Pengantar Aqiqah: Anugerah dan Syukur
Kelahiran seorang anak adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi setiap pasangan suami istri. Ia membawa kebahagiaan, harapan, dan tanggung jawab besar. Dalam Islam, momen sakral ini diiringi dengan beberapa sunnah dan syariat yang bertujuan untuk menyempurnakan rasa syukur kita kepada Sang Pencipta, sekaligus sebagai bentuk perlindungan dan keberkahan bagi sang buah hati. Salah satu syariat penting yang terkait dengan kelahiran anak adalah aqiqah.
Aqiqah bukan hanya sekadar tradisi turun-temurun, melainkan sebuah ibadah yang memiliki landasan kuat dalam syariat Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ibadah ini mengandung banyak hikmah dan keutamaan, baik bagi anak yang di-aqiqahi maupun bagi kedua orang tuanya dan masyarakat sekitar. Dengan melaksanakan aqiqah, orang tua menunjukkan rasa syukur atas karunia keturunan, sekaligus memohon perlindungan dan keberkahan bagi anaknya di awal kehidupannya.
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai aqiqah, mulai dari definisi, dalil-dalil pensyariatannya, hukumnya menurut berbagai madzhab, syarat-syarat hewan aqiqah, waktu pelaksanaannya, hingga tata cara yang benar, serta berbagai permasalahan kontemporer yang sering muncul seputar ibadah ini. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif agar umat Muslim dapat melaksanakan aqiqah dengan benar sesuai tuntunan syariat.
Definisi Aqiqah
Secara Bahasa (Etimologi)
Kata "aqiqah" (العقيقة) berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Salah satu makna yang paling umum adalah "rambut yang tumbuh di kepala bayi sejak lahir" (rambut jabang bayi). Ada pula yang mengartikan "aqiqah" sebagai "memotong" atau "belahan". Sebagian ulama juga menafsirkannya sebagai "hewan yang disembelih pada saat mencukur rambut bayi".
Imam Al-Khaththabi رحمه الله dalam kitab Ma’alim as-Sunan menyebutkan bahwa asal kata aqiqah adalah memotong. Dikatakan: ‘Aqa qaumuhu syakiran artinya apabila seseorang memotongnya. Dikatakan pula: ‘Aqa walidayhi apabila seseorang durhaka kepada kedua orang tuanya (memotong silaturahim). Demikian juga rambut bayi yang baru lahir disebut ‘aqiqah karena dipotong.
Secara Istilah (Terminologi Syar'i)
Dalam terminologi syariat Islam, aqiqah diartikan sebagai "penyembelihan hewan dalam rangka bersyukur kepada Allah SWT atas kelahiran seorang anak, pada hari ketujuh kelahirannya, dengan niat dan tata cara tertentu yang disyariatkan."
Definisi ini mencakup beberapa elemen penting:
- Penyembelihan Hewan: Menunjukkan ritual utama aqiqah.
- Rasa Syukur: Motivasi utama di balik ibadah ini adalah ungkapan terima kasih kepada Allah atas karunia anak.
- Kelahiran Anak: Aqiqah khusus dilakukan untuk anak yang baru lahir.
- Hari Ketujuh: Waktu yang disunnahkan untuk pelaksanaannya.
- Niat dan Tata Cara Tertentu: Menunjukkan bahwa aqiqah adalah ibadah yang harus mengikuti tuntunan syariat.
Beberapa ulama seperti Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya menegaskan bahwa aqiqah adalah nama untuk sembelihan itu sendiri, bukan hanya rambut bayi. Namun, kedua makna ini (rambut dan sembelihan) seringkali terkait erat dalam praktik sunnah Rasulullah SAW.
Dalil-Dalil Pensyariatan Aqiqah
Pensyariatan aqiqah memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, banyak hadits shahih yang menjelaskan secara rinci tentang ibadah ini. Ini menunjukkan bahwa aqiqah adalah bagian dari sunnah nabawiyah yang harus diikuti oleh umat Muslim.
Hadits-Hadits Utama tentang Aqiqah
Berikut adalah beberapa hadits utama yang menjadi landasan pensyariatan aqiqah:
-
Hadits Samurah bin Jundub RA:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
"Dari Samurah bin Jundub RA, Rasulullah SAW bersabda: 'Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.'" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Al-Albani).
Hadits ini adalah dalil paling kuat dan fundamental dalam pensyariatan aqiqah. Beberapa poin penting dari hadits ini:
- "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya" (كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ): Ungkapan "tergadai" (رهينة) memiliki beberapa penafsiran di kalangan ulama.
- Pendapat pertama: Bahwa anak tersebut tertahan dari syafa'at (pertolongan) kepada orang tuanya di akhirat kelak jika aqiqahnya tidak dilaksanakan. Ini adalah pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dan lainnya.
- Pendapat kedua: Bahwa anak tersebut tertahan dari pertumbuhan yang sempurna dan berkah dalam hidupnya. Ini pandangan sebagian ulama Salaf.
- Pendapat ketiga: Bahwa aqiqah merupakan bentuk pembayaran atau penebusan bagi anak atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah, mirip dengan tebusan untuk orang yang tertawan.
- "Disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh" (تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ): Menunjukkan waktu yang paling utama (afdal) untuk pelaksanaan aqiqah.
- "Dicukur rambutnya dan diberi nama" (وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى): Menunjukkan sunnah-sunnah lain yang menyertai aqiqah pada hari ketujuh.
