Alt Text: Ilustrasi abstrak tentang wadah minuman dengan simbol larangan melintanginya.
Ang ciu, atau yang sering dikenal sebagai arak beras atau minuman beralkohol fermentasi khas Asia Timur, merupakan bagian integral dari berbagai tradisi kuliner dan ritual di banyak komunitas Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, status hukum dan religiusnya sering kali menjadi perdebatan hangat, terutama dalam konteks ajaran agama Islam. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: "Apakah ang ciu haram?"
Untuk menjawab pertanyaan ini secara komprehensif, kita perlu memisahkan antara aspek budaya, komposisi kimia, dan pandangan teologis. Secara budaya, ang ciu digunakan dalam perayaan pernikahan, upacara adat, penghormatan leluhur, dan bahkan sebagai bahan masakan untuk memberikan aroma khas pada hidangan tertentu. Dalam konteks non-religius, ia hanyalah produk fermentasi yang dikonsumsi secara tradisional.
Dalam ajaran Islam, konsumsi minuman keras (khamr) secara tegas dilarang. Dasar pelarangan ini bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, yang mengklasifikasikan zat-zat yang memabukkan sebagai najis dan dosa besar. Mayoritas ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang mengandung kadar alkohol yang signifikan dan dapat menyebabkan hilangnya akal atau mabuk adalah haram untuk dikonsumsi.
Ang ciu, meskipun seringkali memiliki kadar alkohol yang bervariasi (mulai dari di bawah 10% hingga di atas 30% tergantung jenis dan proses pembuatannya), tetap dikategorikan sebagai minuman beralkohol. Dalam hukum Islam, jika suatu zat memiliki potensi memabukkan, maka statusnya jatuh dalam kategori khamr, terlepas dari seberapa kecil pun kadar alkoholnya atau seberapa besar tradisi yang menyertainya. Oleh karena itu, mayoritas pandangan Islam menetapkan bahwa konsumsi langsung ang ciu, karena sifatnya yang memabukkan, adalah **haram**.
Perdebatan sering muncul ketika ang ciu digunakan sebagai bahan dalam masakan, misalnya untuk membuat babi hong atau hidangan tumisan lainnya. Di sini, pandangan ulama cenderung lebih bernuansa. Jika ang ciu dimasukkan ke dalam masakan dan proses pemanasan yang tinggi menyebabkan semua kandungan alkoholnya menguap sepenuhnya sebelum disajikan, sebagian ulama membolehkan konsumsi hidangan tersebut. Alkohol yang menguap dianggap telah hilang esensinya sebagai khamr.
Namun, jika kadar alkoholnya tetap signifikan setelah proses memasak, atau jika ia hanya ditambahkan sedikit sebagai bumbu tanpa pemanasan intensif (misalnya, sebagai cuka atau perendam), maka keragu-raguan muncul. Prinsip kehati-hatian (wad’u syubhat) dalam Islam mendorong umat untuk menjauhi hal-hal yang meragukan. Karena itu, banyak Muslim yang sangat taat memilih untuk menghindari hidangan yang diketahui menggunakan ang ciu sama sekali, demi menjaga kehalalan total makanan mereka.
Penting untuk dicatat bahwa isu "haram" ini hanya relevan bagi mereka yang menganut agama Islam. Bagi penganut agama lain, terutama dalam konteks budaya Tionghoa, ang ciu memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam. Ia adalah simbol kemakmuran, penghormatan, dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Pemahaman tentang statusnya sebagai produk haram adalah sebuah dikotomi yang muncul ketika hukum agama bertemu dengan praktik budaya yang berbeda.
Secara tegas, berdasarkan interpretasi syariat Islam mengenai minuman keras, konsumsi langsung ang ciu dikategorikan sebagai tindakan yang **haram** karena kandungan alkohol yang memabukkan. Sementara itu, penggunaannya dalam memasak memerlukan kehati-hatian dan tinjauan mendalam terhadap proses penguapan alkohol. Dalam diskursus modern, kesadaran akan kehalalan makanan telah meningkatkan kewaspadaan umat Muslim untuk memastikan bahwa setiap bahan yang dikonsumsi, termasuk bumbu dan cairan fermentasi seperti ang ciu, sesuai dengan pedoman agama mereka. Bagi mereka yang mencari kepastian, menghindari penggunaan ang ciu dalam semua bentuk adalah jalan yang paling aman secara spiritual.