anak tiri istri, serta istri dengan ayah mertua dan anak tiri suami.
- Warisan: Keduanya berhak saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia.
- Nasab Anak: Anak yang lahir dari pernikahan sah secara otomatis dinasabkan kepada suami.
Di Indonesia, setelah ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh suami, serta dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (Penghulu) dari KUA, pernikahan tersebut juga sah secara hukum negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pencatatan ini sangat penting untuk pengakuan hak-hak hukum, seperti hak waris, hak asuh anak, dan administrasi kependudukan.
2. Tanggung Jawab dan Amanah
Pernikahan dalam Islam disebut sebagai `mitsaqan ghalizhan`, yaitu perjanjian yang sangat kuat dan berat. Ini bukan hanya perjanjian antara dua individu, melainkan juga antara individu dengan Allah SWT. Suami dan istri memikul amanah besar untuk menjalankan rumah tangga sesuai ajaran Islam, membimbing satu sama lain menuju kebaikan, dan mendidik anak-anak dengan nilai-nilai agama.
Ketika ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh suami, mereka berdua secara tidak langsung berjanji di hadapan Allah untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, serta membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
3. Perubahan Status Sosial
Secara sosial, individu yang telah menikah akan dipandang dengan status yang berbeda dalam masyarakat. Mereka dianggap sebagai individu yang telah memenuhi separuh agamanya (bagi laki-laki dan perempuan), dan diharapkan dapat berkontribusi positif sebagai unit keluarga. Pernikahan juga memperluas jaringan kekerabatan, menghubungkan dua keluarga besar menjadi satu kesatuan.
Terutama bagi wanita, pernikahan mengubah statusnya dari anak perempuan yang berada di bawah perwalian ayah/wali, menjadi istri yang memiliki tanggung jawab dan hak mandiri bersama suaminya. Meskipun demikian, ikatan emosional dan kekeluargaan dengan wali dan keluarga asalnya tetap terjalin erat.
4. Pencegahan Zina dan Pemeliharaan Keturunan
Salah satu tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah menjaga kehormatan diri, menjauhkan dari perbuatan zina, dan melestarikan keturunan secara sah. Dengan ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh calon suami, hubungan intim menjadi halal dan diberkahi, serta menjadi landasan bagi lahirnya generasi penerus yang jelas nasabnya dan terjaga kehormatannya.
Dengan demikian, dampak dari ucapan ijab qabul sangat fundamental dan komprehensif, mencakup aspek hukum, spiritual, dan sosial. Momen ini menandai transisi penting dalam kehidupan seseorang, dari lajang menjadi bagian dari sebuah keluarga baru yang memiliki tujuan mulia dalam pandangan Islam.
Ijab Qabul dalam Perspektif Berbagai Mazhab dan Hukum Positif Indonesia
Meskipun prinsip dasar ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh calon suami adalah universal dalam Islam, terdapat beberapa nuansa dan perbedaan pandangan di antara mazhab-mazhab fikih yang berbeda. Pemahaman ini penting untuk melihat keluasan interpretasi syariat, sekaligus relevansinya dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
1. Perbedaan Pandangan Mazhab Fikih tentang Wali dan Ijab
- Mazhab Syafi'i (Mayoritas di Indonesia): Mazhab ini sangat menekankan pentingnya wali nikah. Pernikahan seorang wanita Muslimah tanpa wali nasab atau wali hakim dianggap tidak sah. Ijab mutlak diucapkan oleh wali (atau wakilnya). Mazhab Syafi'i juga mensyaratkan dua saksi laki-laki yang adil.
- Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang lebih lunak terkait wali. Wanita baligh dan berakal sehat, dalam mazhab ini, memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, asalkan dia memilih pasangan yang setara (kufu'). Meskipun demikian, wali tetap dianjurkan dan lebih utama. Namun, jika wali menolak tanpa alasan yang syar'i, wanita tersebut boleh menikah tanpa wali. Dalam praktik modern, bahkan di mazhab Hanafi, kehadiran wali tetap menjadi praktik umum untuk menghindari fitnah dan menjaga maslahat.
- Mazhab Maliki: Mazhab Maliki juga mensyaratkan wali, namun memberikan pilihan bagi wanita baligh dan berakal untuk menikahkan dirinya sendiri jika walinya menolak tanpa alasan yang syar'i atau tidak ada wali. Namun, wali tetap memiliki peran penting dalam mencegah pernikahan yang tidak setara (tidak kufu').
