Ijab Kabul dalam Bahasa Arab: Fondasi Pernikahan Suci dalam Islam

Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci yang mengikat dua jiwa dalam bingkai syariat dan cinta. Inti dari upacara pernikahan ini, yang menjadikannya sah di mata agama, adalah ijab kabul. Tanpa ijab kabul, sebuah pernikahan tidak akan dianggap valid secara syar'i. Proses ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah deklarasi sakral yang memiliki makna mendalam, komitmen agung, dan konsekuensi hukum yang luas. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang ijab kabul, khususnya dalam konteks bahasa Arab, yang merupakan bahasa asli dari lafaz-lafaz ini.

Ilustrasi perjanjian nikah dengan dua cincin emas dan kotak biru sebagai simbol ikatan suci dalam Islam

Pengertian Ijab Kabul dalam Syariat Islam

Secara etimologi, ijab (الإيجاب) berasal dari kata kerja bahasa Arab yang berarti "menawarkan", "memberikan", atau "mengemukakan". Sementara kabul (القبول) berarti "menerima", "menyetujui", atau "membalas". Dalam konteks pernikahan Islam, ijab adalah pernyataan penyerahan dari pihak wali nikah (atau wakilnya) untuk menikahkan anak perempuannya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya kepada calon suami. Kabul adalah pernyataan penerimaan dari calon suami atas penyerahan tersebut. Ini adalah inti transaksi hukum dalam akad nikah.

Ijab kabul bukan sekadar serangkaian kata, melainkan merupakan representasi dari kerelaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang akan mengikat janji suci pernikahan. Dalam fikih Islam, ijab kabul adalah salah satu rukun nikah yang bersifat fundamental (pokok), tanpa adanya rukun ini maka akad nikah tidak sah. Keberadaannya menjamin bahwa pernikahan dilakukan atas dasar kesukarelaan dan persetujuan yang jelas, tanpa paksaan atau keraguan. Ini menciptakan legitimasi hukum dan moral bagi terbentuknya sebuah keluarga Muslim.

Penting untuk dipahami bahwa ijab kabul merupakan manifestasi lahiriah dari niat batin. Walaupun niat adalah penentu utama di hadapan Allah, namun syariat membutuhkan ekspresi lahiriah yang jelas dan tegas agar transaksi sosial ini dapat diakui oleh masyarakat dan memiliki konsekuensi hukum. Oleh karena itu, pemilihan kata, kejelasan pengucapan, dan pemahaman makna menjadi sangat krusial dalam proses ini.

Rukun Nikah dan Posisi Ijab Kabul

Dalam Islam, pernikahan memiliki rukun-rukun yang harus terpenuhi agar sah. Rukun-rukun ini, menurut mayoritas ulama, adalah:

  1. Calon Suami: Laki-laki Muslim yang jelas identitasnya dan memenuhi syarat.
  2. Calon Istri: Perempuan Muslimah yang jelas identitasnya dan memenuhi syarat.
  3. Wali Nikah: Pihak yang memiliki hak perwalian atas calon istri (biasanya ayah atau kakek dari pihak ayah).
  4. Dua Orang Saksi: Laki-laki Muslim yang adil dan dapat dipercaya.
  5. Shighat (Ijab Kabul): Lafaz atau ucapan yang menunjukkan adanya penawaran (ijab) dan penerimaan (kabul) secara jelas dan tegas.

Dari kelima rukun ini, shighat atau ijab kabul adalah bagian yang paling dinamis dan langsung diucapkan pada saat akad. Ini adalah momen puncak di mana ikatan pernikahan secara resmi terbentuk. Lafaz ijab kabul dalam bahasa Arab memiliki standar baku yang telah disepakati oleh para ulama, meskipun ada sedikit variasi dalam redaksi namun intinya tetap sama.

Lafaz Ijab Kabul dalam Bahasa Arab dan Terjemahannya

Meskipun ada variasi dalam redaksi, inti dari ijab kabul dalam bahasa Arab adalah penggunaan kata kerja yang spesifik yang menunjukkan penyerahan dan penerimaan kepemilikan. Kata kunci yang paling sering digunakan adalah أَنْكَحْتُكَ (ankahktuka) atau زَوَّجْتُكَ (zawwajtuka) untuk ijab, dan قَبِلْتُ (qabiltu) untuk kabul.

