Dalam lanskap kehidupan yang serba cepat dan penuh tuntutan ini, manusia seringkali terombang-ambing antara ambisi duniawi dan panggilan spiritual. Ada sebuah kebijaksanaan abadi yang disampaikan melalui sabda Nabi Muhammad ﷺ, sebuah hadits yang mengandung inti filosofi kehidupan Muslim: "Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya, mengumpulkan segala urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dengan tunduk. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, niscaya Allah akan menjadikan kefakiran di hadapan kedua matanya, mencerai-beraikan segala urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya." Hadits ini, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, bukan hanya sekadar petuah moral, melainkan sebuah peta jalan komprehensif menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Makna mendalam dari hadits ini mengajak kita untuk merenung tentang prioritas. Apakah kita hidup untuk mengumpulkan kekayaan, meraih kekuasaan, dan mengejar kenikmatan fana semata? Atau apakah setiap langkah, setiap keputusan, setiap upaya kita didasari oleh kesadaran akan kehidupan setelah mati, yaitu akhirat yang abadi? Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa fokus kita pada akhirat tidak akan membuat kita kehilangan dunia, justru sebaliknya, dunia akan tunduk dan mengalir kepada kita. Ini adalah janji ilahi yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas yang unik antara tujuan spiritual dan hasil material.
Mari kita telusuri setiap fragmen dari hadits agung ini untuk memahami implikasi praktis dan spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari.
"Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya..."
Bagian pertama dari hadits ini adalah fondasi dari seluruh bangunan makna. Menjadikan akhirat sebagai "cita-cita" atau "gugusan perhatian" (همّه) berarti menempatkan akhirat sebagai tujuan utama, orientasi tertinggi, dan motivasi mendasar di balik setiap tindakan dan keputusan kita. Ini bukan berarti mengabaikan dunia sepenuhnya atau hidup dalam asketisme ekstrem yang menolak segala bentuk kenikmatan duniawi. Sebaliknya, ini adalah tentang menempatkan segala urusan duniawi dalam kerangka pandangan akhirat.
Apa artinya ini dalam praktik? Ini berarti bahwa ketika kita bekerja, niat kita bukan hanya untuk mendapatkan gaji, tetapi untuk mencari rezeki yang halal agar bisa menghidupi keluarga, bersedekah, beribadah haji, atau berkontribusi pada masyarakat—semuanya diniatkan sebagai bekal akhirat. Ketika kita belajar, niatnya bukan hanya untuk mendapatkan ijazah, tetapi untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain, serta mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita melakukannya dengan akhlak mulia, bukan karena mencari pujian, melainkan karena ingin mendapatkan ridha Allah dan meneladani Rasulullah ﷺ.
Fokus pada akhirat berarti kesadaran bahwa hidup di dunia ini hanyalah persinggahan sementara, jembatan menuju kehidupan yang kekal. Setiap detik, setiap kesempatan, adalah ladang untuk menanam kebaikan yang hasilnya akan kita tuai di akhirat. Ini memunculkan perspektif yang berbeda terhadap kesuksesan, kegagalan, kehilangan, dan pencapaian. Kesuksesan tidak hanya diukur dari berapa banyak harta yang terkumpul, tetapi juga dari berapa banyak kebaikan yang telah dilakukan. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai ujian untuk meningkatkan kesabaran dan kebergantungan kepada Allah.
Implikasi Niat dalam Mengejar Akhirat
Niat memegang peranan sentral dalam konsep ini. Sebuah amal duniawi bisa berubah menjadi amal akhirat yang bernilai tinggi hanya dengan niat yang benar. Makan untuk mendapatkan energi agar bisa beribadah, tidur untuk istirahat agar bisa bangun malam tahajjud, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar tidak meminta-minta – semua ini adalah contoh bagaimana tindakan duniawi dapat bernilai akhirat. Niat yang lurus menjadikan setiap aspek kehidupan kita berorientasi pada ridha Allah dan persiapan untuk hari perhitungan.
"...niscaya Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya..."