-
Hadits Salman bin Amir Ad-Dhabbi RA:
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
"Dari Salman bin Amir Ad-Dhabbi RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 'Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkanlah darah (sembelihlah hewan) untuknya dan bersihkanlah kotoran darinya.'" (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Hadits ini juga memperkuat pensyariatan aqiqah dan penggunaan istilah "darah" (dam) yang merujuk pada penyembelihan hewan. Ungkapan "bersihkanlah kotoran darinya" (أَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى) ditafsirkan sebagai mencukur rambut bayi, karena rambut bayi yang baru lahir dianggap membawa kotoran atau hal yang tidak perlu.
-
Hadits Aisyah RA tentang Jumlah Hewan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Dari Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami agar di-aqiqahi untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albani).
Hadits ini secara spesifik menjelaskan perbedaan jumlah hewan yang disembelih untuk anak laki-laki dan perempuan, yang menjadi panduan utama dalam pelaksanaan aqiqah.
-
Hadits Ibnu Abbas RA:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
"Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah SAW mengakikahi Hasan dan Husain masing-masing dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i).
Hadits ini terkadang menimbulkan pertanyaan karena Rasulullah SAW mengakikahi Hasan dan Husain (keduanya laki-laki) masing-masing dengan satu ekor kambing, yang bertentangan dengan hadits Aisyah yang menyatakan dua ekor. Para ulama menjelaskan bahwa hadits Aisyah menunjukkan anjuran atau yang afdal, sementara hadits Ibnu Abbas menunjukkan kebolehan minimal. Ada juga yang berpendapat bahwa ini menunjukkan fleksibilitas, atau bahwa Rasulullah SAW melakukannya dengan satu kambing karena kondisi tertentu, dan dua kambing adalah anjuran sempurna.
Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa aqiqah adalah ibadah yang disyariatkan dan sangat dianjurkan dalam Islam, dengan tujuan untuk bersyukur dan memohon keberkahan bagi anak yang baru lahir.
Hukum Aqiqah dalam Islam
Mengenai hukum aqiqah, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda, meskipun mayoritas bersepakat pada satu hukum. Perbedaan ini muncul dari interpretasi terhadap redaksi hadits-hadits yang ada.
1. Pandangan Jumhur Ulama (Mayoritas): Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama dari madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah Sunnah Muakkadah. Sunnah Muakkadah berarti sunnah yang sangat dianjurkan, yang hampir mendekati wajib karena konsistensi Rasulullah SAW dalam melaksanakannya dan perintah-perintah yang mengarah padanya. Namun, ia tidak sampai pada derajat wajib, sehingga orang yang meninggalkannya tidak berdosa.
Argumentasi mereka didasarkan pada:
- Hadits Samurah bin Jundub: Ungkapan "tergadai" (رهينة) tidak diartikan sebagai "wajib" secara mutlak, melainkan sebagai penekanan pada keutamaan dan pentingnya. Mereka mengartikan bahwa keberkahan, kebaikan, dan syafa'at anak di akhirat menjadi sempurna dengan aqiqah.
- Tindakan Rasulullah SAW: Beliau sendiri mengaqiqahi cucu-cucunya, Hasan dan Husain. Ini menunjukkan praktik dan anjuran, bukan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang tua tanpa kecuali.
- Ketiadaan Ancaman Dosa: Tidak ada ancaman dosa atau sanksi syar'i bagi orang tua yang tidak mampu melaksanakannya, seperti halnya shalat atau puasa Ramadhan. Ini menguatkan bahwa aqiqah bukan kewajiban mutlak.
- Fleksibilitas Jumlah Hewan: Hadits Ibnu Abbas yang menunjukkan Rasulullah SAW mengakikahi Hasan dan Husain dengan masing-masing satu kambing, padahal hadits Aisyah menyebutkan dua kambing untuk anak laki-laki. Fleksibilitas ini menunjukkan bukan kewajiban yang kaku.
- Tidak Wajib bagi yang Tidak Mampu: Para ulama sepakat bahwa aqiqah tidak wajib bagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan finansial. Jika ia wajib, maka akan diwajibkan bagi setiap orang tua tanpa memandang kemampuannya.
Oleh karena itu, jika orang tua memiliki kemampuan, sangat dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah karena banyaknya kebaikan dan keberkahan di dalamnya. Namun, jika tidak mampu, maka gugurlah sunnah ini tanpa beban dosa.
2. Pandangan Madzhab Hanafi: Mubah (Boleh) atau Tidak Disyariatkan
Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka umumnya berpendapat bahwa aqiqah hukumnya mubah (boleh), bahkan sebagian ulama Hanafi menganggapnya sebagai kebiasaan Arab jahiliyah yang tidak disyariatkan secara khusus. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits tentang aqiqah tidak mencapai derajat yang mewajibkan atau bahkan menganjurkan secara kuat, dan mereka lebih fokus pada korban (udhiyyah) sebagai satu-satunya penyembelihan yang disyariatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Namun, pandangan yang lebih masyhur di kalangan ulama Hanafi adalah bahwa aqiqah adalah sebuah kebaikan (hasanah) jika dilakukan, namun tidak sampai derajat sunnah muakkadah. Mereka melihat bahwa hadits-hadits tersebut lebih menunjukkan kebolehan atau anjuran secara umum untuk bersedekah dan bersyukur atas kelahiran anak, bukan sebagai ibadah tersendiri dengan aturan khusus. Beberapa ulama Hanafi bahkan menganggap aqiqah telah dinasakh (dihapus) oleh syariat qurban.