Lafaz Ijab dari Wali Nikah

Wali nikah adalah pihak yang mengucapkan ijab. Wali dapat berupa ayah kandung, kakek (dari pihak ayah), saudara laki-laki kandung, paman (saudara ayah), atau wali hakim jika tidak ada wali nasab yang memenuhi syarat. Lafaz ijab dari wali biasanya berbunyi:

أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ ابْنَتِي (أو موكلتي) ... (nama pengantin wanita) بِمَهْرِ ... (jumlah mahar) حَالًا
"Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan putriku (atau wanita yang aku wakili) ... (nama pengantin wanita) dengan mahar sejumlah ... (jumlah mahar) tunai."

Mari kita bedah makna dan implikasi dari setiap bagian lafaz ijab ini:

Keseluruhan lafaz ini harus diucapkan dengan jelas, tegas, dan berurutan, tanpa jeda yang terlalu panjang yang dapat merusak kesinambungan makna. Wali harus dalam keadaan sadar penuh, baligh, dan waras.

Lafaz Kabul dari Calon Suami

Setelah wali mengucapkan ijab, calon suami harus segera merespons dengan lafaz kabul. Lafaz kabul ini menunjukkan penerimaan atas penawaran yang disampaikan oleh wali. Biasanya berbunyi:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيجَهَا بِمَهْرِهَا الْمَذْكُورِ حَالًا
"Aku terima nikahnya dan perkawinannya dengan mahar yang disebutkan itu tunai."

Berikut adalah analisis dari lafaz kabul:

Kabul juga harus diucapkan dengan jelas, tanpa keraguan, dan segera setelah ijab. Tidak boleh ada jeda panjang yang menimbulkan keraguan akan kesinambungan akad. Calon suami juga harus dalam keadaan sadar penuh, baligh, dan waras.

Beberapa variasi lafaz kabul yang mungkin dijumpai, namun tetap memiliki inti yang sama, misalnya:

قَبِلْتُ نِكَاحَ فُلَانَةَ بِنْتِ فُلَانٍ بِمَهْرِهَا الْمَذْكُورِ
"Aku terima nikah si Fulanah binti Fulan dengan mahar yang disebutkan."
Atau yang lebih ringkas:
قَبِلْتُ
"Aku terima."
Namun, lafaz yang lebih lengkap dan merujuk secara spesifik pada tawaran wali adalah yang paling utama dan disarankan oleh mayoritas ulama untuk menghindari keraguan.

Ilustrasi keluarga yang bahagia dengan lingkaran biru di tengah melambangkan ikatan dan pertumbuhan bersama, di latar belakang persegi hijau