Ini adalah salah satu janji paling indah dan mendalam dalam hadits tersebut. "Kekayaan di hati" (غناه في قلبه) bukanlah kekayaan materi, melainkan kekayaan batin. Ini adalah ketenangan jiwa, kepuasan diri, rasa syukur yang mendalam, dan kebergantungan mutlak kepada Allah (tawakkal). Orang yang hatinya kaya tidak akan pernah merasa miskin, meskipun ia tidak memiliki banyak harta. Ia merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, dan ia memiliki keyakinan penuh bahwa rezeki Allah tidak akan pernah habis.
Kekayaan hati ini adalah antitesis dari sifat serakah dan tamak. Orang yang serakah, meskipun memiliki gunung emas, hatinya akan selalu merasa fakir, selalu merasa kurang, dan selalu ingin lebih. Ia hidup dalam lingkaran setan ketidakpuasan. Sebaliknya, orang yang hatinya kaya adalah orang yang mensyukuri nikmat sekecil apa pun, melihat kebaikan dalam setiap ujian, dan merasa damai dengan takdir Allah. Ia tidak gelisah ketika kehilangan sesuatu dan tidak sombong ketika mendapatkan sesuatu, karena ia tahu bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Kekayaan hati juga berarti kemandirian dari manusia. Orang yang bergantung sepenuhnya kepada Allah tidak akan merendahkan diri di hadapan manusia demi harta atau kedudukan. Ia memiliki izzah (kemuliaan diri) karena ia tahu siapa yang memberinya rezeki dan siapa yang menguasai segalanya. Ini adalah bentuk kekayaan yang jauh lebih berharga daripada tumpukan harta, karena ia adalah sumber kebahagiaan sejati yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Dalam dunia modern yang terus-menerus mempromosikan konsumsi dan materialisme, konsep kekayaan hati menjadi semakin relevan. Banyak orang yang secara materi berkecukupan namun mengalami kekosongan batin, kecemasan, depresi, dan ketidakbahagiaan. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada berapa banyak yang kita miliki, melainkan pada bagaimana hati kita merasakan dan merespon apa yang kita miliki, dan yang lebih penting, siapa yang kita sembah dan kita harapkan.
"...mengumpulkan segala urusannya..."
Bagian ini berbicara tentang efisiensi, fokus, dan keberkahan dalam waktu dan usaha. Ketika seseorang menjadikan akhirat sebagai prioritas utamanya, hidupnya menjadi lebih terorganisir dan terarah. Pikirannya tidak tercerai-berai oleh berbagai ambisi duniawi yang saling tarik-menarik dan seringkali kontradiktif.
Orang yang berfokus pada akhirat memiliki tujuan yang jelas: mencari ridha Allah. Tujuan tunggal ini menyederhanakan banyak keputusan hidupnya. Ia tidak perlu membuang energi untuk mengejar setiap tren duniawi, setiap peluang yang menjanjikan kekayaan instan, atau setiap pengakuan sosial. Ia akan memilih jalan yang paling mendekatkannya kepada Allah, bahkan jika itu berarti mengorbankan sebagian keuntungan duniawi.
Sebagai hasilnya, Allah akan "mengumpulkan segala urusannya" (جمع له شمله). Ini bisa diartikan dalam beberapa cara:
- Fokus dan Klaritas: Pikirannya tidak kacau. Ia memiliki prioritas yang jelas, sehingga ia dapat mengarahkan energi dan usahanya pada hal-hal yang benar-benar penting. Ini menghindari kelelahan mental dan spiritual akibat terlalu banyak mengejar hal yang tidak substansial.
- Kemudahan dalam Urusan: Allah memudahkan jalannya. Masalah-masalah yang rumit menjadi lebih sederhana, dan rintangan-rintangan yang besar menjadi lebih kecil. Ini adalah bentuk keberkahan (barakah) yang seringkali tidak terlihat secara kasat mata, tetapi sangat terasa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
- Ketenangan Jiwa: Dengan tidak tercerai-berai oleh ambisi dunia, jiwa menjadi lebih tenang. Ia tidak khawatir berlebihan tentang masa depan atau menyesali masa lalu, karena ia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah dan berpegang pada rencana-Nya.