Meskipun demikian, pandangan jumhur ulama tetap lebih kuat dan lebih banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia.
3. Pandangan yang Mewajibkan Aqiqah
Ada pula sebagian ulama, di antaranya Hasan Al-Bashri, Dawud Azh-Zhahiri, dan sebagian kecil ulama madzhab Zhahiri, yang berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah wajib. Argumentasi mereka didasarkan pada:
- Redaksi "Kullu ghulamin rahinatun bi aqiqatihi": Mereka menafsirkan kata "tergadai" (رهينة) sebagai kewajiban mutlak. Jika tidak dilakukan, maka anak tersebut akan tertahan dari kebaikan atau syafa'atnya.
- Perintah Rasulullah SAW: Mereka melihat perintah-perintah dalam hadits sebagai bentuk kewajiban, bukan hanya anjuran.
Namun, pandangan ini dianggap lemah oleh jumhur ulama karena interpretasi "tergadai" yang terlalu keras dan ketiadaan ancaman dosa yang jelas dalam syariat, serta praktik Rasulullah SAW yang kadang hanya menyembelih satu kambing untuk anak laki-laki.
Kesimpulan Hukum
Berdasarkan dalil-dalil dan perdebatan ulama, dapat disimpulkan bahwa pandangan yang paling kuat dan diamalkan oleh mayoritas umat Islam adalah bahwa hukum aqiqah adalah Sunnah Muakkadah. Ini berarti sangat dianjurkan untuk melaksanakannya jika mampu, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Jika tidak mampu, maka tidak ada dosa baginya.
Oleh karena itu, bagi setiap orang tua yang dikaruniai rezeki dan kemampuan, hendaknya tidak melewatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Namun, penting untuk diingat bahwa aqiqah tidak boleh membebani orang tua hingga jatuh ke dalam kesulitan finansial atau berhutang demi melaksanakannya, kecuali jika hutang tersebut memang mampu dilunasi tanpa memberatkan.
Hikmah dan Tujuan Aqiqah
Setiap syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT pasti mengandung hikmah dan tujuan yang agung, baik yang dapat kita pahami maupun yang tidak. Demikian pula dengan ibadah aqiqah, ia memiliki banyak hikmah yang melampaui sekadar penyembelihan hewan. Hikmah-hikmah ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan bahkan psikologis.
1. Ungkapan Rasa Syukur kepada Allah SWT
Ini adalah hikmah utama dari aqiqah. Kelahiran seorang anak adalah karunia besar yang tidak ternilai harganya. Dengan melaksanakan aqiqah, orang tua mengekspresikan rasa terima kasih mereka kepada Allah SWT atas anugerah keturunan yang shalih/shalihah. Syukur adalah kunci keberkahan, sebagaimana firman Allah: "Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu." (QS. Ibrahim: 7).
2. Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW
Melaksanakan aqiqah adalah bentuk ketaatan dan ittiba' (mengikuti) jejak Rasulullah SAW. Beliau adalah teladan terbaik bagi umat manusia, dan setiap ajaran serta praktik beliau pasti mengandung kebaikan. Dengan mengikuti sunnah beliau, kita berharap mendapatkan syafa'at dan pahala dari Allah SWT.
3. Penebus atau Tebusan bagi Anak
Sebagaimana disebutkan dalam hadits "setiap anak tergadai dengan aqiqahnya", ini mengisyaratkan bahwa aqiqah berfungsi sebagai semacam penebusan atau pelepasan anak dari belenggu atau halangan tertentu. Sebagian ulama menafsirkan bahwa anak tersebut dilepaskan dari godaan setan, atau terlepas dari hambatan untuk memberikan syafa'at kepada orang tuanya kelak di akhirat.
4. Memperkuat Tali Silaturahmi dan Kebersamaan Sosial
Daging aqiqah yang disembelih disunnahkan untuk dimasak terlebih dahulu, kemudian dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, tetangga, dan sahabat. Praktik ini secara langsung memperkuat ikatan sosial dan silaturahmi. Orang tua berbagi kebahagiaan dengan orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung, sehingga tercipta rasa persaudaraan dan kepedulian. Ini juga merupakan momen untuk mengumumkan kelahiran anak dan memohon doa dari orang-orang sekitar.
5. Perlindungan dari Gangguan Setan
Beberapa ulama menafsirkan hadits "tergadai" sebagai perlindungan dari setan. Sejak lahir, anak adalah target setan untuk digoda dan disesatkan. Dengan aqiqah, seolah-olah anak telah dilindungi dan dibentengi dengan menyebut nama Allah saat penyembelihan. Ini juga merupakan bentuk awal pendidikan tauhid bagi anak melalui amal perbuatan orang tuanya.
6. Bentuk Sedekah dan Kebaikan
Aqiqah adalah bentuk sedekah yang paling utama di awal kehidupan seorang anak. Bersedekah membersihkan harta, mendatangkan pahala, dan menolak bala. Dengan bersedekah daging aqiqah, orang tua berharap kebaikan dan keberkahan bagi anak mereka.