- Mazhab Hanbali: Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang mirip dengan Syafi'i, sangat menekankan kehadiran wali. Pernikahan tanpa wali dianggap tidak sah. Wali, dalam mazhab ini, memiliki hak untuk memaksa wanita perawan untuk menikah (wali mujbir), meskipun ini harus dilakukan demi kemaslahatan wanita tersebut.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan fleksibilitas fiqh Islam dalam mengakomodasi berbagai kondisi, meskipun mayoritas umat Islam di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi'i yang menegaskan bahwa ijab diucapkan oleh wali.
2. Hukum Positif Indonesia: Relevansi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku di Indonesia, secara garis besar sangat selaras dengan pandangan jumhur ulama, khususnya Mazhab Syafi'i. KHI secara tegas mengatur bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14 KHI menyebutkan rukun nikah: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan qabul. Ini secara eksplisit menegaskan bahwa ijab diucapkan oleh wali adalah rukun yang tak terpisahkan.
- Wali Nikah dalam KHI: Pasal 19 KHI mengatur urutan wali nasab secara rinci, sama seperti urutan yang telah dijelaskan sebelumnya. Pasal 23 KHI juga mengatur tentang Wali Hakim, yaitu jika wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat.
- Saksi dalam KHI: Pasal 24 KHI mensyaratkan dua orang saksi laki-laki yang beragama Islam, baligh, dan berakal sehat.
- Ijab dan Qabul dalam KHI: Pasal 29 KHI menyatakan bahwa ijab qabul dilakukan oleh wali atau wakilnya dan calon mempelai pria, dengan jelas dan terang, dan saling bersesuaian.
- Pencatatan Pernikahan: Meskipun akad secara syariat adalah inti, KHI sangat menekankan pentingnya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Pencatatan ini bukan syarat sahnya pernikahan secara agama, melainkan syarat sahnya pernikahan secara hukum negara. Tanpa dicatat, pernikahan yang sah secara agama tetap dianggap tidak sah di mata negara, yang berimplikasi pada hak-hak legal pasangan dan anak-anak mereka.
Singkatnya, hukum di Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip Islam yang kuat mengenai akad nikah, termasuk ketentuan bahwa ijab diucapkan oleh wali nikah. Ini menunjukkan adanya harmonisasi antara hukum agama dan hukum negara untuk menjaga kemaslahatan umat dan ketertiban sosial.
Mitos dan Kesalahpahaman Seputar Ijab dan Wali
Meskipun konsep ijab diucapkan oleh wali sudah jelas dalam syariat Islam, namun masih banyak beredar mitos dan kesalahpahaman di masyarakat terkait proses ini. Penjelasan berikut bertujuan untuk meluruskan beberapa miskonsepsi tersebut.
1. Mitos: Wanita Bisa Menikah Tanpa Wali Asalkan Saling Cinta
Ini adalah kesalahpahaman yang paling umum. Dalam Mazhab Syafi'i yang dominan di Indonesia, pernikahan wanita tanpa wali adalah tidak sah (`fasid`). Meskipun cinta dan kerelaan kedua belah pihak adalah esensial, namun ia tidak bisa menggantikan rukun wali nikah. Wali berfungsi sebagai pelindung dan penjamin kepentingan syar'i wanita. Wanita yang menikah tanpa wali seringkali disebut "nikah siri" yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial di kemudian hari, terutama terkait status anak dan hak-hak istri.
2. Mitos: Wali Boleh Menikahkan Anaknya Tanpa Persetujuan
Meskipun seorang ayah (wali mujbir) memiliki hak perwalian yang kuat, Islam modern sangat menekankan pentingnya persetujuan dari calon pengantin wanita. Pernikahan yang dipaksakan adalah haram dan tidak sah menurut banyak ulama kontemporer, meskipun ada perbedaan pandangan di masa lalu. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh mengawinkan janda sampai ia dimintai persetujuannya, dan tidak boleh mengawinkan perawan sampai ia diminta izinnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun izin perawan bisa berupa diamnya, namun kerelaan hati adalah yang utama. Pernikahan tanpa kerelaan wanita adalah pernikahan yang zalim dan tidak akan membawa berkah.