- Efektivitas Waktu: Waktunya menjadi lebih berkah. Meskipun jam dalam sehari sama untuk semua orang, orang yang berfokus pada akhirat seringkali dapat menyelesaikan lebih banyak hal penting dalam waktu yang sama, atau merasakan kualitas waktu yang lebih baik.
Dalam dunia yang penuh disrupsi dan informasi berlebihan, kemampuan untuk memusatkan perhatian pada satu tujuan luhur adalah sebuah anugerah. Ini memungkinkan seseorang untuk membangun fondasi yang kuat bagi kehidupannya, baik secara spiritual maupun material, tanpa terombang-ambing oleh angin perubahan dunia.
"...dan dunia akan datang kepadanya dengan tunduk."
Inilah puncak dari janji Allah bagi mereka yang mendahulukan akhirat. Frasa "dunia akan datang kepadanya dengan tunduk" (وأتته الدنيا وهي راغمة) adalah metafora yang kuat. Ini tidak berarti bahwa seseorang akan menjadi miliarder atau memiliki segalanya yang ia inginkan. Tunduk di sini berarti bahwa rezeki dunia akan mengalir kepadanya dengan mudah dan tanpa kesulitan yang berlebihan. Ia tidak perlu mati-matian mengejar dunia, karena dunia itu sendiri yang akan "mengejarnya."
Mengapa demikian? Karena orang yang berfokus pada akhirat cenderung memiliki sifat-sifat mulia yang secara inheren menarik keberhasilan duniawi:
- Kejujuran dan Integritas: Niat mencari ridha Allah akan mendorongnya untuk selalu berlaku jujur, adil, dan berintegritas dalam setiap transaksi dan interaksi. Sifat-sifat ini membangun kepercayaan, yang merupakan modal sosial tak ternilai dalam setiap aspek kehidupan, termasuk bisnis dan karir.
- Ketekunan dan Kerja Keras: Mereka memahami bahwa dunia adalah ladang untuk beramal. Oleh karena itu, mereka akan bekerja keras dan tekun, tidak malas, karena mereka melihat pekerjaan sebagai bentuk ibadah dan sarana untuk meraih pahala di akhirat. Ketekunan ini secara alami akan membuahkan hasil di dunia.
- Kemuliaan Akhlak: Sikap rendah hati, santun, pemaaf, dan dermawan yang lahir dari kesadaran akhirat akan membuat mereka dicintai dan dihormati oleh orang lain. Hubungan sosial yang baik seringkali membuka pintu rezeki dan kesempatan yang tidak terduga.
- Keberkahan (Barakah): Harta yang sedikit terasa cukup, waktu yang terbatas terasa lapang, dan usaha yang minimal menghasilkan dampak yang maksimal. Ini adalah manifestasi nyata dari "dunia datang kepadanya dengan tunduk," di mana Allah menambah keberkahan pada apa yang ia miliki.
- Ketenangan dalam Menghadapi Tekanan: Ketika menghadapi masalah duniawi, mereka tidak panik atau putus asa karena keyakinan bahwa rezeki itu dari Allah dan hanya Allah yang bisa memberikannya. Ketenangan ini memungkinkan mereka untuk berpikir jernih dan mencari solusi terbaik, bukan reaktif dan emosional.
Penting untuk digarisbawahi bahwa "dunia datang kepadanya dengan tunduk" tidak menjamin kekayaan materi yang fantastis untuk semua orang. Konteksnya lebih kepada kemudahan, keberkahan, dan kecukupan. Artinya, kebutuhan dasarnya akan terpenuhi, hidupnya akan dimudahkan, dan ia akan mendapatkan bagiannya dari dunia tanpa harus menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar fatamorgana.
Kontras: "Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya..."