Syarat-Syarat Sahnya Ijab Kabul

Agar ijab kabul dianggap sah dan secara hukum mengikat dalam syariat Islam, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  1. Jelas dan Tegas (Sarih): Lafaz ijab kabul harus diucapkan dengan kata-kata yang jelas, tidak ambigu, dan secara tegas menunjukkan maksud untuk menikah. Kata-kata kiasan atau sindiran tidak sah. Misalnya, tidak boleh mengucapkan "Saya serahkan dia padamu" tanpa menyebutkan konteks nikah. Harus ada kata "nikah" atau "kawin".
  2. Berurutan (Muwalah): Ijab dan kabul harus diucapkan secara berurutan, tanpa jeda yang terlalu panjang di antaranya. Jeda yang terlalu lama dapat memutuskan kesinambungan akad dan menimbulkan keraguan, sehingga akad bisa dianggap tidak sah. Calon suami harus segera merespons setelah wali mengucapkan ijab.
  3. Saling Menyambung (Ittihad al-Majlis): Ijab dan kabul harus terjadi dalam satu majelis (pertemuan) yang sama. Ini berarti kedua belah pihak (wali dan calon suami) harus berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan dalam konteks pembicaraan yang sama. Meskipun perkembangan teknologi memungkinkan ijab kabul via daring, ulama masih berdiskusi tentang keabsahannya, dengan mayoritas menekankan kehadiran fisik sebagai syarat utama.
  4. Tidak Bersyarat (Tanjiz): Ijab kabul tidak boleh digantungkan pada syarat tertentu di masa depan atau kondisi tertentu. Misalnya, tidak boleh mengucapkan "Aku nikahkan kamu jika nanti kamu lulus ujian" atau "Aku terima nikahnya jika dia setuju nanti". Pernikahan harus terjadi secara langsung dan tanpa syarat yang menunda.
  5. Tidak Terbatas Waktu (Ta'yid): Pernikahan tidak boleh ditentukan batas waktunya, baik itu sementara atau untuk jangka waktu tertentu. Nikah mut'ah (kawin kontrak) yang dibatasi waktu hukumnya haram dalam pandangan mayoritas Ahlussunnah wal Jama'ah. Pernikahan adalah ikatan yang diniatkan untuk selamanya.
  6. Dipahami oleh Kedua Belah Pihak: Wali dan calon suami harus memahami makna dari ucapan ijab dan kabul yang mereka sampaikan. Jika salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang digunakan, harus ada penerjemah yang sah dan terpercaya.
  7. Disaksikan oleh Dua Saksi Adil: Keberadaan dua orang saksi laki-laki Muslim yang adil dan baligh adalah mutlak. Mereka harus mendengar secara jelas ijab dan kabul, serta memahami maknanya. Saksi berfungsi untuk menjaga legalitas dan transparansi pernikahan, serta mencegah fitnah.
  8. Calon Istri Tidak dalam Keadaan Terpaksa: Meskipun calon istri tidak mengucapkan ijab kabul secara langsung, persetujuannya adalah syarat mutlak. Pernikahan yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah. Persetujuan ini biasanya diwakilkan kepada wali, namun wali tidak boleh menikahkan tanpa seizin perempuan tersebut.

Memenuhi syarat-syarat ini adalah kunci untuk memastikan bahwa pernikahan tidak hanya sah secara sosial, tetapi juga sah di mata Allah SWT dan syariat Islam.

Peran dan Pentingnya Wali Nikah dalam Ijab Kabul

Peran wali nikah dalam ijab kabul sangat fundamental dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ, di antaranya: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan seorang wali." (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa wali bukanlah sekadar penonton, melainkan pihak yang memiliki otoritas syar'i untuk menyerahkan calon istri kepada calon suami.

Wali bertindak sebagai pelindung dan penjamin hak-hak perempuan. Keberadaan wali memastikan bahwa pernikahan dilakukan demi kemaslahatan perempuan, bukan karena paksaan, tipu daya, atau keputusan gegabah. Wali juga berperan sebagai perwakilan perempuan dalam urusan akad, terutama bagi perempuan yang belum menikah atau yang belum memiliki pengalaman dalam urusan hukum. Fungsi wali adalah melindungi kehormatan dan martabat perempuan, serta memastikan calon suami adalah orang yang tepat.

Urutan wali nasab yang paling berhak adalah sebagai berikut:

  1. Ayah kandung.
  2. Kakek (ayah dari ayah).
  3. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu).
  4. Saudara laki-laki seayah.
  5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan dari ayah).
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
  7. Paman (saudara ayah kandung).
  8. Anak laki-laki dari paman (sepupu).
  9. Seterusnya, mengikuti garis keturunan laki-laki dari pihak ayah.

Jika tidak ada wali nasab yang memenuhi syarat (misalnya meninggal dunia, fasik, atau gila), atau wali nasab berada di tempat yang sangat jauh dan sulit dihubungi, maka wali hakim dapat mengambil alih perwalian. Wali hakim adalah pejabat pemerintah yang memiliki otoritas keagamaan, seperti kepala KUA atau hakim syariah. Ini menunjukkan fleksibilitas syariat dalam memastikan setiap Muslimah dapat melangsungkan pernikahan yang sah.

Pentingnya Saksi dalam Akad Nikah

Selain wali, kehadiran dua orang saksi laki-laki Muslim yang adil dan baligh adalah rukun nikah yang tidak bisa ditawar. Hadis Nabi ﷺ menyebutkan, "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil." (HR. Baihaqi).