3. Mitos: Wali Tidak Penting Jika Sudah Dewasa dan Mandiri
Usia dewasa dan kemandirian finansial seorang wanita tidak menghilangkan kewajiban adanya wali nikah. Kewajiban wali bukan hanya terkait kedewasaan fisik atau finansial, melainkan pada aspek syariat sebagai pelindung dan penyerah wanita dalam akad. Ijab diucapkan oleh wali adalah syarat sah yang tetap berlaku regardless of usia atau status ekonomi wanita.
4. Mitos: Ijab Qabul Boleh Dilakukan Melalui Telepon atau Video Call
Mayoritas ulama kontemporer berpendapat bahwa ijab qabul harus dilakukan secara langsung (`hadhir`) di satu majelis (`majlis akad`), di mana wali, calon suami, dan saksi-saksi hadir bersamaan. Komunikasi melalui telepon atau video call dianggap tidak memenuhi syarat majelis yang sama, karena adanya jeda waktu dan potensi manipulasi. Tujuan dari majelis adalah untuk memastikan kejelasan, ketiadaan paksaan, dan kesaksian yang valid. Meskipun ada sebagian kecil ulama yang memperbolehkan dengan syarat ketat, praktik ini tidak lazim dan tidak dianjurkan. Di Indonesia, KUA mengharuskan kehadiran fisik.
5. Mitos: Saksi Bisa Siapa Saja, Termasuk Wanita
Saksi nikah haruslah dua orang laki-laki Muslim, baligh, berakal, dan adil. Kesaksian wanita dalam pernikahan tidak dianggap cukup sebagai saksi utama dalam akad nikah oleh mayoritas ulama. Fungsi saksi adalah untuk memberikan bukti dan menjamin keabsahan di mata syariat, dan dalam hal ini, kesaksian dua laki-laki dinilai lebih kuat.
6. Mitos: Mahar Adalah Harga Perempuan
Ini adalah kesalahpahaman yang sangat merugikan. Mahar bukanlah harga jual beli perempuan. Mahar adalah simbol penghargaan, kesungguhan, dan bentuk tanggung jawab awal dari calon suami kepada calon istri. Ia sepenuhnya menjadi hak milik istri untuk dipergunakan sesuai kehendaknya. Islam memuliakan wanita, dan mahar adalah salah satu bentuk pemuliaan tersebut.
Meluruskan mitos-mitos ini penting agar umat Islam dapat melaksanakan pernikahan sesuai syariat yang benar, sehingga ikatan yang terbentuk tidak hanya sah di mata agama tetapi juga diberkahi dan terhindar dari potensi masalah di masa depan. Pemahaman yang benar tentang ijab diucapkan oleh siapa dan bagaimana prosesnya adalah langkah awal menuju pernikahan yang kokoh dan bahagia.
Peran Penghulu dan Proses Administrasi di KUA
Di Indonesia, selain rukun-rukun nikah syar'i, terdapat juga proses administrasi yang diatur oleh negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Meskipun Penghulu (Pegawai Pencatat Nikah) bukanlah rukun nikah secara syar'i, perannya sangat sentral dalam memastikan pernikahan sah secara hukum negara dan terlaksana dengan tertib. Pemahaman tentang peran ini melengkapi jawaban atas pertanyaan "ijab diucapkan oleh siapa?" dalam konteks praktis di Indonesia.
1. Penghulu: Fasilitator dan Pencatat Nikah
Penghulu adalah pejabat fungsional di lingkungan Kementerian Agama yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk. Dalam akad nikah, Penghulu bertindak sebagai:
- Verifikator Syarat Nikah: Memastikan semua syarat pernikahan telah terpenuhi, baik syarat administrasi maupun syariat, sebelum akad dimulai.
- Pembimbing Pernikahan: Memberikan nasihat pra-nikah kepada calon pengantin.
- Saksi Resmi: Meskipun ada dua saksi syar'i dari pihak keluarga, Penghulu juga berfungsi sebagai saksi resmi negara dan penjamin bahwa proses akad telah dilaksanakan dengan benar.
- Pencatat Nikah: Ini adalah peran utamanya. Setelah ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh suami, Penghulu akan mencatat pernikahan tersebut ke dalam Akta Nikah dan memberikan Buku Nikah kepada kedua mempelai.
- Wali Hakim (jika diperlukan): Dalam kasus-kasus tertentu, jika wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat, Penghulu dapat bertindak sebagai Wali Hakim.