Bagian kedua dari hadits ini adalah peringatan yang tajam, menggambarkan kebalikan dari kondisi di atas. Orang yang menjadikan dunia sebagai "cita-citanya" (همّه) adalah mereka yang menjadikan kekayaan, kekuasaan, popularitas, dan kenikmatan fana sebagai tujuan akhir hidup mereka. Setiap keputusan, setiap tindakan, setiap perencanaan mereka berorientasi pada keuntungan duniawi semata, seringkali tanpa mempedulikan halal haram, etika, atau dampaknya terhadap akhirat.
Mereka bekerja keras, bahkan mungkin lebih keras, tetapi motivasinya adalah akumulasi pribadi. Mereka mungkin berhasil mengumpulkan banyak harta, tetapi batin mereka senantiasa hampa dan tidak pernah puas. Inilah ironi terbesar: semakin banyak yang mereka dapatkan, semakin besar pula rasa fakir dalam hati mereka.
"...niscaya Allah akan menjadikan kefakiran di hadapan kedua matanya..."
Ini adalah hukuman spiritual yang sangat pedih. "Kefakiran di hadapan kedua matanya" (فقره بين عينيه) berarti meskipun ia mungkin memiliki harta yang melimpah, ia akan selalu merasa miskin. Ia tidak pernah puas. Matanya selalu tertuju pada apa yang tidak ia miliki, atau pada apa yang dimiliki orang lain. Ia hidup dalam kecemasan konstan akan kehilangan, dan dalam ambisi tak berkesudahan untuk mendapatkan lebih banyak.
Kefakiran ini bukan tentang ketiadaan materi, melainkan ketiadaan rasa cukup (qana'ah). Hatinya fakir, jiwanya gelisah, dan pikirannya tidak tenang. Ia terus merasa kurang, padahal mungkin ia telah memiliki segalanya. Kekayaan eksternalnya berbanding terbalik dengan kekosongan internalnya. Ini adalah bentuk siksaan psikologis yang sangat berat, karena ia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati atau kedamaian batin.
Orang seperti ini seringkali tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya. Harta yang ia kumpulkan justru menjadi beban dan sumber kekhawatiran. Ia takut hartanya berkurang, takut dicuri, takut bangkrut. Ia tidak bisa tidur nyenyak karena dikejar ambisi dan ketakutan. Ini adalah kemiskinan sejati, kemiskinan yang terletak di hati, yang membuat seseorang merasa tidak pernah cukup.
"...dan mencerai-beraikan segala urusannya..."
Kebalikan dari "mengumpulkan segala urusannya," bagian ini menggambarkan kekacauan dan disorganisasi. Ketika dunia menjadi fokus utama, manusia cenderung kehilangan arah. Ada begitu banyak peluang, begitu banyak godaan, begitu banyak hal yang bisa dikejar di dunia ini, sehingga ia merasa harus mengejar semuanya.
Pikirannya menjadi terpecah belah (فرق عليه شمله). Ia tidak memiliki tujuan tunggal yang jelas, melainkan sekumpulan ambisi duniawi yang seringkali saling bertentangan. Ia mungkin mencoba banyak hal sekaligus, tetapi tidak ada yang benar-benar berhasil atau memberikan kepuasan. Ia mungkin terjebak dalam berbagai skema cepat kaya, janji-janji palsu, atau bahkan terlibat dalam praktik-praktik yang tidak halal demi keuntungan materi.
Konsekuensinya adalah:
- Kecemasan dan Stres: Hidupnya dipenuhi oleh kecemasan, stres, dan tekanan. Ia selalu merasa terburu-buru, tetapi tidak pernah merasa maju.
- Kurangnya Keberkahan: Waktunya terasa sempit, dan usahanya seringkali tidak membuahkan hasil yang sepadan. Ada banyak energi yang terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak penting.
- Ketidakstabilan Emosi: Karena kebahagiaannya sangat tergantung pada pencapaian duniawi, ia akan mudah kecewa, marah, dan frustrasi ketika menghadapi kegagalan atau rintangan.
- Hubungan yang Rusak: Demi mencapai tujuan duniawi, ia mungkin mengorbankan hubungan dengan keluarga, teman, atau bahkan nilai-nilai moral. Ini pada akhirnya akan membuatnya kesepian dan terasing.
