Memahami Status Kehalalan: Alergen Halal atau Haram?

Ilustrasi Timbangan Halal dan Haram H X

Dalam konteks makanan dan produk konsumsi, isu kehalalan menjadi sangat krusial bagi umat Muslim. Semua bahan yang digunakan harus memenuhi standar syariat Islam. Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai bahan-bahan tertentu, terutama yang berasal dari alergen atau aditif kompleks, yang status kehalalannya tidak selalu jelas. Pertanyaan mendasarnya: Apakah alergen tertentu otomatis dianggap haram, ataukah statusnya bergantung pada sumber dan proses pengolahannya?

Definisi Alergen dan Kaitannya dengan Kehalalan

Alergen merujuk pada zat yang dapat memicu reaksi alergi pada individu tertentu. Secara umum, alergen makanan sering berasal dari sumber hewani (seperti susu, telur, kacang-kacangan) atau nabati. Dalam pandangan syariat, sumber dasar bahan tersebut (misalnya kacang atau gandum) biasanya dikategorikan sebagai mubah (diperbolehkan) selama tidak ditemukan unsur najis atau haram yang jelas pada sumber aslinya.

Masalah muncul ketika alergen tersebut diproses menjadi bahan tambahan pangan (food additives) atau digunakan dalam bentuk turunan. Misalnya, gelatin, yang sering digunakan sebagai pengental, dapat berasal dari tulang atau kulit babi (haram) atau sapi/ikan (halal, jika disembelih sesuai syariat). Jika gelatin tersebut berasal dari sumber babi, maka produk apapun yang mengandungnya otomatis menjadi haram, terlepas dari apakah ia berfungsi sebagai alergen atau bukan.

Proses Ekstraksi dan Kontaminasi Silang

Status kehalalan sebuah alergen yang terisolasi seringkali ditentukan oleh proses ekstraksi, modifikasi, dan kontaminasi silang selama produksi. Banyak alergen alami yang dimurnikan atau dihidrolisis menggunakan enzim atau pelarut. Jika enzim yang digunakan adalah enzim non-halal (misalnya, dari organ babi), atau jika pelarut yang digunakan adalah alkohol dalam kadar yang signifikan dan bukan hasil fermentasi alami yang dapat ditoleransi, maka turunan alergen tersebut bisa bergeser menjadi haram.

Contoh umum lainnya adalah Lesitin (sering menjadi alergen kedelai atau telur). Lesitin dapat diekstrak menggunakan pelarut. Jika proses ekstraksi ini melibatkan etanol yang berasal dari sumber non-halal, maka kesimpulan akhir harus merujuk pada hasil analisis kandungan etanol akhir dalam produk jadi, atau status kehalalan prosesnya secara keseluruhan. Fatwa ulama seringkali menekankan pada prinsip ini: jika bahan dasarnya halal, tetapi prosesnya meragukan, maka statusnya menjadi syubhat (dipertanyakan).

Alergen yang Sering Menjadi Perdebatan

Beberapa alergen yang sering memicu perdebatan sertifikasi halal meliputi:

Prinsip Pengambilan Keputusan: Sertifikasi dan Verifikasi

Dalam Islam, prinsip dasarnya adalah segala sesuatu diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Namun, dalam rantai pasok makanan modern yang kompleks, sulit bagi konsumen individu untuk memverifikasi setiap komponen. Oleh karena itu, badan sertifikasi halal memainkan peran vital dalam menelusuri setiap tahap produksi bahan baku yang berpotensi menjadi alergen atau aditif.

Jika sebuah bahan yang berfungsi sebagai alergen (misalnya, asam amino turunan) telah melewati proses kompleks namun mengantongi sertifikat halal yang diakui, maka statusnya dianggap halal, karena badan sertifikasi telah memverifikasi bahwa semua bahan pembantu dan prosesnya sesuai syariat. Sebaliknya, jika tidak ada sertifikasi dan terdapat unsur non-halal yang terdeteksi (seperti penggunaan babi dalam prosesnya), maka produk tersebut harus dihindari oleh Muslim, bahkan jika reaksi alergi mungkin tidak terjadi pada orang tersebut.

Kesimpulannya, alergen itu sendiri tidak secara inheren haram. Status kehalalan sangat bergantung pada sumber awal (apakah berasal dari babi, alkohol non-fermentasi, atau hewan yang tidak disembelih halal) dan proses pengolahan yang mengubahnya menjadi bahan akhir yang digunakan dalam produk makanan. Kehati-hatian dan mencari bukti sertifikasi adalah kunci dalam menjaga konsumsi tetap sesuai tuntunan agama.

🏠 Homepage