7. Membersihkan dan Menyucikan Anak
Terkait dengan sunnah mencukur rambut bayi, sebagian ulama mengaitkannya dengan pembersihan dan penyucian fisik serta spiritual. Rambut yang dicukur adalah rambut yang tumbuh di dalam rahim, dan diganti dengan rambut yang baru dan bersih. Ini melambangkan awal kehidupan yang baru dan bersih dari dosa.
8. Naming Ceremony (Pemberian Nama)
Pemberian nama yang baik pada hari ketujuh, bersamaan dengan aqiqah, adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Nama adalah doa dan identitas seorang anak sepanjang hidupnya. Memberikan nama yang indah dan bermakna Islami merupakan hak anak dan kewajiban orang tua.
9. Pendidikan Tauhid Sejak Dini
Meskipun anak belum mengerti, pelaksanaan aqiqah oleh orang tua adalah wujud nyata dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah fondasi pertama dalam membangun keluarga Muslim yang taat, di mana nilai-nilai ibadah telah diperkenalkan bahkan sebelum anak menyadarinya.
Dengan memahami hikmah-hikmah ini, diharapkan setiap Muslim dapat melaksanakan aqiqah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, bukan sekadar mengikuti adat atau tuntutan sosial, melainkan sebagai ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT.
Syarat-Syarat Hewan Aqiqah
Agar aqiqah sah dan diterima di sisi Allah SWT, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terkait dengan hewan yang akan disembelih. Syarat-syarat ini sebagian besar mirip dengan syarat hewan qurban, karena keduanya adalah ibadah penyembelihan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
1. Jenis Hewan
Hewan yang disyariatkan untuk aqiqah adalah kambing atau domba.
- Untuk anak laki-laki: Disunnahkan dua ekor kambing/domba. Ini berdasarkan hadits Aisyah RA, "Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami agar di-aqiqahi untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing." (HR. Tirmidzi).
- Untuk anak perempuan: Disunnahkan satu ekor kambing/domba.
Meskipun demikian, jika ada keterbatasan, satu ekor kambing untuk anak laki-laki juga diperbolehkan, sebagaimana praktik Rasulullah SAW yang mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan satu ekor kambing (HR. Abu Dawud). Namun, yang afdal tetap dua ekor untuk anak laki-laki.
Bagaimana dengan sapi atau unta?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing/domba. Penyembelihan sapi atau unta untuk aqiqah tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang jelas dari Nabi SAW yang menunjukkan beliau pernah mengaqiqahi dengan sapi atau unta. Meskipun sapi dan unta boleh untuk qurban, aqiqah memiliki ketentuan tersendiri.
Namun, sebagian kecil ulama (seperti ulama madzhab Hanafi yang mengkiaskan aqiqah dengan qurban) memperbolehkan sapi atau unta, dengan perhitungan bahwa satu sapi atau unta dapat untuk tujuh bagian, di mana satu bagiannya diperuntukkan untuk aqiqah. Akan tetapi, pandangan jumhur ulama yang mensyaratkan kambing/domba lebih kuat dan lebih selamat.
2. Umur Hewan
Sama seperti hewan qurban, hewan aqiqah juga harus memenuhi syarat umur tertentu:
- Domba (Dha'n): Minimal berumur 6 bulan dan sudah berganti gigi. Sebagian ulama memperbolehkan jika domba tersebut terlihat besar dan sehat, meskipun belum genap 6 bulan.
- Kambing (Ma'z): Minimal berumur 1 tahun dan sudah masuk tahun kedua (genap 12 bulan).
3. Kesehatan Hewan dan Bebas Cacat
Hewan aqiqah harus sehat, tidak cacat, dan gemuk. Cacat yang tidak diperbolehkan sama dengan cacat pada hewan qurban, yaitu:
- Pincang yang jelas: Hingga tidak mampu berjalan dengan normal.
- Sakit yang jelas: Dengan tanda-tanda sakit yang parah, seperti demam tinggi, kurus kering, dan tidak mampu makan.
- Buta sebelah atau kedua matanya: Atau matanya sangat rusak.
- Sangat kurus: Hingga tidak memiliki sumsum tulang.
- Terpotong sebagian besar telinganya atau ekornya.
- Tidak memiliki tanduk (bawaan lahir) atau tanduknya patah sebagian kecil masih boleh, namun jika patah hingga ke akar telinga, tidak boleh.
Hewan yang sehat dan gemuk adalah cerminan dari kesempurnaan ibadah dan rasa syukur kepada Allah SWT.
4. Milik Sendiri dan Halal
Hewan yang akan di-aqiqahi haruslah milik orang tua (atau yang mengaqiqahi) secara sah dan diperoleh dengan cara yang halal. Tidak sah aqiqah dengan hewan hasil curian, riba, atau cara-cara haram lainnya.
Memastikan semua syarat ini terpenuhi sangat penting untuk kesempurnaan ibadah aqiqah kita. Pilihlah hewan yang terbaik, sebagaimana Rasulullah SAW selalu menganjurkan untuk memberikan yang terbaik dalam ibadah kepada Allah.
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Waktu pelaksanaan aqiqah adalah salah satu aspek penting yang juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah SAW. Meskipun ada waktu yang paling utama, Islam juga memberikan kelonggaran bagi orang tua yang memiliki keterbatasan.