Orang yang urusannya tercerai-berai adalah orang yang hidupnya tidak memiliki fondasi yang kokoh. Ia seperti kapal tanpa kemudi yang terombang-ambing di lautan, tidak tahu ke mana tujuannya, dan pada akhirnya hanya akan tenggelam dalam lautan kekecewaan.
"...dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya."
Pernyataan ini adalah penutup yang sangat penting dan seringkali disalahpahami. Ia tidak mengatakan bahwa orang yang mengejar dunia tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa ia hanya akan mendapatkan "apa yang telah ditetapkan baginya" (إلا ما قدر له). Ini adalah pengingat akan takdir (qadar) dan ketentuan Allah.
Setiap manusia telah ditetapkan rezekinya. Tidak ada satu pun jiwa yang akan mati sebelum sempurna rezekinya. Oleh karena itu, berapapun kerasnya seseorang mengejar dunia, ia tidak akan pernah mendapatkan lebih dari apa yang telah Allah tetapkan baginya. Namun, ada perbedaan mendasar dalam bagaimana rezeki itu datang:
- Bagi Pengejar Akhirat: Rezeki datang dengan mudah, penuh berkah, dan diiringi ketenangan hati. Ia menerima rezekinya dengan rasa syukur dan kepuasan.
- Bagi Pengejar Dunia: Rezeki datang dengan susah payah, penuh perjuangan, kecemasan, dan seringkali tanpa keberkahan. Meskipun ia mendapatkan bagiannya, ia tidak akan pernah merasa cukup atau bahagia dengannya. Ia mungkin merasa "terpaksa" mendapatkan bagiannya, bukan sebagai anugerah.
Jadi, inti dari bagian ini adalah: usaha yang berlebihan untuk mengejar dunia tidak akan menambah apa pun pada rezeki yang telah ditetapkan. Justru, ia hanya akan menambah beban, kekhawatiran, dan kelelahan. Ironisnya, orang yang mengejar dunia dengan sepenuh hati seringkali harus bekerja jauh lebih keras, mengorbankan lebih banyak, dan menanggung lebih banyak stres untuk mendapatkan jumlah rezeki yang sama, atau bahkan lebih sedikit, dibandingkan orang yang fokus pada akhirat.
Mengejar Akhirat Bukan Berarti Mengabaikan Dunia
Seringkali muncul kesalahpahaman bahwa fokus pada akhirat berarti menjadi pasif dalam urusan dunia, tidak bekerja, tidak berinovasi, atau tidak berkontribusi pada kemajuan peradaban. Ini adalah interpretasi yang keliru. Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan. Dunia ini adalah jembatan menuju akhirat, dan jembatan harus dijaga, dibangun, dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah seorang pedagang yang jujur dan sukses sebelum kenabian. Para sahabat beliau adalah pebisnis, petani, dan pemimpin yang ulung. Mereka membangun peradaban yang gemilang. Namun, mereka melakukannya dengan niat yang benar: untuk menegakkan kalimat Allah, mencari rezeki yang halal, dan menggunakannya di jalan Allah. Pekerjaan mereka adalah ibadah, dan kesuksesan duniawi mereka adalah hasil dari ketakwaan mereka.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." (QS. Al-Qasas: 77)
Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa kita tidak boleh melupakan bagian kita dari dunia. Ini adalah tentang menempatkan prioritas yang benar. Dunia adalah sarana, bukan tujuan akhir. Kita menggunakan dunia untuk mencapai akhirat, bukan mengorbankan akhirat demi dunia.
Bagaimana Menerapkan Prinsip Ini dalam Kehidupan Modern?
- Reorientasi Niat: Setiap pagi, ketika memulai hari, niatkan segala aktivitas Anda, baik bekerja, belajar, mengurus keluarga, atau berinteraksi sosial, sebagai ibadah dan bekal untuk akhirat. Misal, bekerja bukan hanya untuk uang, tapi untuk mencari rezeki halal agar bisa memberi nafkah, bersedekah, dan menjadi mandiri.
