Dalam lanskap musik Indonesia, terutama genre Campursari dan Dangdut Koplo, nama Didi Kempot akan selalu dikenang sebagai sosok maestro yang mampu menyentuh relung hati pendengarnya. Namun, di antara berbagai julukan yang melekat padanya, sebutan "Ratu Ambyar" terasa unik. Meskipun Didi Kempot adalah seorang pria, istilah ini justru merujuk pada kemampuannya yang luar biasa dalam membawakan lagu-lagu bertema patah hati, kesepian, dan kerinduan—perasaan yang sering diasosiasikan dengan kepekaan emosional mendalam, layaknya seorang ratu dalam genre tersebut.
Istilah "Ambyar" sendiri, yang berarti hancur berantakan atau tercerai-berai, menjadi kata kunci yang mendefinisikan era kebangkitan kembali popularitas Didi Kempot. Fenomena ini, yang dikenal sebagai Sobat Ambyar, menunjukkan bahwa kesedihan yang diangkat dalam karyanya ternyata memiliki daya tarik universal. Ia tidak sekadar menyanyikan kesedihan; ia memvalidasi rasa sakit yang dialami banyak orang, menjadikannya medium katarsis kolektif.
Apa yang membuat Didi Kempot, atau "Ratu Ambyar" bagi para penggemarnya, begitu dicintai? Jawabannya terletak pada otentisitas liriknya. Ia memilih menggunakan bahasa Jawa yang lugas dan sehari-hari, memungkinkan pesan lagu tersampaikan langsung tanpa perlu penafsiran berlebihan. Lagu-lagu seperti "Cidro," "Tanjung Mas Ninggal Janji," atau "Sewu Kuto" bukan hanya sekadar lagu cinta yang gagal; mereka adalah narasi tentang perjuangan hidup, kehilangan kesempatan, dan pengkhianatan yang dirasakan masyarakat luas, dari pekerja migran hingga mahasiswa di perantauan.
Didi Kempot berhasil menjembatani generasi. Di satu sisi, ia mempertahankan akar musik tradisional Jawa, sementara di sisi lain, ia merangkul anak muda melalui penampilan panggung yang enerjik dan kolaborasi dengan musisi lintas genre. Konser-konser besarnya sering kali dihadiri oleh lautan manusia dari berbagai latar belakang sosial, semuanya bersatu dalam satu suara melantunkan lirik yang mendayu-dayu. Ini adalah bukti bahwa musiknya melampaui sekat usia dan status sosial.
Meskipun Didi Kempot telah tiada, sebutan "Ratu Ambyar" tetap hidup sebagai pengakuan atas warisannya. Ia meninggalkan katalog lagu yang kaya, yang terus dipelajari dan dinyanyikan ulang oleh generasi baru. Peranannya dalam mengangkat bahasa dan budaya Jawa ke kancah nasional bahkan internasional tidak bisa diabaikan. Ia membuktikan bahwa musik yang berakar kuat pada kearifan lokal mampu berbicara pada skala global.
Menyandang julukan "Ratu Ambyar" mungkin ironis bagi seorang pria, namun julukan tersebut sangat pantas disematkan karena dominasinya dalam menguasai genre lagu-lagu melankolis perpisahan. Ia adalah sang raja panggung, yang memerintah dengan kesedihan dan keindahan melodi. Kisah Didi Kempot adalah pengingat bahwa terkadang, ekspresi emosi terdalamlah yang paling mampu mengikat hati banyak orang. Kepergiannya meninggalkan lubang besar, namun gema dari lantunan "ambyar"-nya akan terus bergema dalam ingatan para penggemar setianya. Musiknya mengajarkan bahwa menerima kepedihan adalah langkah pertama menuju ketenangan, sebuah pelajaran yang disajikan dengan irama yang tak terlupakan.
Hingga kini, setiap kali nada Campursari yang sendu mengalun, para Sobat Ambyar akan segera mengenali sentuhan magis dari sang maestro. Ia bukan hanya penyanyi, ia adalah simbol dari ketangguhan spiritual dalam menghadapi realitas hidup yang tak selalu manis.