1. Waktu yang Paling Utama (Afdal): Hari Ketujuh
Mayoritas ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Ini didasarkan pada hadits Samurah bin Jundub RA:
"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Cara menghitung hari ketujuh:
- Jika anak lahir pada siang hari (sebelum Maghrib), maka hari kelahirannya dihitung sebagai hari pertama. Hari ketujuh adalah enam hari setelah hari kelahirannya. Contoh: Lahir hari Senin siang, maka hari Senin dihitung hari ke-1, aqiqah pada hari Ahad.
- Jika anak lahir pada malam hari (setelah Maghrib), maka hari kelahirannya tidak dihitung. Hari berikutnya baru dihitung sebagai hari pertama. Contoh: Lahir hari Senin malam, maka hari Selasa dihitung hari ke-1, aqiqah pada hari Senin berikutnya.
2. Waktu Lain yang Diperbolehkan: Hari Keempat Belas atau Kedua Puluh Satu
Jika karena suatu hal tidak memungkinkan untuk melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, maka diperbolehkan pada hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. Ini didasarkan pada hadits berikut:
Dari Buraydah bin Al-Khasib RA, ia berkata: "Apabila salah seorang di antara kalian melahirkan anak, dan ia ingin mengaqiqahinya, maka ia mengaqiqahinya pada hari ketujuh, jika tidak bisa pada hari ketujuh, maka pada hari keempat belas, jika tidak bisa, maka pada hari kedua puluh satu." (HR. Al-Baihaqi, dihasankan oleh Al-Albani).
Hadits ini menunjukkan adanya kelonggaran dalam waktu pelaksanaan, memberikan kesempatan bagi orang tua yang mungkin memiliki kendala pada hari ketujuh.
3. Setelah Hari Keduapuluh Satu (Sebelum Baligh)
Jika sampai hari kedua puluh satu pun aqiqah belum juga dilaksanakan, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama (terutama madzhab Syafi'i dan Hanbali) berpendapat bahwa aqiqah tetap bisa dilaksanakan kapan saja sebelum anak mencapai usia baligh (dewasa). Hal ini karena aqiqah adalah tanggung jawab orang tua dan disyariatkan untuk anak di masa kecilnya. Jika diundur, tidaklah mengapa selama masih dalam masa tanggungan orang tua.
Namun, jika sudah melewati masa baligh, maka tanggung jawab aqiqah dari orang tua telah gugur. Pada titik ini, muncul pertanyaan apakah anak tersebut boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?
4. Aqiqah bagi yang Sudah Dewasa (Meng-aqiqahi Diri Sendiri)
Mengenai seseorang yang belum di-aqiqahi oleh orang tuanya hingga ia dewasa, para ulama juga memiliki pandangan berbeda:
- Pandangan Jumhur (Madzhab Maliki, Syafi'i): Mereka berpendapat bahwa kewajiban aqiqah gugur setelah anak baligh, dan anak tidak disunnahkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri. Alasannya, aqiqah adalah tanggung jawab orang tua, bukan anak.
- Pandangan Madzhab Hanbali: Mereka membolehkan dan bahkan menganjurkan seseorang yang belum di-aqiqahi oleh orang tuanya untuk mengaqiqahi dirinya sendiri setelah baligh. Dalil mereka adalah keumuman hadits "setiap anak tergadai dengan aqiqahnya," yang menunjukkan pentingnya aqiqah. Jika orang tuanya tidak melaksanakannya, maka anak tersebut boleh melaksanakannya untuk dirinya sendiri agar terlepas dari "gadaian" tersebut.
Imam Ahmad sendiri pernah mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa karena orang tuanya belum melaksanakannya. Ini menunjukkan bahwa pandangan yang membolehkan aqiqah mandiri bagi yang sudah dewasa memiliki sandaran dari ulama besar.
Kesimpulan Waktu:
- Paling utama: Hari ketujuh.
- Alternatif: Hari ke-14 atau ke-21.
- Kelonggaran: Kapan saja sebelum baligh (bagi orang tua).
- Setelah baligh: Boleh mengaqiqahi diri sendiri menurut sebagian ulama (terutama Hanbali), dan ini adalah pandangan yang kuat dan banyak diamalkan oleh sebagian umat Muslim saat ini.
Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah
Setelah memahami hukum, syarat, dan waktu pelaksanaannya, penting juga untuk mengetahui tata cara aqiqah yang sesuai sunnah. Proses aqiqah tidak hanya melibatkan penyembelihan, tetapi juga serangkaian amalan lain yang melengkapinya.
1. Niat Aqiqah
Niat adalah pondasi setiap ibadah. Saat menyembelih hewan aqiqah, niatkanlah sembelihan tersebut sebagai aqiqah untuk anak yang bersangkutan, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Niat cukup diucapkan dalam hati, atau jika ingin dilafalkan bisa dengan kalimat singkat seperti "Aku menyembelih hewan ini sebagai aqiqah untuk anakku (sebut nama anak) karena Allah Ta'ala."
2. Penyembelihan Hewan
Penyembelihan hewan aqiqah dilakukan sesuai dengan syariat Islam, sebagaimana penyembelihan hewan qurban atau hewan halal lainnya. Syarat-syarat penyembelihan meliputi:
- Penyembelih: Harus seorang Muslim yang baligh dan berakal, atau ahli kitab (Yahudi/Nasrani) yang menyembelih sesuai syariat mereka.
- Alat Sembelih: Harus tajam agar hewan tidak tersiksa.