- Prioritaskan Ibadah: Shalat lima waktu adalah tiang agama. Jangan pernah mengorbankannya demi urusan dunia. Jadikan shalat sebagai momen relaksasi spiritual dan pengisian energi. Begitu pula dengan puasa, zakat, dan ibadah lainnya.
- Etika dan Integritas dalam Bekerja: Jadilah pekerja yang jujur, amanah, dan profesional. Hindari penipuan, korupsi, atau segala bentuk kecurangan. Keberkahan rezeki lebih utama daripada kuantitasnya.
- Manajemen Keuangan dengan Perspektif Akhirat: Gunakan harta Anda untuk hal-hal yang bermanfaat, bukan hanya untuk kesenangan sesaat. Sisihkan untuk sedekah, infaq, wakaf, dan investasi akhirat lainnya. Jangan biarkan harta menguasai Anda, tetapi Anda yang menguasai harta.
- Pendidikan dan Ilmu: Cari ilmu yang bermanfaat, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Gunakan ilmu Anda untuk kemaslahatan umat dan mendekatkan diri kepada Allah.
- Hubungan Sosial yang Baik: Perlakukan orang lain dengan baik, bersikap adil, dan bantu sesama. Ini adalah bentuk investasi sosial yang akan berbuah pahala di akhirat dan kebaikan di dunia.
- Sabar dalam Ujian dan Syukur dalam Nikmat: Hidup pasti akan ada ujian. Orang yang berfokus pada akhirat akan memandang ujian sebagai cara Allah menghapus dosa atau mengangkat derajatnya. Mereka akan bersabar. Demikian pula saat mendapatkan nikmat, mereka bersyukur dan menggunakannya di jalan Allah, bukan sombong atau lalai.
- Menghindari Perlombaan Dunia yang Tidak Sehat: Sadari bahwa perlombaan mengejar materi seringkali tidak ada habisnya. Fokus pada kebutuhan dan rasa cukup, bukan pada standar yang ditetapkan oleh masyarakat konsumtif.
Studi Kasus dari Sejarah Islam
Sejarah Islam penuh dengan contoh individu yang menerapkan prinsip "mengejar akhirat, dunia mengikuti" dan meraih kesuksesan di kedua alam:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq: Salah satu sahabat terkemuka, beliau adalah seorang pedagang yang sukses. Namun, seluruh hidupnya didedikasikan untuk Islam. Beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, membela Rasulullah ﷺ, dan menjadi khalifah pertama yang menghadapi berbagai tantangan dengan penuh keimanan dan tawakkal. Beliau meraih kedudukan mulia di sisi Allah dan dikenang sebagai salah satu pemimpin terbaik dalam sejarah.
- Umar bin Khattab: Khalifah kedua yang terkenal dengan keadilan dan ketegasannya. Di bawah kepemimpinannya, wilayah Islam meluas secara drastis, namun beliau hidup sangat sederhana, memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Dunia "tunduk" kepadanya dalam bentuk penaklukan dan administrasi yang efektif, semua demi tegaknya syariat Allah.
- Abdurrahman bin Auf: Salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau adalah seorang pengusaha yang sangat kaya, namun kekayaannya tidak pernah membuatnya lalai dari akhirat. Ia terkenal sangat dermawan, menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan selalu mencari keridhaan-Nya dalam setiap transaksinya. Kekayaan datang kepadanya seolah tanpa henti, karena ia menggunakannya untuk tujuan yang mulia.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa konsep "mengejar akhirat, dunia mengikuti" bukanlah utopia, melainkan sebuah realitas yang bisa dicapai jika fondasi keimanan dan niat telah tertata dengan benar.
Fenomena Dunia Modern dan Relevansi Hadits
Di era globalisasi dan digital saat ini, tekanan untuk mengejar kesuksesan duniawi semakin intens. Media sosial, iklan, dan budaya konsumerisme terus-menerus mendorong manusia untuk membandingkan diri dengan orang lain, merasa kurang, dan mengejar standar hidup yang seringkali tidak realistis. Hal ini menyebabkan banyak individu terjebak dalam perlombaan tanpa akhir yang menguras energi fisik, mental, dan spiritual.
