Panduan Lengkap Mengenai Alergi ASI

Ilustrasi Alergi ASI - Bayi dan Tetesan Susu Waspada Reaksi

Alergi ASI, meskipun namanya mengacu pada ASI (Air Susu Ibu), seringkali merujuk pada reaksi alergi yang ditimbulkan oleh zat tertentu yang terkandung dalam ASI. Hal ini umumnya disebabkan oleh komponen makanan yang dikonsumsi oleh ibu menyusui, di mana protein alergen tersebut kemudian ikut masuk ke dalam ASI dan memicu reaksi pada bayi. Alergi ASI merupakan kondisi yang cukup mengkhawatirkan bagi orang tua, namun dengan pemahaman yang tepat, kondisi ini dapat dikelola dengan baik.

Apa Penyebab Utama Alergi yang Ditransfer Lewat ASI?

Pada dasarnya, ASI adalah nutrisi paling sempurna. Reaksi alergi yang muncul pada bayi yang sedang menyusu bukan karena ASI itu sendiri, melainkan karena protein asing yang berhasil lolos dari sistem pencernaan ibu dan masuk ke aliran darah, lalu berakhir di air susu. Protein yang paling sering menjadi biang keladi adalah protein susu sapi (Bovine Milk Protein/BMP), diikuti oleh alergen umum lainnya seperti telur, kacang-kacangan, gandum, dan kedelai.

Protein susu sapi adalah penyebab tersering. Jika ibu mengonsumsi produk olahan susu (keju, yogurt, mentega, atau susu cair), proteinnya dapat muncul dalam ASI dalam waktu beberapa jam hingga hari. Bayi yang alergi terhadap protein ini akan menunjukkan gejala setelah mengonsumsi ASI tersebut.

Gejala Alergi yang Perlu Diwaspadai

Gejala alergi yang ditularkan melalui ASI dapat bervariasi dari ringan hingga parah, dan sering kali menyerupai gejala kondisi lain, sehingga diagnosis perlu dilakukan secara hati-hati oleh dokter spesialis anak atau alergi. Beberapa manifestasi umum meliputi:

Diagnosis dan Langkah Penanganan Awal

Langkah pertama dalam mendiagnosis alergi yang ditularkan melalui ASI adalah mencatat secara detail apa yang dikonsumsi ibu dan gejala yang dialami bayi. Jika kecurigaan mengarah pada alergi makanan, dokter biasanya akan menyarankan "Diet Eliminasi" pada ibu.

Peran Diet Eliminasi

Diet eliminasi berarti ibu harus benar-benar menghilangkan semua sumber protein yang dicurigai (misalnya, semua produk susu sapi) dari pola makannya. Diet ini umumnya dilakukan selama periode tertentu, biasanya 2 hingga 4 minggu, untuk melihat apakah gejala bayi membaik. Jika gejala mereda, kemungkinan besar diagnosis alergi telah terkonfirmasi.

Penting untuk diingat, selama masa eliminasi, ibu harus memastikan kebutuhan nutrisinya tetap terpenuhi, terutama kalsium dan Vitamin D, karena ia telah menghilangkan sumber utamanya (susu). Suplementasi seringkali diperlukan di bawah pengawasan tenaga kesehatan.

Haruskah Ibu Berhenti Menyusui?

Ini adalah pertanyaan yang paling sering muncul. Mayoritas ahli kesehatan, termasuk WHO, sangat menganjurkan agar **ibu tidak berhenti menyusui** meskipun bayinya didiagnosis alergi terhadap protein dalam ASI. ASI tetap memberikan manfaat imunologis dan nutrisi yang tidak tergantikan oleh formula manapun.

Solusinya adalah mengidentifikasi dan menghilangkan alergen dari diet ibu. Jika diet eliminasi berhasil, bayi dapat terus menikmati ASI. Namun, jika reaksinya parah dan mengancam jiwa (anafilaksis), atau jika ibu tidak mampu mempertahankan diet eliminasi yang ketat, dokter mungkin menyarankan peralihan sementara ke formula terhidrolisis ekstensif (Extensively Hydrolyzed Formula/EHF) atau formula asam amino, yang proteinnya sudah dipecah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan reaksi alergi.

Kesabaran dan kerja sama erat dengan tim medis adalah kunci utama dalam mengelola alergi ASI, memastikan bayi tetap mendapat nutrisi terbaik sambil tubuhnya belajar beradaptasi.

🏠 Homepage