- Doa: Saat menyembelih, wajib membaca "Bismillah" (dengan menyebut nama Allah). Disunnahkan juga membaca takbir "Allahu Akbar" dan shalawat kepada Nabi.
- Arah Kiblat: Hewan dihadapkan ke kiblat.
- Memutus Dua Urat: Urat kerongkongan (saluran makanan) dan tenggorokan (saluran napas), serta dua urat nadi di leher harus putus agar darah mengalir deras dan hewan cepat mati.
Daging sembelihan aqiqah tidak boleh dijual, baik dagingnya, kulitnya, maupun bagian lainnya. Semua harus dibagikan atau dimakan.
3. Mengolah Daging Aqiqah
Disunnahkan untuk memasak daging aqiqah terlebih dahulu sebelum dibagikan. Ini berbeda dengan daging qurban yang boleh dibagikan mentah. Hikmahnya adalah agar mempermudah penerima dalam mengkonsumsinya dan juga merupakan kebiasaan yang lebih baik dalam menjamu orang. Semua bagian tubuh hewan (kecuali yang dilarang) dimasak.
Para ulama juga menyunnahkan untuk tidak mematahkan tulang-tulang hewan aqiqah saat memotong atau memasaknya, melainkan memotong dagingnya di antara ruas-ruas tulang. Hikmahnya adalah sebagai isyarat keselamatan dan kebaikan bagi anggota badan anak yang di-aqiqahi.
4. Pembagian Daging Aqiqah
Daging aqiqah yang telah dimasak dibagikan kepada:
- Fakir miskin: Untuk berbagi kebahagiaan dan membantu mereka yang membutuhkan.
- Kerabat dan tetangga: Untuk mempererat tali silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah.
- Sahabat dan kenalan: Sebagai bentuk jamuan dan pemberitahuan kabar gembira.
- Keluarga yang ber-aqiqah: Orang tua dan keluarga dekat juga boleh memakan sebagian dari daging aqiqah, seperti halnya daging qurban. Sepertiga untuk keluarga, sepertiga untuk kerabat/tetangga, dan sepertiga untuk fakir miskin adalah pembagian yang baik, meskipun tidak ada ketentuan porsi yang baku.
Penting untuk mengutamakan fakir miskin dalam pembagian, karena mereka yang paling membutuhkan.
5. Sunnah-Sunnah Lain yang Menyertai Aqiqah pada Hari Ketujuh
Selain penyembelihan, ada beberapa sunnah lain yang dianjurkan untuk dilakukan pada hari ketujuh bersamaan dengan aqiqah:
- Mencukur Rambut Bayi (Tahliq):
Mencukur rambut bayi hingga bersih (gundul) adalah sunnah yang ditekankan. Ini berdasarkan hadits Samurah: "...dicukur rambutnya..." dan hadits Salman bin Amir: "...bersihkanlah kotoran darinya." Setelah dicukur, rambut tersebut ditimbang, dan orang tua disunnahkan untuk bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut tersebut. Jika tidak ada perak, bisa diganti dengan emas, atau jika tidak ada keduanya, bisa dengan uang tunai seharga perak tersebut. Hikmahnya adalah membersihkan bayi dan sebagai bentuk sedekah.
- Memberi Nama yang Baik (Tasmiyah):
Memberi nama kepada anak yang baru lahir dengan nama yang baik dan Islami adalah hak anak dan kewajiban orang tua. Nama yang diberikan hendaknya mengandung makna yang baik, tidak mengandung kesyirikan, dan tidak memiliki konotasi negatif. Nama juga adalah doa. Pemberian nama pada hari ketujuh sangat dianjurkan. Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguslah nama-nama kalian." (HR. Abu Dawud).
- Mengolesi Kepala Bayi dengan Za'faran (Bukan Darah):
Dulu di masa jahiliyah, orang-orang mengolesi kepala bayi dengan darah hewan aqiqah. Islam melarang praktik ini. Rasulullah SAW menggantinya dengan mengolesi kepala bayi dengan za'faran (kunyit/saffron) setelah dicukur. Hal ini berdasarkan hadits Buraidah: "Bahwasanya Rasulullah SAW mengakikahi Hasan dan Husain, dan beliau bersabda: 'Cukurlah rambutnya dan olesilah kepalanya dengan za'faran'." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i). Za'faran adalah wewangian yang baik.
Dengan demikian, pelaksanaan aqiqah tidak hanya terbatas pada penyembelihan hewan, tetapi merupakan paket ibadah yang mencakup rasa syukur, sedekah, pembersihan, dan pemberian nama yang baik, semuanya dilakukan pada waktu yang mulia yaitu hari ketujuh kelahiran anak.
Permasalahan Kontemporer dan Tanya Jawab Seputar Aqiqah
Dalam praktik ibadah aqiqah, seringkali muncul berbagai pertanyaan dan permasalahan seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial. Berikut adalah beberapa di antaranya beserta pandangan ulama.
1. Aqiqah Bagi Anak yang Sudah Dewasa (Belum Pernah Diaqiqahi)
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, para ulama memiliki dua pandangan utama:
- Jumhur (Maliki, Syafi'i): Aqiqah adalah tanggung jawab orang tua. Jika anak telah baligh dan belum di-aqiqahi, maka kewajiban tersebut gugur dari orang tua, dan anak tidak disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri.