Peran saksi dalam ijab kabul sangat vital karena:

  1. Legalitas dan Pembuktian: Saksi adalah bukti konkret bahwa ijab kabul telah terjadi dan memenuhi syarat-syaratnya. Jika terjadi perselisihan di kemudian hari, kesaksian mereka dapat menjadi dasar hukum.
  2. Pencegahan Fitnah: Keberadaan saksi memastikan pernikahan dilakukan secara terbuka dan transparan, menghindari dugaan perbuatan maksiat atau pernikahan rahasia yang tidak diakui masyarakat.
  3. Pengawasan Pelaksanaan Syariat: Saksi memastikan bahwa lafaz ijab kabul diucapkan dengan benar dan semua rukun serta syarat terpenuhi.

Syarat "adil" bagi saksi berarti mereka adalah orang-orang yang dikenal memegang teguh ajaran Islam, tidak sering melakukan dosa besar, dan menjaga muru'ah (harga diri). Meskipun di beberapa negara, termasuk Indonesia, syarat "adil" ini ditafsirkan lebih luas sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya secara umum.

Hikmah dan Filosofi di Balik Ijab Kabul

Ijab kabul bukan sekadar serangkaian ritual tanpa makna. Di baliknya terkandung hikmah dan filosofi yang mendalam:

  1. Komitmen dan Tanggung Jawab: Pengucapan ijab kabul adalah momen di mana kedua belah pihak secara sadar dan sukarela mengambil tanggung jawab besar. Wali menyerahkan perwaliannya dan calon suami menerima tanggung jawab penuh sebagai kepala keluarga.
  2. Sakralitas Ikatan: Lafaz-lafaz yang diucapkan dalam bahasa Arab, dengan makna yang mendalam, menjadikan momen ini sangat sakral. Ini adalah janji yang bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT.
  3. Pengakuan Hukum dan Sosial: Ijab kabul secara resmi mengubah status sosial kedua individu dari lajang menjadi suami istri. Ini memberikan legitimasi pada hubungan mereka di mata hukum agama dan masyarakat, serta membuka pintu bagi hak dan kewajiban baru.
  4. Landasan Keluarga Muslim: Dengan ijab kabul, sebuah keluarga Muslim yang baru terbentuk. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat Islam, dan kekuatannya dimulai dari fondasi yang kokoh, yaitu akad nikah yang sah.
  5. Perlindungan Hak Asasi: Syarat-syarat yang ketat dalam ijab kabul, seperti persetujuan calon istri, kehadiran wali, dan saksi, adalah bentuk perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama perempuan, dari segala bentuk paksaan atau penipuan.
  6. Penghormatan terhadap Sunnah Nabi: Pelaksanaan ijab kabul mengikuti tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat, menjadikannya bagian dari upaya meneladani sunnah beliau.

Melalui ijab kabul, pernikahan bukan hanya menjadi sah, tetapi juga menjadi ibadah yang mendatangkan pahala. Setiap kata yang terucap adalah bagian dari manifestasi ketaatan kepada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Ilustrasi tangan yang memegang buku terbuka di atas alas hijau, melambangkan pengetahuan, janji, dan kebijaksanaan dalam ikatan pernikahan

Persiapan dan Proses Sebelum Ijab Kabul

Sebelum ijab kabul diucapkan, biasanya ada beberapa rangkaian acara dan persiapan yang dilakukan untuk menambah kesakralan dan keberkahan momen tersebut:

  1. Pembukaan dan Basmalah: Acara dimulai dengan pembukaan, salam, dan pembacaan basmalah sebagai tanda memohon rahmat dan pertolongan Allah SWT.
  2. Pembacaan Ayat Suci Al-Quran: Biasanya dibacakan beberapa ayat dari Al-Quran yang berkaitan dengan pernikahan, seperti Surah Ar-Rum ayat 21, atau ayat-ayat lain yang mengingatkan tentang keagungan Allah dan tujuan pernikahan.
  3. Khutbah Nikah: Ini adalah bagian penting di mana seorang khatib atau ulama menyampaikan nasihat-nasihat pernikahan. Khutbah nikah biasanya berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan kemudian nasihat-nasihat yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah tentang hak dan kewajiban suami istri, pentingnya sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta bagaimana membangun rumah tangga yang Islami. Khutbah nikah sangat dianjurkan (sunnah) untuk memberikan bekal spiritual kepada kedua calon mempelai.
  4. Doa dan Permohonan Restu: Sebelum ijab kabul, biasanya ada momen untuk memohon doa dari para hadirin dan restu dari orang tua. Calon pengantin wanita juga biasanya telah dimintai persetujuannya secara lisan atau dengan isyarat, yang kemudian diwakilkan oleh wali.
  5. Penyerahan Mahar (opsional): Meskipun mahar disebutkan dalam ijab kabul, beberapa keluarga memilih untuk menyerahkan mahar secara simbolis atau fisik sebelum akad dimulai, sebagai bentuk kesungguhan dari calon suami.
  6. Pengaturan Tempat: Tempat ijab kabul diatur sedemikian rupa sehingga wali, calon suami, dan para saksi dapat duduk berdekatan dan berhadapan langsung, memastikan semua dapat melihat dan mendengar prosesi dengan jelas.

