Dalam dunia pendidikan, terdapat perbedaan mendasar antara mengajar anak-anak (pedagogi) dan mengajar orang dewasa. Pendekatan khusus yang berfokus pada kebutuhan, motivasi, dan pengalaman peserta didik dewasa ini dikenal sebagai **andragogi**. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, gabungan dari kata 'andros' (laki-laki/dewasa) dan 'agogos' (pembimbing). Konsep ini menegaskan bahwa orang dewasa memerlukan metode pembelajaran yang berbeda dan lebih relevan dengan kehidupan mereka.
Meskipun ide tentang pembelajaran orang dewasa sudah ada sejak lama, istilah andragogi dipopulerkan secara luas oleh Malcolm Knowles pada tahun 1970-an. Knowles mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu membantu orang dewasa belajar. Menurutnya, keberhasilan pendidikan orang dewasa terletak pada pemahaman terhadap lima asumsi dasar yang membedakan pembelajar dewasa dari anak-anak.
Keberhasilan pelatihan atau pendidikan bagi orang dewasa sangat bergantung pada pengakuan terhadap lima asumsi utama berikut mengenai diri mereka sebagai pembelajar:
Kontras antara andragogi dan pedagogi (ilmu mengajar anak) sangat jelas. Dalam pedagogi, fokusnya adalah pada transfer pengetahuan dari guru ke murid yang dianggap "belum tahu." Sementara itu, dalam andragogi, peran fasilitator (bukan sekadar guru) adalah membantu orang dewasa mengorganisir, menghubungkan, dan mengaplikasikan pengetahuan baru dengan basis pengalaman yang sudah mereka miliki.
Dalam konteks pembelajaran orang dewasa, metode yang efektif sering kali melibatkan diskusi kelompok, studi kasus, simulasi, proyek berbasis masalah, dan refleksi diri. Ini berbeda dengan metode tradisional yang lebih mengandalkan ceramah satu arah dan hafalan. Orang dewasa adalah pembelajar yang berorientasi pada aksi dan aplikasi segera.
Mengintegrasikan prinsip andragogi dalam desain pelatihan dan pengembangan profesional membawa banyak manfaat. Pertama, ini meningkatkan keterlibatan peserta didik karena mereka merasa dihargai sebagai mitra dalam proses belajar. Kedua, transfer pengetahuan ke tempat kerja menjadi lebih cepat karena pembelajaran difokuskan pada solusi nyata.
Fasilitator yang menerapkan andragogi harus memiliki keterampilan komunikasi yang kuat, mampu menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, serta siap untuk menjadi mitra diskusi, bukan hanya pemberi perintah. Proses evaluasi dalam andragogi juga harus berfokus pada pencapaian kompetensi dan pemecahan masalah yang relevan, bukan sekadar nilai ujian akhir. Kesimpulannya, andragogi adalah kerangka kerja penting untuk memaksimalkan potensi pembelajaran sepanjang hayat bagi setiap individu dewasa.