- Madzhab Hanbali: Membolehkan bahkan menganjurkan seseorang yang telah baligh untuk mengaqiqahi dirinya sendiri jika orang tuanya belum melaksanakannya. Ini didasarkan pada keinginan untuk memenuhi sunnah dan melepaskan "gadaian" yang disebutkan dalam hadits.
Kesimpulan: Pandangan yang membolehkan anak mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa adalah pandangan yang kuat dan banyak diamalkan, demi meraih keutamaan sunnah. Jika seseorang memiliki kemampuan dan keinginan untuk melaksanakannya, maka hal tersebut sangat dianjurkan.
2. Aqiqah dengan Sapi atau Unta
Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing atau domba. Ini karena dalil-dalil syar'i tentang aqiqah secara spesifik menyebutkan kambing/domba, dan tidak ada riwayat yang shahih bahwa Nabi SAW atau para sahabat pernah mengaqiqahi dengan sapi atau unta.
Sebagian kecil ulama (seperti sebagian ulama Hanafi) membolehkan sapi atau unta untuk aqiqah dengan mengkiaskan pada qurban, di mana satu sapi/unta bisa dibagi menjadi tujuh bagian. Namun, ini adalah pandangan minoritas yang tidak sekuat pandangan jumhur.
Kesimpulan: Lebih aman dan sesuai sunnah untuk melaksanakan aqiqah hanya dengan kambing atau domba.
3. Menggabungkan Aqiqah dan Kurban
Ini adalah masalah yang sering ditanyakan, terutama jika ada kelahiran anak bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Ada dua skenario:
- Satu Hewan untuk Niat Ganda (Aqiqah dan Kurban):
Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat bahwa tidak sah menggabungkan dua niat (aqiqah dan kurban) dalam satu hewan yang disembelih, baik itu kambing maupun sapi/unta. Alasannya, aqiqah dan kurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, memiliki sebab (sebab aqiqah adalah kelahiran anak, sebab kurban adalah datangnya waktu Idul Adha) dan tujuan yang berbeda. Nabi SAW tidak pernah menggabungkannya.
Namun, sebagian ulama, seperti Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan ulama madzhab Syafi'i dalam kasus sapi/unta (bahwa tujuh bagian dari sapi/unta boleh diniatkan berbeda-beda, ada yang untuk kurban, ada yang untuk aqiqah), memiliki pandangan yang lebih fleksibel. Mereka berpendapat bahwa jika satu bagian dari sapi/unta diniatkan untuk aqiqah dan bagian lain untuk kurban, itu diperbolehkan.
- Melaksanakan Kurban di Hari Ketujuh Kelahiran Anak (Sebagai Ganti Aqiqah)?
Ini juga tidak dibenarkan oleh jumhur ulama. Jika ada anak lahir pada hari-hari tasyriq atau bertepatan dengan Idul Adha, maka yang afdal adalah tetap melaksanakan aqiqah (dengan kambing/domba) dan kurban (sesuai kemampuan) secara terpisah.
Kesimpulan: Untuk kehati-hatian dan kesempurnaan ibadah, sebaiknya tidak menggabungkan aqiqah dan kurban dalam satu hewan atau satu niat. Lakukanlah keduanya secara terpisah jika mampu.
4. Aqiqah Dilakukan oleh Selain Orang Tua
Secara syariat, tanggung jawab aqiqah ada pada orang tua. Namun, jika orang tua tidak mampu atau berhalangan, diperbolehkan bagi kerabat lain seperti kakek, nenek, paman, atau bibi untuk melaksanakannya atas nama anak tersebut, selama dilakukan dengan izin atau sepengetahuan orang tua. Dalam kasus ini, niat tetaplah untuk anak yang di-aqiqahi.
Tidak ada larangan syar'i untuk ini, bahkan dianggap sebagai bentuk kebaikan dan kepedulian terhadap keluarga.
5. Aqiqah untuk Anak yang Meninggal Dunia Sebelum Hari Ketujuh
Jika seorang anak meninggal dunia sebelum hari ketujuh kelahirannya, apakah masih disunnahkan untuk di-aqiqahi? Para ulama berbeda pendapat:
- Jumhur (Syafi'i, Hanbali): Sunnah aqiqah gugur bagi anak yang meninggal sebelum hari ketujuh. Alasannya, aqiqah terkait dengan "tergadainya" anak yang hidup dan tumbuh. Jika anak meninggal, maka hikmah ini tidak terpenuhi.
- Madzhab Maliki: Jika anak meninggal setelah kelahirannya, bahkan setelah beberapa saat, maka sunnah aqiqah tetap ada untuknya. Ini berdasarkan keumuman hadits "setiap anak tergadai dengan aqiqahnya" tanpa memandang apakah anak tersebut hidup lama atau sebentar.
Kesimpulan: Meskipun pandangan jumhur lebih banyak diikuti, jika ada orang tua yang ingin mengaqiqahi anaknya yang meninggal sebelum hari ketujuh sebagai bentuk kasih sayang dan doa, hal tersebut tidak dilarang dan bisa dianggap sebagai sedekah. Namun, secara syariat, sunnahnya tidak ditekankan.