Di sinilah hadits ini menemukan relevansinya yang paling fundamental. Ia menawarkan penawar bagi kegelisahan modern. Ketika seseorang kembali pada prinsip bahwa akhirat adalah tujuan utama, ia akan mendapatkan kebebasan dari rantai perbandingan sosial, dari obsesi terhadap harta, dan dari ketakutan akan kegagalan duniawi.
Berapa banyak orang yang meraih puncak kesuksesan karir, memiliki harta melimpah, namun merasa hampa, terasing, dan kehilangan makna hidup? Mereka mendapatkan dunia, tetapi dunia tidak memberikan mereka ketenangan hati. Ini persis seperti apa yang dijelaskan dalam hadits, di mana "kefakiran di hadapan kedua matanya" adalah sebuah realitas yang pahit bagi banyak individu yang menjadikan dunia sebagai fokus utamanya.
Sebaliknya, ada banyak kisah inspiratif tentang individu-individu yang, meskipun tidak memiliki kekayaan materi yang luar biasa, hidup dalam kedamaian, kepuasan, dan memberikan dampak positif yang besar bagi masyarakat. Mereka adalah contoh hidup dari "kekayaan di hati" dan "urusan yang terkumpul." Mereka mungkin tidak menjadi berita utama di majalah bisnis, tetapi mereka adalah orang-orang yang meraih kesuksesan sejati di mata Allah.
Menjaga Keseimbangan: Antara Ibadah dan Muamalah
Memahami hadits ini juga berarti memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara ibadah (hubungan vertikal dengan Allah) dan muamalah (hubungan horizontal dengan sesama manusia dan lingkungan). Ibadah yang benar akan memperbaiki muamalah, dan muamalah yang baik adalah refleksi dari ibadah yang tulus. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama dalam mengejar akhirat.
- Ibadah sebagai Fondasi: Shalat yang khusyuk, puasa yang ikhlas, zakat yang menumbuhkan, dan haji yang mabrur adalah pilar-pilar yang memperkuat niat akhirat kita. Mereka adalah pengingat konstan tentang tujuan hidup kita dan sumber kekuatan spiritual.
- Muamalah sebagai Wujud: Bagaimana kita berdagang, bagaimana kita bekerja, bagaimana kita memperlakukan tetangga, bagaimana kita menjaga lingkungan, bagaimana kita mendidik anak-anak—semua ini adalah manifestasi dari iman dan niat akhirat kita. Muamalah yang baik adalah cara kita menunjukkan bahwa kita adalah hamba Allah yang berusaha membawa kebaikan di muka bumi.
Ketika seseorang menggabungkan ibadah yang kuat dengan muamalah yang etis dan produktif, ia tidak hanya membangun bekal akhirat yang kokoh, tetapi juga secara otomatis menciptakan kehidupan dunia yang lebih stabil, damai, dan berkah.
Tawakkal dan Keyakinan pada Rezeki Allah
Salah satu pilar utama dalam mengaplikasikan hadits ini adalah tawakkal (kebergantungan penuh kepada Allah) dan keyakinan teguh pada rezeki Allah. Orang yang mengejar akhirat memiliki keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rezeki. Ia bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin, tetapi hatinya tidak terpaut pada hasil usaha tersebut. Ia menyerahkan hasilnya kepada Allah, karena ia tahu bahwa hanya Allah yang bisa memberinya rezeki dan hanya Allah yang menguasai segalanya.
Keyakinan ini membebaskannya dari kecemasan berlebihan, dari rasa iri hati, dan dari sifat tamak. Ia tahu bahwa apa yang ditakdirkan untuknya tidak akan meleset darinya, dan apa yang bukan bagiannya tidak akan pernah bisa ia dapatkan, meskipun ia mencarinya dengan seluruh tenaganya.
