Ilustrasi Prinsip Andragogi: Pembelajaran yang didorong oleh pengalaman dan kebutuhan praktis.
Memahami Pembelajaran Orang Dewasa Menurut Malcolm Knowles: Prinsip Andragogi
Malcolm Knowles (1913–1997) adalah tokoh sentral yang merevolusi pemahaman kita tentang bagaimana orang dewasa belajar. Teorinya, yang ia sebut Andragogi (seni dan ilmu membantu orang dewasa belajar), berlawanan dengan Pedagogi (seni dan ilmu mengajar anak-anak). Knowles berpendapat bahwa karakteristik pembelajar dewasa berbeda secara fundamental dari anak-anak, sehingga metode pengajaran yang efektif pun harus berbeda. Pemahaman ini krusial bagi para pendidik, pelatih korporat, dan siapa pun yang terlibat dalam pengembangan sumber daya manusia.
Perbedaan Mendasar: Pedagogi vs. Andragogi
Dalam kerangka Pedagogi, pendidik memegang kendali penuh atas apa, bagaimana, dan kapan materi dipelajari. Sebaliknya, Andragogi menempatkan pembelajar dewasa sebagai mitra aktif dalam proses mereka sendiri. Knowles mengidentifikasi lima asumsi inti yang menjadi landasan utama teori Andragogi, yang kemudian ditambah keenam asumsi seiring perkembangan teorinya.
Lima Asumsi Dasar Pembelajaran Orang Dewasa
Kelima asumsi berikut ini menjelaskan kebutuhan psikologis dan situasional pembelajar dewasa:
Kebutuhan untuk Tahu (Need to Know): Orang dewasa perlu tahu mengapa mereka harus mempelajari sesuatu sebelum mereka berinvestasi dalam pembelajaran tersebut. Mereka harus melihat relevansi langsung materi dengan kehidupan atau pekerjaan mereka.
Konsep Diri (Self-Concept): Seiring bertambahnya usia, orang dewasa mengembangkan konsep diri yang kuat sebagai individu yang bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri. Mereka ingin diperlakukan sebagai individu yang mandiri, bukan bergantung pada instruktur.
Pengalaman (Experience): Orang dewasa membawa kekayaan pengalaman hidup yang luas ke dalam situasi belajar. Pengalaman ini adalah sumber daya belajar yang paling kaya, sekaligus dapat menjadi penghalang jika mereka terpaku pada cara lama. Pembelajaran harus dibangun di atas fondasi pengalaman ini.
Kesiapan Belajar (Readiness to Learn): Orang dewasa paling siap belajar ketika mereka mengidentifikasi kebutuhan atau tuntutan peran sosial tertentu dalam hidup mereka (misalnya, promosi jabatan, perubahan peran sebagai orang tua, atau perubahan lingkungan).
Orientasi pada Masalah (Problem-Centered Orientation): Berbeda dengan anak-anak yang berorientasi pada mata pelajaran, orang dewasa lebih tertarik pada pemecahan masalah yang mereka hadapi. Mereka lebih suka pembelajaran yang aplikatif dan berorientasi pada tugas.
Asumsi Keenam: Motivasi
Knowles kemudian menambahkan asumsi keenam mengenai motivasi. Ia menyatakan bahwa motivasi belajar orang dewasa sebagian besar bersifat internal (intrinsik), seperti peningkatan kualitas hidup, kepuasan diri, atau rasa ingin tahu, dibandingkan motivasi eksternal (ekstrinsik) seperti nilai atau pujian dari guru, meskipun motivasi eksternal tetap berperan.
Implikasi Praktis dalam Merancang Pembelajaran
Menerapkan prinsip Andragogi membutuhkan perubahan paradigma bagi para fasilitator. Berikut adalah beberapa implikasi praktis yang muncul dari teori Knowles:
Peran Fasilitator: Instruktur harus bertindak sebagai fasilitator, bukan sebagai diktator pengetahuan. Mereka harus menciptakan lingkungan yang suportif dan kolaboratif.
Perencanaan Bersama: Pembelajar dewasa harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan evaluasi belajar. Ini menegaskan rasa kepemilikan mereka terhadap proses tersebut.
Metode Partisipatif: Metode yang melibatkan partisipasi aktif seperti studi kasus, simulasi, diskusi kelompok, dan role-playing lebih efektif daripada ceramah satu arah yang panjang.
Keterkaitan Relevansi: Setiap sesi pembelajaran harus secara eksplisit menghubungkan materi baru dengan pengalaman masa lalu peserta dan potensi penerapannya di masa depan.
Memanfaatkan Pengalaman: Sediakan banyak kesempatan bagi peserta untuk berbagi pengalaman mereka. Pengalaman kolektif dalam ruangan seringkali menjadi guru terbaik.
Kesimpulannya, teori Andragogi karya Knowles menekankan bahwa pembelajaran orang dewasa adalah proses yang sangat sadar diri, berorientasi pada relevansi, dan didorong oleh kebutuhan untuk memecahkan masalah dalam konteks kehidupan mereka saat ini. Mengabaikan asumsi-asumsi ini dalam mendesain program pelatihan akan menghasilkan pembelajar yang resisten, kurang termotivasi, dan merasa bahwa waktu mereka terbuang sia-sia.