2. Proses Administrasi Pra-Akad di KUA
Sebelum akad nikah dapat dilaksanakan, calon pengantin diwajibkan untuk mengurus berbagai dokumen dan melengkapi prosedur administrasi di KUA:
- Pendaftaran: Calon pengantin harus mendaftarkan rencana pernikahannya di KUA tempat calon istri berdomisili minimal 10 hari kerja sebelum hari-H (kecuali ada dispensasi).
- Melengkapi Dokumen: Berkas-berkas seperti surat pengantar dari desa/kelurahan (N1, N2, N4), fotokopi KTP, KK, akta kelahiran, pas foto, surat persetujuan mempelai, dan surat izin orang tua/wali (jika diperlukan).
- Pemeriksaan Kesehatan: Beberapa daerah mewajibkan pemeriksaan kesehatan atau konseling pranikah.
- Kursus Calon Pengantin (Suscatin): KUA juga menyelenggarakan kursus calon pengantin sebagai bekal membina rumah tangga.
Seluruh proses administrasi ini dirancang untuk memastikan bahwa pernikahan dilaksanakan sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia, melindungi hak-hak pasangan, dan meminimalisir masalah di kemudian hari.
3. Pelaksanaan Akad Nikah di KUA atau Luar KUA
Akad nikah bisa dilaksanakan di kantor KUA (biasanya gratis) atau di luar kantor KUA (dengan biaya tertentu yang telah ditetapkan). Apapun lokasinya, prosesi inti akad nikah tetap sama:
- Pembukaan dan Khutbah Nikah: Penghulu biasanya memulai dengan khutbah nikah (ceramah singkat tentang ajaran dan hikmah pernikahan dalam Islam).
- Penyerahan Mahar: Secara simbolis atau fisik, mahar diserahkan.
- Proses Ijab dan Qabul: Wali nikah mengucapkan ijab kepada calon mempelai pria, yang kemudian dijawab dengan qabul oleh calon mempelai pria. Semua dilakukan di hadapan Penghulu dan dua saksi.
- Doa Penutup: Setelah ijab qabul sah, acara ditutup dengan doa untuk keberkahan pernikahan.
- Penandatanganan Buku Nikah: Penghulu, kedua mempelai, wali, dan saksi menandatangani Akta Nikah dan mendapatkan Buku Nikah sebagai bukti sah pernikahan di mata negara.
Pentingnya peran KUA dan Penghulu di Indonesia tidak bisa diremehkan. Mereka memastikan bahwa pernikahan tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga diakui dan dilindungi oleh hukum negara, memberikan kepastian hukum dan sosial bagi setiap keluarga Muslim.
Mendalami Makna Spiritual Ijab Qabul: Sebuah Ikatan Suci
Di balik formalitas ucapan ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh calon suami, tersembunyi makna spiritual yang sangat dalam. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar kontrak sosial, melainkan sebuah ibadah agung, `mitsaqan ghalizhan` (perjanjian yang kuat) antara individu dengan Allah SWT. Memahami dimensi spiritual ini akan meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab dan keagungan ikatan pernikahan.
1. Pernikahan sebagai Ibadah
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka bertakwalah ia kepada Allah pada separuh yang lain." (HR. Al-Baihaqi). Hadis ini menegaskan bahwa pernikahan adalah bagian integral dari kesempurnaan iman seorang Muslim. Dengan menikah, seorang individu memasuki fase kehidupan yang baru, di mana setiap interaksi, setiap nafkah, setiap upaya membangun keluarga yang harmonis bernilai ibadah di sisi Allah.
Ketika ijab diucapkan oleh wali dan qabul oleh suami, mereka berdua tidak hanya berjanji satu sama lain, tetapi juga berjanji di hadapan Allah untuk menjalankan amanah pernikahan ini sesuai dengan petunjuk-Nya.
2. Mitsaqan Ghalizhan: Perjanjian yang Agung
Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa ayat 21 menyebutkan pernikahan sebagai `mitsaqan ghalizhan`, sebuah perjanjian yang amat kokoh dan berat. Ungkapan ini juga digunakan untuk perjanjian antara Allah dengan para Nabi. Hal ini menunjukkan betapa luhur dan seriusnya ikatan pernikahan. Ia bukan main-main, melainkan komitmen seumur hidup yang memerlukan kesabaran, pengertian, pengorbanan, dan ketakwaan.
Kedalaman makna ini seharusnya menumbuhkan rasa takut kepada Allah untuk melanggar janji pernikahan, serta mendorong pasangan untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam dalam membina rumah tangga.