Tawakkal yang benar bukan berarti bermalas-malasan tanpa usaha. Sebaliknya, tawakkal yang benar adalah berusaha dengan sungguh-sungguh sambil hati berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ, "Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah." Artinya, lakukan ikhtiar (usaha) semaksimal mungkin, setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah. Sikap inilah yang mendatangkan keberkahan dan ketenangan.
Dampak Kolektif dan Pembangunan Peradaban
Jika prinsip "mengejar akhirat, dunia mengikuti" diterapkan secara massal oleh individu-individu dalam sebuah masyarakat, dampaknya akan sangat positif dan transformatif. Masyarakat akan dipenuhi oleh orang-orang yang jujur, amanah, tekun, dermawan, dan saling membantu.
Dalam masyarakat seperti ini:
- Ekonomi akan Sehat: Transaksi akan didasarkan pada kejujuran dan keadilan, menghindari riba, spekulasi, dan penipuan. Ini menciptakan stabilitas ekonomi dan distribusi kekayaan yang lebih merata.
- Keadilan Sosial Terwujud: Orang-orang akan peduli terhadap sesama, zakat dan sedekah akan mengalir, membantu mengurangi kesenjangan sosial dan kemiskinan.
- Inovasi dan Kemajuan: Umat Islam akan didorong untuk mencari ilmu dan berinovasi bukan hanya demi keuntungan pribadi, tetapi demi kemaslahatan umat dan menegakkan kalimat Allah, yang pada akhirnya akan membawa kemajuan peradaban.
- Keamanan dan Kedamaian: Dengan hati yang kaya dan urusan yang terkumpul, tingkat kejahatan dan konflik akan menurun. Masyarakat akan hidup dalam suasana saling percaya dan harmonis.
Hadits ini bukan hanya tentang kebaikan individu, tetapi juga tentang pembangunan peradaban yang berlandaskan nilai-nilai ilahi. Peradaban Islam pada masa keemasannya adalah bukti nyata bagaimana prinsip ini dapat memimpin umat menuju puncak keunggulan, baik spiritual maupun material.
Kesimpulan
Hadits "Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya, mengumpulkan segala urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dengan tunduk. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, niscaya Allah akan menjadikan kefakiran di hadapan kedua matanya, mencerai-beraikan segala urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya" adalah sebuah mutiara hikmah yang tak lekang oleh zaman. Ia menawarkan solusi abadi bagi kegelisahan manusia dalam mencari makna dan kebahagiaan.
Mengejar akhirat bukanlah sebuah pilihan untuk meninggalkan dunia, melainkan sebuah cara hidup yang mengintegrasikan dunia ke dalam tujuan yang lebih besar dan abadi. Dengan menempatkan Allah sebagai tujuan utama, dengan menjadikan ridha-Nya sebagai kompas hidup, kita tidak hanya akan meraih kebahagiaan di akhirat, tetapi juga akan mendapatkan ketenangan hati, keberkahan, dan kemudahan dalam urusan dunia. Dunia akan mengikuti, bukan karena kita mengejarnya, melainkan karena kita telah memilih prioritas yang benar.
Sebaliknya, mengejar dunia dengan mengabaikan akhirat adalah resep untuk kekecewaan, kegelisahan, dan kefakiran batin. Meskipun mungkin tampak berhasil secara lahiriah, batinnya akan tetap kosong dan tidak pernah merasa puas. Pada akhirnya, dunia yang dikejarnya dengan susah payah pun tidak akan datang melebihi apa yang telah Allah tetapkan.
Maka, marilah kita senantiasa merefleksikan prioritas hidup kita. Apakah kita telah menjadikan akhirat sebagai cita-cita utama kita? Apakah setiap langkah kita telah diiringi dengan niat mencari ridha Allah? Jika ya, insya Allah, kita akan menemukan bahwa janji dalam hadits ini adalah sebuah kebenaran mutlak yang akan membawa kita kepada kehidupan yang berkah, damai, dan penuh makna, baik di dunia ini maupun di kehidupan abadi yang menanti di akhirat.