Simbolik: Perjanjian, Keberanian, dan Pertolongan
Surat Al-Anfal, yang berarti "Harta Rampasan Perang," adalah surat Madaniyah yang turun setelah peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu Perang Badar. Ayat-ayat awal surat ini, khususnya 1 hingga 4, mengandung landasan filosofis dan hukum yang sangat fundamental mengenai kepemilikan harta rampasan, kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta hakikat seorang mukmin sejati.
"Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: 'Harta rampasan itu adalah milik Allah dan Rasul, maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan batin (antar sesama), dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.'"
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambah kuatlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal."
"(Yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."
"Mereka itulah orang-orang yang beriman yang sebenarnya. Mereka akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia."
Ayat pertama adalah respons langsung terhadap permasalahan praktis pasca-perang. Para sahabat pernah berbeda pendapat mengenai pembagian rampasan perang (Al-Anfal). Pertanyaan ini mengindikasikan adanya potensi perpecahan karena urusan duniawi. Allah menegaskan melalui Rasul-Nya bahwa harta rampasan tersebut bukan milik individu atau kelompok, melainkan berada di bawah otoritas penuh Allah dan Rasul-Nya.
Penetapan ini mengajarkan prinsip penting: dalam struktur sosial Islam, sumber daya ekonomi strategis harus tunduk pada arahan ilahi. Setelah menetapkan otoritas, Allah memberikan tiga perintah fundamental sebagai prasyarat untuk mendapatkan keberkahan harta tersebut: Pertama, bertakwa kepada Allah (menjaga hubungan vertikal). Kedua, memperbaiki hubungan internal (dzat bainakum), yang menekankan pentingnya persatuan dan menghilangkan perselisihan antar sesama mukminin. Ketiga, taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiga pilar ini adalah penentu apakah seseorang benar-benar beriman atau tidak.
Tiga ayat berikutnya (2, 3, dan 4) berfungsi sebagai penjelas atau deskripsi konkret mengenai siapa yang memenuhi syarat untuk menjadi 'orang yang beriman' sebagaimana disyaratkan di akhir ayat 1. Keimanan sejati tidak diukur dari klaim lisan, melainkan dari manifestasi perilaku:
Mukmin sejati menunjukkan reaksi hati yang mendalam ketika nama Allah disebut—mereka gemetar (wujilat qulubuhum). Kegemetaran ini bukan karena takut hukuman semata, melainkan karena keagungan dan kebesaran yang mereka rasakan. Lebih lanjut, ketika ayat-ayat-Nya dibacakan, iman mereka justru meningkat, dan mereka bersandar penuh (tawakkal) hanya kepada Allah.
Keimanan yang meningkat tersebut harus diwujudkan dalam praktik nyata. Ayat 3 menyebutkan dua pilar ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah: Mendirikan salat (hubungan personal dengan Tuhan) dan menafkahkan rezeki (hubungan sosial dan tanggung jawab ekonomi). Kata 'rejeki yang Kami anugerahkan' mengingatkan bahwa segala yang dimiliki adalah titipan.
Puncak dari deskripsi ini adalah penegasan bahwa mereka yang memenuhi kriteria di atas adalah "mukminun haqqan" (mukmin yang sebenarnya). Konsekuensinya bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi imbalan akhirat yang istimewa: derajat tinggi di sisi Allah, ampunan, dan rezeki yang mulia (rezquk karim), yang maknanya melampaui pemahaman duniawi.
Kajian Surat Al-Anfal ayat 1 sampai 4 memberikan cetak biru komprehensif bagi komunitas Muslim. Ia mengaitkan masalah administratif (harta rampasan) dengan isu teologis fundamental (ketakwaan dan ketaatan). Harta duniawi harus dikelola di bawah syariat, dan syarat untuk mendapatkan keberkahan dari pengelolaan tersebut adalah kesatuan internal dan kesalehan individu yang ditunjukkan melalui ibadah rutin dan kedermawanan. Ini adalah fondasi moral dan etika sebelum melangkah ke ranah perjuangan dan pengaturan negara.