Semua rangkaian ini dirancang untuk menciptakan suasana yang khusyuk, penuh berkah, dan mempersiapkan hati kedua calon mempelai untuk memasuki fase kehidupan yang baru dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Implikasi Hukum Setelah Ijab Kabul

Segera setelah ijab kabul diucapkan dengan sah, implikasi hukum syariat akan langsung berlaku:

  1. Halalnya Hubungan Suami Istri: Ikatan pernikahan yang sah menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut halal secara syar'i. Segala bentuk pergaulan yang sebelumnya diharamkan kini menjadi mubah dan bahkan dianjurkan sebagai ibadah.
  2. Terbentuknya Hak dan Kewajiban: Baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Suami berkewajiban memberikan nafkah, melindungi, dan membimbing istri. Istri berkewajiban mentaati suami dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat, menjaga kehormatan diri dan rumah tangga.
  3. Nasab Anak: Anak yang lahir dari pernikahan yang sah akan memiliki nasab yang jelas dan sah kepada ayah biologisnya. Ini penting untuk hak waris, perwalian, dan identitas.
  4. Hukum Waris: Suami dan istri akan menjadi ahli waris satu sama lain sesuai dengan ketentuan faraid (hukum waris Islam).
  5. Batasan Mahram: Pernikahan juga menciptakan hubungan mahram baru. Misalnya, ibu mertua menjadi mahram abadi bagi suami, demikian pula ayah mertua bagi istri. Ini memiliki implikasi pada batasan pergaulan dan pernikahan di masa depan.
  6. Pendaftaran Hukum Negara: Di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, pernikahan yang sah secara syariat juga harus dicatatkan secara hukum negara (di Kantor Urusan Agama/KUA) untuk mendapatkan kekuatan hukum formal. Ini penting untuk administrasi kependudukan dan perlindungan hukum di kemudian hari.

Implikasi-implikasi ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya satu kalimat ijab kabul yang terucap. Ia bukan hanya mengubah status dua individu, tetapi juga membentuk dasar sebuah keluarga dan memengaruhi tatanan masyarakat secara luas.

Kesalahan Umum dan Hal yang Perlu Dihindari

Meskipun ijab kabul terlihat sederhana, ada beberapa kesalahan umum yang sering terjadi atau hal-hal yang perlu dihindari agar akad nikah tetap sah:

Penting bagi calon pengantin, wali, dan para saksi untuk memahami proses ini dengan baik dan mempersiapkannya dengan matang untuk menghindari kesalahan yang tidak diinginkan.

Ijab Kabul dalam Konteks Modern dan Tantangannya

Di era modern ini, meskipun nilai-nilai dan tata cara ijab kabul tetap sakral, terdapat beberapa tantangan dan penyesuaian yang perlu diperhatikan:

  1. Pernikahan Jarak Jauh (Online): Dengan kemajuan teknologi, muncul pertanyaan tentang keabsahan ijab kabul yang dilakukan secara online (video call, dll.). Mayoritas ulama masih berpendapat bahwa kehadiran fisik wali, calon suami, dan saksi dalam satu majelis adalah syarat. Namun, ada juga yang memperbolehkan dengan syarat-syarat ketat, seperti memastikan identitas dan tidak adanya penipuan. Ini adalah isu fikih kontemporer yang terus dibahas.
  2. Pendaftaran Negara: Di banyak negara, pencatatan pernikahan secara sipil menjadi kewajiban. Ijab kabul yang sah secara syariat, tanpa dicatat secara negara, dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari, seperti dalam hak waris, hak asuh anak, atau pengakuan status sosial. Oleh karena itu, penting untuk memastikan pernikahan dicatatkan setelah ijab kabul.
  3. Pemahaman Makna: Di tengah keragaman budaya dan bahasa, penting untuk memastikan bahwa lafaz Arab yang diucapkan dipahami maknanya oleh semua pihak, terutama oleh calon suami. Penjelasan singkat sebelum atau sesudah akad dalam bahasa lokal sangat dianjurkan.
  4. Menjaga Kesakralan: Di tengah hiruk pikuk persiapan pernikahan modern yang seringkali menitikberatkan pada pesta dan kemewahan, penting untuk tidak melupakan esensi dan kesakralan ijab kabul itu sendiri. Momen ini harus tetap menjadi inti yang paling serius dan khusyuk.

Tantangan-tantangan ini menuntut umat Muslim untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariat sambil juga adaptif terhadap konteks zaman, selalu mencari solusi terbaik yang sesuai dengan tuntunan agama.

Tafsir Mendalam Lafaz-lafaz Kunci dalam Ijab Kabul

Untuk lebih memahami kekayaan makna ijab kabul, mari kita selami lebih dalam beberapa lafaz kunci:

Ankahktuka (أَنْكَحْتُكَ) dan Zawwajtuka (زَوَّجْتُكَ)

Dua kata ini sering digunakan secara bersamaan, "Ankahktuka wa zawwajtuka", yang secara harfiah berarti "Aku telah menikahkanmu dan mengawinkanmu". Meskipun keduanya merujuk pada tindakan pernikahan, ada sedikit nuansa:

Penggunaan keduanya secara bersamaan dalam ijab menunjukkan komprehensivitas akad nikah, mencakup aspek hukum (akad) dan aspek sosial-emosional (penyatuan sebagai pasangan). Ini menghilangkan keraguan tentang niat wali dan menegaskan bahwa yang dimaksud adalah pernikahan yang sempurna dalam segala dimensinya.

Qabiltu Nikahaha wa Tazwijaha (قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيجَهَا)

Sama halnya, calon suami juga sering menggunakan kedua kata tersebut dalam penerimaannya, "Aku terima nikahnya dan perkawinannya." Ini adalah bentuk cerminan sempurna dari ijab yang diucapkan wali. Dengan menerima keduanya, calon suami menegaskan bahwa ia menerima keseluruhan penawaran wali, baik aspek legal akadnya maupun aspek penyatuan hidup sebagai pasangan. Frasa ini memastikan tidak ada bagian dari ijab yang ditolak atau tidak dipahami.

Bi Mahriha al-Madzkur (بِمَهْرِهَا الْمَذْكُورِ)

Frasa ini secara tegas mengikat penerimaan pernikahan dengan mahar yang telah disebutkan. Mahar (maskawin) bukan sekadar hadiah, melainkan hak penuh istri yang wajib diberikan oleh suami. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (QS. An-Nisa: 4).

Penyebutan mahar dalam ijab kabul memiliki beberapa fungsi:

Oleh karena itu, kejelasan dan ketepatan penyebutan mahar dalam ijab kabul adalah krusial dan tidak boleh diabaikan.

Penutup

Ijab kabul dalam bahasa Arab adalah jantung dari setiap pernikahan Muslim yang sah. Ia adalah gerbang menuju kehidupan berkeluarga yang diberkahi, sebuah janji agung yang diucapkan di hadapan Allah SWT dan manusia. Setiap lafaz yang terucap bukan hanya sekadar bunyi, melainkan membawa makna mendalam tentang komitmen, tanggung jawab, dan persetujuan sukarela.

Dengan memahami secara mendalam makna lafaz-lafaz Arab tersebut, syarat-syarat keabsahannya, serta hikmah di baliknya, kita dapat lebih menghargai kesakralan dan pentingnya momen ijab kabul. Ia adalah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Semoga setiap pasangan yang mengucapkan ijab kabul diberikan kemudahan dan keberkahan dalam menjalani bahtera rumah tangga mereka.

🏠 Homepage