6. Aqiqah Melalui Lembaga atau Jasa Aqiqah
Di era modern, banyak lembaga atau jasa yang menawarkan kemudahan pelaksanaan aqiqah. Ini diperbolehkan, asalkan lembaga tersebut terpercaya, menyembelih hewan sesuai syariat Islam, dan mendistribusikan dagingnya sesuai ketentuan. Ini sangat membantu bagi mereka yang sibuk, tidak memiliki fasilitas penyembelihan, atau ingin aqiqah mereka menjangkau lebih banyak fakir miskin.
Yang terpenting adalah orang tua sebagai pemberi amanah harus memastikan bahwa semua syarat aqiqah (jenis hewan, umur, kesehatan, tata cara sembelihan, pembagian) dipenuhi oleh lembaga tersebut.
7. Hukum Menjual Kulit, Tulang, atau Bagian Lain dari Hewan Aqiqah
Sama seperti hewan kurban, tidak diperbolehkan menjual bagian apapun dari hewan aqiqah, baik itu dagingnya, kulitnya, tulangnya, atau lemaknya. Semua bagian yang halal dimakan harus dibagikan atau dikonsumsi oleh keluarga yang ber-aqiqah. Jika ada kulit atau bagian lain yang tidak ingin dimakan, bisa diberikan kepada orang lain secara cuma-cuma, bukan dijual.
Para jagal atau pihak yang membantu menyembelih boleh diberikan upah atau hadiah dari harta orang tua, namun tidak boleh diberikan bagian dari hewan aqiqah sebagai upah.
8. Mencukur Rambut Bayi dan Bersedekah Perak/Emas
Ini adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Setelah rambut bayi dicukur gundul pada hari ketujuh, rambut tersebut ditimbang, dan bersedekah perak (atau yang senilai dengannya) seberat timbangan rambut tersebut. Ini adalah bentuk sedekah yang mulia dan juga wujud kepedulian sosial.
Perhatikan: Jumlah perak yang disedekahkan sesuai berat rambut, bukan harga rambut. Ini adalah nilai simbolis untuk sedekah, bukan transaksi jual beli rambut.
9. Pemberian Nama yang Baik
Pemberian nama yang baik adalah hak anak. Disunnahkan memberi nama pada hari ketujuh bersamaan dengan aqiqah. Nama yang baik adalah nama yang memiliki makna positif, Islami, dan tidak mengandung kesyirikan. Hindari nama-nama yang terlalu rumit, memiliki makna buruk, atau meniru nama-nama orang kafir yang identik dengan kekufuran mereka.
10. Mengolesi Kepala Bayi dengan Darah Hewan Aqiqah
Ini adalah praktik jahiliyah yang secara tegas dilarang dalam Islam. Rasulullah SAW menggantinya dengan mengolesi kepala bayi dengan za'faran (kunyit/saffron) setelah dicukur. Darah adalah najis dan tidak pantas digunakan untuk mengolesi bayi yang suci.
11. Bolehkah Keluarga yang Ber-Aqiqah Memakan Dagingnya?
Ya, sangat boleh. Bahkan disunnahkan bagi keluarga yang ber-aqiqah untuk memakan sebagian dari dagingnya, sebagaimana dalam ibadah kurban. Hal ini menunjukkan bahwa aqiqah adalah ibadah jamuan yang memungkinkan keluarga berbagi kebahagiaan dan menikmati hidangan yang diberkahi.
12. Syarat Penyembelih Hewan Aqiqah
Sama seperti syarat penyembelih hewan qurban, penyembelih hewan aqiqah haruslah seorang Muslim atau ahli kitab yang mengerti tata cara penyembelihan syar'i. Dia harus menyebut nama Allah (Basmalah) saat menyembelih. Tidak disyaratkan harus orang tua yang menyembelih, bisa diwakilkan kepada orang lain yang ahli.
Kesimpulan
Aqiqah adalah salah satu syariat Islam yang mulia dan sangat dianjurkan (Sunnah Muakkadah) bagi setiap orang tua yang dikaruniai anak, sebagai wujud syukur kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Ibadah ini bukan sekadar tradisi, melainkan memiliki landasan kuat dalam hadits-hadits shahih dan mengandung banyak hikmah yang mendalam, baik bagi anak, orang tua, maupun masyarakat.
Pelaksanaan aqiqah yang paling utama adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak, dengan menyembelih dua ekor kambing/domba untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing/domba untuk anak perempuan. Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat umur dan kesehatan yang ditetapkan syariat. Daging aqiqah disunnahkan untuk dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, tetangga, dan boleh juga dimakan oleh keluarga yang ber-aqiqah.
Bersamaan dengan aqiqah pada hari ketujuh, dianjurkan pula untuk mencukur gundul rambut bayi, bersedekah perak seberat timbangan rambutnya, dan memberi nama yang baik. Penting untuk menghindari praktik-praktik jahiliyah seperti mengolesi kepala bayi dengan darah hewan aqiqah.
Meskipun aqiqah adalah sunnah muakkadah, ia tidak wajib bagi orang tua yang tidak mampu. Islam adalah agama yang memudahkan, dan tidak membebani umatnya di luar kemampuannya. Namun, bagi yang mampu, melaksanakannya adalah kesempatan emas untuk meraih pahala besar dan keberkahan bagi keluarga serta sang buah hati.
Memahami dan mengamalkan aqiqah dengan benar adalah bagian dari upaya kita sebagai umat Muslim untuk mendidik anak-anak kita dalam cahaya Islam sejak dini, serta menumbuhkan rasa syukur dan kepedulian sosial dalam keluarga dan masyarakat.