3. Tujuan Utama: Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah
Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 21: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Ayat ini merangkum tujuan utama pernikahan: mencapai `sakinah` (ketenangan jiwa), `mawaddah` (cinta yang mendalam), dan `rahmah` (kasih sayang dan belas kasihan). Ijab qabul adalah pintu gerbang menuju pencapaian tujuan-tujuan luhur ini. Melalui ijab qabul, kedua insan diberikan kesempatan untuk saling melengkapi, menemukan kedamaian, dan menumbuhkan kasih sayang yang murni, semata-mata karena Allah.
4. Pengorbanan dan Tanggung Jawab dalam Membangun Keluarga
Ucapan ijab dan qabul adalah awal dari perjalanan yang penuh pengorbanan dan tanggung jawab. Suami bertanggung jawab penuh atas nafkah, perlindungan, dan bimbingan spiritual bagi istri dan anak-anaknya. Istri juga memiliki peran penting dalam mengelola rumah tangga, mendidik anak, dan menjadi penyejuk mata bagi suami. Setiap peran ini adalah ibadah, dan pelaksanaannya dengan ikhlas akan mendatangkan pahala yang besar.
Ketika ijab diucapkan oleh wali dan calon suami menjawab dengan qabul, mereka secara tidak langsung bersumpah untuk mengemban tanggung jawab ini dengan sebaik-baiknya, mengutamakan keluarga di atas kepentingan pribadi, dan menjadikan rumah tangga sebagai benteng keimanan.
5. Pernikahan sebagai Sunnah Nabi
Pernikahan adalah salah satu sunnah utama Rasulullah SAW. Beliau menganjurkan umatnya untuk menikah, karena di dalamnya terdapat kebaikan dunia dan akhirat. Dengan mengikuti sunnah ini, umat Islam berharap mendapatkan keberkahan dan syafaat dari Nabi di hari kiamat. Proses ijab qabul adalah bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan sunnah ini.
Pada akhirnya, ijab qabul bukan hanya serangkaian kata, melainkan sebuah portal menuju kehidupan baru yang penuh berkah, tanggung jawab, dan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Memahami bahwa ijab diucapkan oleh wali bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah manifestasi dari perjanjian suci yang harus dijaga dengan sepenuh hati, akan membuat setiap pasangan menghargai ikatan ini lebih dalam.
Studi Kasus dan Varian Ijab Qabul: Nuansa dalam Pelaksanaannya
Meskipun prinsip dasar ijab diucapkan oleh wali sudah baku, ada beberapa studi kasus dan varian pelaksanaan ijab qabul yang patut diperhatikan, terutama dalam kondisi khusus. Memahami nuansa ini penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami syariat.
1. Wali Berhalangan Hadir atau Tidak Mampu Berbicara
Jika wali nasab yang seharusnya hadir berhalangan karena sakit, bepergian jauh, atau tidak mampu berbicara (misalnya karena stroke atau bisu), maka ia dapat mewakilkan perwaliannya kepada orang lain yang memenuhi syarat (misalnya saudara laki-laki atau orang terpercaya lainnya) dengan akad perwakilan (wakalah). Orang yang diwakilkan inilah yang nantinya akan mengucapkan ijab.
Jika wali nasab tidak ada sama sekali atau menolak tanpa alasan syar'i yang diterima, maka perwalian akan jatuh kepada Wali Hakim (Penghulu di Indonesia). Dalam kondisi ini, Wali Hakimlah yang akan mengucapkan ijab.
2. Ijab Qabul dengan Bahasa Selain Bahasa Indonesia
Syarat sah ijab qabul adalah dapat dipahami oleh semua pihak yang hadir (wali, calon suami, dan saksi). Jika wali atau calon suami tidak memahami Bahasa Indonesia, ijab qabul dapat diucapkan dalam bahasa lain yang mereka pahami, seperti Bahasa Arab, Inggris, atau bahasa daerah. Namun, sangat disarankan untuk ada penerjemah yang adil dan terpercaya untuk memastikan tidak ada kesalahan makna. Intinya, ijab diucapkan oleh wali dengan kalimat yang dimengerti secara jelas oleh calon suami dan saksi.
3. Pernikahan dengan Wanita Janda
Meskipun wali tetap wajib ada untuk wanita janda, hak persetujuan janda lebih ditekankan secara eksplisit. Janda tidak bisa dipaksa menikah oleh walinya. Rasulullah SAW bersabda, "Janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai persetujuannya, dan gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai izinnya." (HR. Muslim). Meskipun ijab diucapkan oleh wali, persetujuan lisan dan eksplisit dari janda adalah suatu keharusan.
4. Pernikahan dengan Calon Suami yang Berbeda Warga Negara
Proses ijab qabul tetap sama. Perbedaan warga negara tidak menghilangkan rukun pernikahan. Namun, akan ada tambahan persyaratan administrasi yang lebih kompleks, terutama terkait dokumen imigrasi dan legalitas pernikahan di kedua negara. KUA akan memastikan bahwa semua dokumen dari negara asal calon suami sudah diterjemahkan dan dilegalisir. Dalam hal bahasa, jika calon suami tidak berbahasa Indonesia, ijab qabul dapat dilakukan dengan penerjemah.
5. Kasus Wali Adhol (Wali Menolak Tanpa Alasan Syar'i)
Jika wali nasab yang sah menolak untuk menikahkan perempuan dengan laki-laki pilihannya tanpa alasan yang syar'i (misalnya karena perbedaan status sosial, bukan agama atau akhlak), maka perwaliannya dapat dicabut oleh pengadilan agama. Dalam kasus ini, perwalian akan beralih ke Wali Hakim. Setelah putusan pengadilan agama keluar, Wali Hakimlah yang akan mengucapkan ijab dalam akad nikah.
6. Pernikahan dengan `Wali Ghairu Mujbir` (Wali Selain Ayah dan Kakek)
Wali `ghairu mujbir` (seperti saudara laki-laki, paman, dll.) tidak memiliki hak untuk memaksa seorang wanita untuk menikah. Mereka tetap harus mendapatkan izin dan kerelaan penuh dari calon pengantin wanita. Mereka akan mengucapkan ijab atas dasar persetujuan penuh dari wanita yang bersangkutan.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa meskipun prinsip ijab diucapkan oleh wali adalah konstan, pelaksanaan dan interpretasinya bisa memiliki varian sesuai kondisi dan mazhab yang dianut. Penting bagi calon pengantin dan keluarga untuk berkonsultasi dengan ulama atau KUA setempat untuk memastikan semua proses berjalan sesuai syariat dan hukum yang berlaku.
Penutup: Keagungan Janji Ketika Ijab Diucapkan Oleh Wali
Dari pembahasan yang panjang lebar ini, kita dapat menarik benang merah tentang betapa fundamental dan sakralnya proses ijab qabul dalam pernikahan Islami. Pertanyaan inti, **"ijab diucapkan oleh siapa?"**, telah terjawab dengan gamblang: ia adalah hak dan kewajiban yang diemban oleh **wali nikah** bagi calon mempelai wanita, atau oleh wakilnya yang sah, seperti Wali Hakim dalam kondisi tertentu.
Peran wali bukanlah sekadar formalitas. Ia adalah perwujudan dari tanggung jawab keluarga, penjamin kehormatan wanita, dan pelaksana syariat Allah dalam sebuah ikatan suci. Ucapan ijab yang keluar dari lisan wali, disusul dengan qabul yang tegas dari calon suami, merupakan deklarasi resmi di hadapan Allah, saksi, dan masyarakat, bahwa dua jiwa telah dipersatukan dalam ikatan pernikahan yang sah.
Proses ini, yang juga didukung oleh keberadaan rukun-rukun lain seperti calon suami, calon istri, saksi, dan mahar, membentuk sebuah struktur pernikahan yang kokoh, teratur, dan penuh berkah. Hukum positif di Indonesia pun, melalui Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menegaskan kembali pentingnya rukun-rukun ini, termasuk bahwa ijab diucapkan oleh wali, demi terciptanya ketertiban dan perlindungan hukum bagi setiap keluarga Muslim.
Lebih dari sekadar prosedur hukum, ijab qabul adalah janji spiritual. Ini adalah `mitsaqan ghalizhan`, perjanjian agung yang mengikat suami dan istri untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, sesuai tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Setiap kata yang terucap dalam akad nikah mengandung bobot dan makna yang mendalam, mengingatkan pasangan akan amanah besar yang kini mereka pikul bersama.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif dan mencerahkan bagi setiap Muslim yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan, atau bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan tentang salah satu ibadah teragung ini. Dengan memahami esensi dan detail ijab qabul, kita berharap dapat membangun rumah tangga yang tidak hanya sah di dunia, tetapi juga diberkahi dan diridhai Allah SWT hingga ke jannah-Nya.